Seperti perempuan pada umumnya, istri-istri Rasulullah juga pernah mengalami kecemburuan terhadap suaminya. Hal itu sangat manusiawi karena Allah hendak mendidik umat dengan contoh langsung dalam kehidupan Rasul saw. bersama ummahat al-mukminin. Sebagaimana di permulaan surah at-Tahrim diterangkan konflik rumah tangga Rasul ketika istrinya terlampau cemburu.
Kecemburuan Ummahat al-Mukminin
Ada beberapa riwayat berkenaan dengan turunnya ayat-ayat ini. Di antaranya diterangkan dalam Tafsir Fi Zhilal al-Quran (11/332) riwayat dari Ubaid bin Umair, Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah menyukai kue yang manis-manis dan madu. Setiap selesai dari salat Ashar, beliau menemui para istrinya. Suatu ketika, beliau berada bersama Zainab binti Jahsy dalam waktu yang cukup lama, lalu beliau minum madu di rumahnya.
Aisyah dan Hafshah yang cemburu mengetahui hal itu, keduanya bersekongkol bahwa siapa di antara mereka yang didatangi Rasul, ia berkata kepada beliau, “Saya mencium bau maghafir dari engkau”. Maghafir itu semacam manisan yang lezat, berbentuk getah, diambil dari pohon Ramats atau pohon Urfuth. Meskipun bisa dinikmati dan enak rasanya, maghafir mempunyai bau tak sedap dan menyengat.
Baca Juga: Perbuatan yang Menyebabkan Istri Menjadi Durhaka: Tafsir Surat At-Tahrim Ayat 10
Ketika Rasulullah datang kepada Aisyah, maka ia mengatakan hal itu. Rasul saw. menjawab, “Tidak, namun aku meminum madu dirumah Zainab.” Selang beberapa lama, beliau mendatangi rumah Hafshah. Percakapan serupa pun terjadi. Pada akhirnya, Rasulullah berkata, “Aku tidak akan mengulanginya lagi, aku bersumpah, dan tolong jangan kamu beritahukan hal itu kepada siapa pun.” (Bukhari Muslim) Sumpah tersebut tidak lain dan tidak bukan hanya untuk membahagiakan kedua istrinya yang sedang cemburu.
Riwayat lain, mengenai sebab turunnya at-Tahrim sebagaimana disebutkan oleh mufasir seperti Jalaluddin as-Suyuthi, al-Baghawi, dan Wahbah al-Zuhaili, ialah berkaitan dengan suatu peristiwa yang menyebabkam kecemburuan berlebihan dari istri-istri Rasul terhadap Mariyah al-Qibtiyyah.
Diriwayatkan oleh Daruquthni dari Umar, suatu ketika Rasulullah sedang bersama Mariyah di rumah Hafshah. Setelah putri al-Faruq melihat langsung pemandangan yang tidak mengenakan hatinya itu, ia marah, tersinggung, dan menganggapnya sebagai penghinaan terhadapnya. Kemudian Rasulullah menjanjikannya bahwa beliau akan mengharamkan Mariyah al-Qibtiyyah atas diri beliau dan beliau bersumpah dengan itu. Rasulullah meminta jaminan dan janji kepadanya untuk merahasiakannya. (Tafsir al-Munir, 14/679)
Maka Allah menegur halus Rasululullah dengan menurunkan firman-Nya, “Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu?…” dan seterusnya. (Q.S. at-Tahrim: 1-5)
Baca Juga: Tiga Tipe Istri yang Dijelaskan dalam Surah At-Tahrim Ayat 10-12
Hafshah yang telah diminta Rasul untuk merahasiakan sebuah pembicaraan yang beliau sampaikan secara rahasia kepada dirinya berjanji untuk melaksanakannua. Namun, ia malah menceritakan kepada Aisyah sebab kecemburuan begitu berkecamuk dalam hatinya, sehingga dia tidak sanggup lagi menyimpan perasaannya.
