BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Untuk Musafir, Tetap Berpuasa atau Berbuka?

Tafsir Ahkam: Untuk Musafir, Tetap Berpuasa atau Berbuka?

Allah telah memberi keringanan bagi musafir atau orang yang berada dalam perjalanan untuk tidak berpuasa. Maka saat ia di perjalanan yang memenuhi syarat untuk memperoleh keringanan, meski tidak menemui kendala yang berat untuk berpuasa sebab transportasi zaman sekarang lebih mudah dari zaman Nabi semisal, ia boleh untuk tidak berpuasa. Meski begitu, mana yang lebih utama, tetap berpuasa atau berbuka?

Namun manakah yang lebih utama untuknya? Tetap berpuasa sebab pada dasarnya tidak berpuasa baginya hanyalah keringanan yang tak tepat dilakukan kecuali dalam keadaan terdesak, ataukah berbuka sebab memandang sudah sepantasnya kita memanfaatkan keringanan dari Allah untuk menambah semangat dalam melakukan ibadah selain puasa? Berikut penjelasan ulama’.

Baca juga: Empat Makna Kata Khasyah dalam Al-Quran menurut Mufasir

Tidak Berpuasa Bagi Musafir Adalah Rukhsah (Keringanan)

Allah memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa salah satunya lewat ayat yang berbunyi:

.اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ

 (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah [2] :184).

Imam Ar-Razi di dalam tafsirnya menyatakan, lewat ayat ini Allah menyampaikan bahwa kewajiban berpuasa di hari-hari yang sudah ditentukan, diperuntukkan bagi orang yang tidak dalam perjalanan serta dalam keadaan sehat. Sedang bagi musafir serta orang yang sakit, mereka berdua dapat untuk tidak berpuasa atau mengakhirkan puasa di selain hari yang sudah ditentukan. Usai memaparkan hal ini, Imam Ar-Razi mengutip pernyataan Imam Al-Qaffal tentang kemurahan Allah dalam memberi keringan pada hambanya terkait permasalahan puasa.

Imam Ar-Razi juga menjelaskan, sebenarnya ada perbedaan pendapat mengenai keringanan buka puasa bagi musafir. Ada beberapa yang menyatakan bahwa keringanan tersebut bersifat wajib untuk dilakukan. Dalam artian seorang musafir mau tidak mau harus membatalkan puasanya kalau sedang bepergian. Bahkan apabila ia memaksakan diri, maka ia tetap harus mengqadha’ puasanya.

Baca juga: Empat Makna Kata Khasyah dalam Al-Quran menurut Mufasir

Namun mayoritas ahli fikih berpendapat bahwa buka puasa bagi musafir hukumnya tidaklah wajib, tapi sebatas boleh untuk dilakukan. Dan mereka berbeda pendapat dalam permasalahan ini mengenai manakah yang lebih utama dilakukan, tetap berpuasa atau berbuka? Ada yang menyatakan puasa lebih utama, ada yang menyatakan berbuka lebih utama, dan ada yang menyatakan bahwa yang lebih utama adalah yang paling mudah ia lakukan. (Tafsir Mafaatiihul Ghaib/3/87).

Imam An-Nawawi menyatakan, Mazhab Syafiiyah berserta para pembesarnya berpendapat bahwa apabila puasa memberatkan dirinya, maka yang lebih utama adalah berbuka. Apabila tidak memberatkan, maka yang lebih utama adalah berpuasa. Imam An-Nawawi juga menjelaskan bahwa permasalahan puasa bagi musafir tidaklah bisa disamakan dengan salat qasar, mengingat qasar bagi musafir lebh utama daripada menyempurnakan salat. Meski keduanya sama-sama keringanan, tapi keduanya memiliki perbedaan. Salah satunya adalah, bahwa dalam puasa si musafir masih harus tetap qadha dan dalam qasar ia tidak memiliki kewajiban semacam qadha lagi (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/6/261).

Pendapat yang diyakini Mazhab Syafiiyah ini juga diyakini oleh Anas ibn Malik, ‘Utsman ibn Abil ‘Ash, Mazhab Malikiyah dan Hanafiyah. Sedang Imam Al-Auza’i, Ishaq dan Mazhab Hambaliyah menyatakan bahwa yang lebih utama adalah berbuka. Pendapat serupa juga diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar (Al-Bayan/3/469).

Berdasar uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa meski berbuka bagi musafir merupakan keringanan, tapi hal itu tidak menjadikan tindakan berbuka menjadi pilihan yang dipandang sebelah mata, sehingga seorang musafir harus dipaksa berpuasa sampai benar-benar tidak kuat berpuasa. Beberapa ulama’ menyatakan bahwa berbuka menjadi pilihan lebih utama meski si musafir tidak merasa keberatan untuk berpuasa. Wallahu a’lam bishshowab.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...