Dalam kajian hukum Islam, ada istilah ajaran umat terdahulu. Secara umum, bahwa seluruh agama samawi yang pernah tercatat dalam sejarah mengusung satu ajaran teologis yang sama, yaitu mengesakan Allah swt. dan menghambakan diri kepada-Nya. Akan tetapi, ajaran-ajaran yang bersifat parsial dan kasuistik antara satu umat dengan umat nabi yang lain berbeda. Inilah yang diistilahkan dengan syar’u man qablana (syariat umat terdahulu).
Ada banyak syariat-syariat dan ajaran-ajaran nabi terdahulu yang masih eksis sampai sekarang dan bahkan menjadi bagian dari syariat Islam, meskipun terdapat perbedaan dalam berbagai aspek. Di antaranya adalah ibadah salat, puasa, haji dengan segala ritualnya, dan masih banyak lagi.
Baca Juga: Penjelasan tentang Puasa Umat-Umat Terdahulu dalam Berbagai Kitab Tafsir
Namun, di antara sekian banyak syariat umat terdahulu yang masih lestari hingga sekarang, syariat puasa memiliki keunikan tersendiri dibanding yang lain. Hal ini terlihat dari kewajiban puasa yang dianalogikan dan diperbandingkan dengan kewajiban puasa umat terdahulu. ini terlihat dalam surah Albaqarah [2]: 183, Allah Swt. berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. Albaqarah [02]: 183).
Imam Abu Hayyan al-Andalusi menjelaskan bahwa kewajiban berpuasa merupakan syariat yang telah ada bahkan sejak manusia pertama, yaitu Nabi Adam a.s Lebih lanjut, beliau memaparkan bahwa seluruh umat-umat nabi terdahulu sejak Nabi Adam a.s sampai umat Nabi Muhammad saw., semuanya menerima syariat puasa. Tidak ada satupun dari mereka yang tidak dibebankan kewajiban puasa. (Al-Bahr al-Muhith, Juz 2, 36 )
Bahkan, dalam Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kewajiban puasa bukan hanya terkhusus bagi penganut agama samawi. Bahkan orang-orang Mesir Kuno sebelum mereka mengenal agama samawi telah melakukan ritual puasa, terlepas dari bagaimana tata cara pelaksanaannya.
Baca Juga: Kesamaan Puasa Umat Nabi Muhammad dan Umat Sebelumnya
Menurutnya, redaksi كتب yang menggunakan bentuk kalimat pasif (fi’il majhul) mengisyaratkan bahwa sebagian umat terdahulu ada yang berpuasa lantaran ajaran dari para tokoh-tokoh mereka, bukan atas wahyu ilahi. Sehingga dapat dikatakan bahwa puasa merupakan ritual yang telah ada sepanjang sejarah peradaban manusia. (Tafsir al-Misbah, Juz 1, 485)
Hikmah Disinggungnya Kewajiban Puasa Umat Terdahulu dalam Q.S. Albaqarah [2]: 183
Bukan tanpa alasan Allah Swt. menyebutkan dan menyandingkan kewajiban puasa yang dibebaankan kepada umat Islam dengan kewajiban puasa umat-umat terdahulu. Imam Ibnu Asyur merumuskan setidaknya ada tiga poin penting mengapa Allah Swt. menyebutkan kewajiban puasa umat terdahulu bersandingan dengan kewajiban puasa umat Islam dalam ayat tersebut.
Pertama, sebagai dan indikasi dan bukti bahwa puasa merupakan ibadah yang amat penting. Sebab, puasa merupakan ritual yang tidak pernah luput disyariatkan kepada umat manusia sejak manusia pertama sampai umat Nabi Muhammad saw. sebagai umat nabi terakhir. Selanjutnya, dengan mengetahui kadar keutamaan ibadah puasa ini, diharapkan umat Islam akan memiliki semangat dan gairah yang tinggi untuk menjalankan ibadah puasa.
Baca Juga: Syariat Umat Terdahulu dalam Alquran
Kedua, disandingkannya kewajiban berpuasa dengan kewajiban serupa yang pernah dibebankan kepada umat terdahulu diharapkan akan memberikan stimulus kepada umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa puasa merupakan ibadah yang berat karena harus meninggalkan hal-hal yang diinginkan oleh hawa nafsu, seperti makan minum dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan adanya informasi bahwa umat terdahulu juga melaksanakan ibadah puasa, maka timbul kepercayaan diri bahwa umat Islam juga akan mampu melaksanakan tanggungan kewajiban tersebut. Sebab, bercermin kepada kehidupan orang lain dapat menjadi pedoman dalam menghadapi beban, baik berupa beban hidup maupun beban kewajiban.
Ketiga, hal tersebut diharapkan akan membawa dampak positif kepada kaum muslim berupa kekuatan tekad dan serta semangat yang menggebu-gebu dalam menjalankan kewajiban puasa. Umat Islam diharapkan mampu mengambil teladan dari umat-umat terdahulu dalam menjalankan kewajiban. Tatakala mereka mampu menerima dan melaksanakan ibadah puasa dengan baik maka kita juga harus memiliki semangat yang bahkan lebih kuat daripada mereka dalam menerima dan menunaikkan kewajiban. (Al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 1, 156-157 )
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa disamakannya kewajiban puasa dengan kewajiban umat terdahulu adalah sebagai penyemangat bagi kaum muslim. Sehingga, tatkala diyakini bahwa semua manusia bahkan dari sejak manusia pertama melakukan ritual ibadah tersebut, maka ia akan terasa ringan. Sebab sesuatu yang berat akan terasa ringan manakala sudah menjadi kebiasaan umum. (Mafatih al-Ghaib, Juz 5, 239 ).
Wallahu a’lam.