Aisyah dan Hafshah kemudian menghasut istri-istri yang lain agar membenci Mariyah. Hal yang membuat ummahat al-mukminin cemburu dan tidak menyukai Mariyah karena melahirkan putra dari Rasul saw. Hingga tersiar kabar bahwa mereka membantah Rasul dan bahkan ada seorang di antara mereka yang menjauhkan diri dan mendiamkan Rasulullah sejak siang hingga malam hari.
Tentu saja Rasulullah merasa kecewa dan marah. Maka, Rasul memutuskan mengisolasi mereka selama sebulan. Desas-desus pun beredar di kalangan umat Islam bahwa Rasulullah sudah menceraikan istri-istrinya. Pada saat yang sama, para istri Rasulullah pun gelisah pula. Mereka menyesal, yang karena rasa cemburu mereka yang berlebihan hingga menyakiti hati suami yang tadinya sangat lemah-lembut kepada mereka.
Hikmah Kisah dari Kecemburuan Ummahat al-Mukminin
Hikmah dari kisah rumah tangga Rasulullah tersebut di antaranya, sebagaimana pernah diungkapkan Gus Baha, merupakan fitrah bahwa seorang perempuan memiliki rasa cemburu dan Allah tidak mempersoalkannya, namun tentu saja tidak boleh berlebihan.
Islam mengajarkan bahwa mengelola rasa cemburu dalam hubungan sangat penting untuk menjaga keharmonisan kebahagiaan rumah tangga. Rasulullah dan para istri beliau memberikan teladan bagaimana mengatasi perasaan cemburu dengan sabar, kejujuran, dan komunikasi, sebagaimana yang dilakukan beliau saw kepada Aisyah dan Hafshah.
Baca Juga: Kriteria Perempuan Salihah dalam Surah At-Tahrim Ayat 11-12
Namun, sebagaimana teguran Allah terhadap Rasulullah di ayat 1-2 QS. at-Tahrim. Tidak boleh seorang mukmin mengharamkan atas dirinya sendiri apa-apa yang telah dihalalkan oleh Allah atas dirinya dari segala kenikmatan secara sengaja dan dengan maksud menyenangkan seseorang dan membuatnya ridha. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengharaman itu dapat menyebabkan jatuhnya hukuman yang pasti. Namun, seperti redaksi akhir ayat disebutkan, “….Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Maknanya, ia masih berpeluang mendapatkan ampunan dan rahmat Allah.
Adapun untuk melepaskan diri dari sumpah adalah dengan membayar kafaratnya. Dalam kasus tersebut, disamping Rasulullah bersumpah mengharamkan diri beliau dari mengonsumsi madu dan Mariyah, bahwa menurut keterangan yang lebih shahih, beliau waktu itu membayar kafarat sumpah beliau itu. Kafarat berfungsi menambal dan memperbaiki celah yang terjadi.
Jika ada seorang laki-laki mengharamkan istrinya, ia harus membayar kafarat sumpah. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, “Barangsiapa mengharamkan istrinya bagi dirinya, maka itu adalah sumpah yang ia kafarati. Abdullah bin Abbas r.a. membaca ayat dua puluh satu surah al- Ahzaab, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (HR. Muslim)
Jika rumah tangga menghadapi masalah, cerai bukan satu-satunya pintu keluar, ada banyak pintu lain yang mesti dilalui, maka didiklah istri salah satunya dengan pisah ranjang, untuk memberinya kesempatan berfikir dan untuk menimbulkan kerinduan dengan pasangan.
Terakhir, sebagaimana diterangkan dalam ayat 4, Allah memberi panduan ummahat al-mukminin untuk bertaubat, bertawakal, berdoa, dan memperbaiki hubungan dengan suami dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa keutamaan bertobat sangatlah penting dalam menjalani kehidupan, baik dalam hubungan pernikahan maupun dalam hubungan dengan Allah.
Wallah musta’an.[]