BerandaTafsir TematikHikmah Dibalik Bentuk Ayat Soal dan Jawaban dalam Al-Quran

Hikmah Dibalik Bentuk Ayat Soal dan Jawaban dalam Al-Quran

Sebagian pembaca Al-Quran mungkin sedikit kebingungan ketika menemui bentuk-bentuk ayat soal dan jawaban dalam Al-Quran (uslub al-hakim), karena terkadang jawaban yang dimunculkan bertolak belakang atau tidak sinkron dengan pertanyaan yang diajukan di ayat sebelumnya. Mungkin akan muncul pertanyaan-pertanyaan, apakah maksud dari ketidaksinkronan tersebut? Lantas bagaimana menjelaskannya?

Pada dasarnya, sebuah jawaban seharusnya sesuai dengan pertanyaan atau soal yang diajukan, agar orang yang bertanya dapat mendapatkan informasi yang diinginkan.  Dengan demikian, seharusnya orang yang menjawab pertanyaan memberikan jawaban sesuai pertanyaan yang diberikan. Namun, dalam konteks ayat Al-Qur’an tidak semua ayat pertanyaan dijawab dengan jawaban yang diasumsikan sesuai oleh penanya.

Bentuk ayat soal dan jawaban dalam Al-Quran ini menurut Ilmu Balaghah biasa disebut sebagai uslub al-hakim. Uslub al-hakim adalah mengalihkan atau membelokkan jawaban pertanyaan kepada permasalahan yang tidak diharapkan, karena alasan tertentu, yakni karena isu yang disampaikan dianggap lebih penting dari pertanyaan tersebut sesuai dengan kondisi lawan bicara (mukhatab).

Bentuk Soal dan Jawaban dalam Al-Quran atau Ushlub al-hakim banyak ditemukan sebagai bentuk informasi dialogis bagi pembacanya mengenai suatu permasalahan. Soal dan Jawaban dalam Al-Quran ini ditujukan agar pesan yang disampaikan di dalamnya lebih hidup dan mudah ditangkap. Artikel ini akan membahas secara singkat mengenai bagaimana bentuk soal dan jawaban dalam Al-Quran (ushlub al-hakim) dan apa hikmah diantaranya.


Baca Juga: Hikmah Diturunkannya Al-Quran Secara Berangsur-angsur


Hikmah Uslub Al-Hakim

Ahmad dalam Uslub Al-Hakim wa Surah Al-Baqarah (p. 22) menyebutkan bahwa bentuk ushlub al-hakim ada empat, yakni (1) pertanyaan dan jawaban yang dialihkan, (2) pernyataan yang dipalingkan maknanya, (3) pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan, dan (4) pernyataan yang dijawab dengan pertanyaan. Semua bentuk ushlub al-hakim tersebut dapat ditemukan dalam Al-Qur’an, terutama QS. Al-Baqarah.

Bentuk pertama uslub al-hakim, yakni pertanyaan atau soal dan jawaban yang dialihkan dapat dipahami sebagai pengalihan jawaban suatu pertanyaan kepada jawaban yang tidak diharapkan penanya. Bentuk kedua adalah pengalihan makna dari suatu pernyataan kepada makna yang lain. Bentuk ketiga adalah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula. Sedangkan bentuk keempat sekaligus yang terakhir adalah menjawab sebuah pernyataan dengan pertanyaan.

Salah satu contoh bentuk soal dan jawaban dalam Al-Quran uslub al-hakim (bentuk pertama) di atas adalah QS. Al-Baqarah [2]: 189:

۞ يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِاَنْ تَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقٰىۚ وَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَا ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ١٨٩

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

Jawaban yang diberikan Al-Quran terhadap pertanyaan sahabat nabi Muhammad Saw di atas terlihat tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Karena jawaban yang seharusnya diberikan kepada mereka adalah bahwa bulan memantulkan sinar matahari ke bumi melalui sebagian permukaannya yang tampak terang sehingga timbul bulan sabit sebagaimana yang biasa mereka lihat.

Al-Qur’an menjawab demikian, tidak sesuai dengan jawaban yang diharapkan sahabat, karena ada jawaban tersebut lebih sesuai dengan kepentingan mereka saat itu. Hal serupa banyak terjadi dalam Al-Qur’an dengan tujuan mengingatkan penanya bahwa ada yang lebih penting untuk ditanyakan daripada pertanyaan yang mereka ajukan. Ajaran ini memberikan kesan bahwa Al-Qur’an menyuruh pembacanya agar melakukan hal yang bermanfaat.

Mungkin sebagian orang bertanya, “apakah tidak boleh melihat fenomena alam dari sisi ilmiah, karena Al-Qur’an seringkali menyebutkan dari aspek fungsinya saja? Tidak mengapa jika seseorang ingin menelaah fenomena alam secara ilmiah, seperti bulan, matahari dan laut. Hanya saja dalam konteks sejarah pewahyuan Al-Qur’an hal tersebut belum menjadi wacana umum yang berkembang di masyarakat Arab. (Tafsir Al-Misbah [1]: 416-419)

Selain itu, pembahasan terkait penjelasan ilmiah mengenai alam semesta memang bukan bidang yang Al-Qur’an tekankan, karena Al-Qur’an adalah kitab hidayah bukan kitab Ilmiah. Belum lagi persoalan astronomi itu belum dapat dijangkau oleh para audiens Al-Qur’an ketika pertama kali turun. Singkatnya, jawaban Al-Qur’an menyesuaikan kondisi sosio-kultural masyarakat Arab pada masa nabi Muhammad Saw. (Tafsir Al-Misbah [1]: 416-419)

Menurut Quraish Shihab, melalui uslub al-hakim ini Al-Qur’an juga mengajarkan pembacanya agar tidak menjawab persoalan yang tidak termasuk otoritasnya, tidak juga memberi jawaban yang diduga keras tidak akan dimengerti oleh penanya, karena akan mengakibatkan kesalahpahaman maupun persoalan-persoalan lain yang berakibat negatif bagi kedua belah pihak. Menurutnya, seseorang harus mengarahkan penanya kepada pertanyaan dan jawaban yang memberikan manfaat baginya, baik di dunia maupun akhirat.


Baca Juga: K.H. Choer Affandi: Santri Kelana Pemilik Tafsir Sunda Choer Affandi


Kemudian, ayat ini secara tidak langsung juga berpesan kepada pembaca agar bertanya mengenai persoalan yang bermanfaat dan dapat dimengerti. Jangan menanyakan sesuatu yang sia-sia dan tidak mungkin untuk dipahami. Lebih jauh, ayat ini mengajarkan manusia untuk bijak dalam bertanya, berpendapat dan lain-lain sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (membumi). Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...