BerandaTafsir TematikTafsir AhkamHikmah Disandingkannya Ayat Tentang Itikaf dan Puasa Di dalam Al-Qur’an

Hikmah Disandingkannya Ayat Tentang Itikaf dan Puasa Di dalam Al-Qur’an

Saat mempelajari Al-Qur’an, tepatnya pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang kewajiban berpuasa, akan ditemukan sebuah fakta menarik. Yakni disandingkannya perihal itikaf dan puasa pada sebuah ayat. Padahal secara sekilas, itikaf dan puasa tidak memiliki keterkaitan secara langsung. Itikaf adalah persoalan berdiam diri di masjid, dan puasa adalah soal menahan diri dari makan, minum serta berhubungan intim.

Fakta ini tidak lepas dari perhatian para ulama’, utamanya para pakar tafsir. Ibn Katsir mengungkapkan keterkaitan itikaf dan puasa dalam segi hukum, sedang Ar-Razi serta Al-Baqa’i mengungkapkan keterkaitan keduanya dalam upaya menggiring opini pembacanya ke arah hukum yang benar. Berikut keterangan ulama’ mengenai hikmah disandingkannya itikaf dan puasa.

Keutamaan Serta Larangan Itikaf

Itikaf dan puasa disandingkan oleh Allah di dalam firman-Nya yang berbunyi:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ ١٨٧

Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa (QS. Al-Baqarah [2] :187).

Baca Juga: Sejarah Awal Kewajiban Puasa dan Turunnya Surah al-Baqarah Ayat 187

Imam Ibn Katsir di dalam tafsirnya menyatakan, karena ayat ini para ahli fikih meletakkan bab itikaf setelah bab puasa di dalam karya mereka. Ibn katsir juga menjelaskan, di balik disandingkannya puasa dengan itikaf di ayat di atas, ada petunjuk atau arahan untuk melakukan itikaf di bulan puasa atau di sepuluh hari terakhir di bulan puasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh nabi Muhammad. Ibn Katsir kemudian memaparkan beberapa hadis yang mendukung kesimpulannya. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa ia berkata (Tafsir Ibn Katsir/1/511:

كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Rasulullah salallahualaihi wasallam melakukan itikaf di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Lalu istri-istri beliau melakukan itikaf setelahnya (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Imam An-Nawawi di dalam Syarah Sahih Muslim menyatakan, hadis di atas menunjukkan kesunnahan itikaf. Dan kesunnahan itu menjadi bertambah amat dianjurkan (muakkad) bila dilakukan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Ini adalah pemahaman yang telah disepakati oleh seluruh umat muslim (Syarah Sahih Muslim/4/201).

Imam Ar-Razi memberikan penjelasan yang berbeda perihal disandingkannya puasa dengan itikaf. Menurutnya, keharaman berhubungan intim bagi orang yang berpuasa di siang hari, serta diperbolehkannya di malam hari, dapat menggiring opini orang yang itikaf bahwa ia bebas berhubungan intim tatkala di malam hari.

Padahal tidak seperti itu. Meski di malam hari, orang yang itikaf tidak diperbolehkan berhubungan intim. Dalam artian, apabila ia keluar sejenak dari masjid lalu berhubungan intim dengan istrinya di rumah, maka itikafnya menjadi batal. Berbeda bila ia keluar hanya sekedar untuk membuang hajat, maka itikafnya tidak batal meski ia sejenak keluar dari masjid (Tafsir Mafaatiihul Ghaib/3/127).

Imam Al-Baqa’i memberikan penjelasan hampir serupa. Menurutnya, dikarenakan puasa di bulan Ramadhan amat lekat dengan tempat bernama masjid dan prilaku itikaf, dan dalam ayat di atas terdapat hukum bolehnya berhubungan intim di malam hari entah dalam keadaan seperti apapun dan di tempat manapun, maka kiranya perlu diterangkan keadaan serta tempat yang membuat hubungan intim di malam hari saat puasa di larang. Yakni keadaan masih beritikaf dan tempat berupa masjid (Nadzmud Durar/1/282).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Untuk Musafir, Tetap Berpuasa atau Berbuka?

Kesimpulan

Lewat berbagai uraian di atas dapat disimpulkan, lewat disandingkannya itikaf dengan puasa pada Surat Al-Baqarah ayat 187, bisa jadi Allah ingin menunjukkan kepada kita akan beberapa hal. Pertama, keutamaan itikaf di bulan puasa; kedua, agar kita tidak melakukan larangan berhubungan intim di bulan puasa pada malam hari. Yakni pada waktu itikaf dan pada saat sedang di masjid. Wallahu a’lam bishshawab.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU