BerandaTafsir TematikTafsir AhkamHukum Menikah dengan Tunasusila dalam Islam

Hukum Menikah dengan Tunasusila dalam Islam

Salah satu aspek kehidupan yang tak luput dari aturan agama adalah urusan pernikahan. Bukan hanya membahas terkait bagaimana membangun rumah tangga yang baik, syariat Islam juga mengatur urusan-urusan pranikah dan pascanikah. Misalnya bagaimana seharusnya memilih pasangan yang baik, prosesi lamaran sampai kepada hubungan pasutri setelah bercerai.

Salah satu yang menjadi perhatian Islam adalah memilih pasangan yang tepat. Idealnya, Islam menghendaki setiap orang mendapatkan pasangan yang baik-baik, baik agamanya maupun budi pekertinya.

Namun, yang namanya cinta terkadang tidak pandang bulu dan latar belakang. Karena cinta tidak bisa dipaksakan, terkadang ada saja orang baik-baik yang mencintai dan bahkan menikah dengan orang yang pernah melakukan hubungan gelap di luar nikah.

Baca juga: Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 21

Muatan fikih dalam surah An-Nur ayat 3

Dalam Alquran, Allah Swt. menjelaskan ketentuan terkait menikah dengan pezina (tunasusila). Dalam Q.S. An-Nur [24]: 3, Allah Swt. berfirman:

{ الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ} [النور: 3]

Pezina laki-laki tidak menikah kecuali dengan perempuan pezina atau musyrik dan pezina perempuan tidak menikah melainkan dengan lelaki pezina atau musyrik. Yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang beriman (Q.S. An-Nur [24]: 03).

Kiranya tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait status pernikahan pezina dengan pezina. Bahwa lelaki baik-baik memang pantas dengan perempuan baik baik, sedangkan lelaki amoral pantasnya mendapatkan perempuan amoral juga. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Q.S. An-Nur [24]: 26:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ…

Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). Sedangkan perempuan yang baik-baik untuk laki-laki yang baik-baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik-baik (pula)… (Q.S. An-Nur [24]: 26).

Namun, perbedaan pendapat terjadi ketika menyoal status pernikahan pezina dengan orang baik-baik. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menafsiri ayat di atas.

Imam Mujahid, ‘Atha bin Rabah, dan sejumlah ulama lain berpendapat bahwa ayat ini turun lantaran orang-orang fakir dari kalangan muhajirin ketika hijrah ke Madinah, mereka tidak memiliki biaya untuk menikahi prempuan pada umumnya. Kemudian mereka hendak menikahi para perempuan tunasusila yang sering menjajakan diri mereka di sudut kota Madinah, dengan harapan maskawinnya akan lebih terjangkau dibanding perempuan pada umumnya. Lantas mereka minta izin kepada Rasulullah saw. kemudian turunlah ayat ini sebagai larangan terhadap tindakan yang akan mereka lakukan.

Akan tetapi, jumhur ulama, termasuk empat mazhab, membolehkan menikahi perempuan tunasusila. Hal ini karena zina bukanlah termasuk mawâni’ (faktor penghalang) dari pernikahan. Imam al-Razi dalam Tafsir al-Kabir menjelaskan bahwa ada beberapa penafsiran yang diajukan untuk memahami ayat di atas.

Pemahaman yang paling baik menurut beliau adalah pendapaat yang dinukil dari Imam al-Qaffal bahwa ayat tersebut bersifat information-usually. Artinya, ayat tersebut memberi informasi bahwa lelaki hidung belang pada biasanya kurang berminat untuk menikahi perempuan baik-baik. Hasratnya hanya tertuju pada perempuan yang memiliki latar belakang yang sama dengannya. Demikian juga perempuan tunasusila biasanya tidak berhasrat untuk menikah dengan lelaki baik-baik.

Sedangkan Said bin Musayyib dan sejumlah ulama lain mengatakan bahwa pada mulanya orang-orang muslim memang dilarang menikahi pezina berdasarkan ayat ini. Akan tetapi, pada tahap berikutnya, ayat ini dinasakh oleh ayat ke-32 surah An-Nur.

Baca juga: Tafsir Ahkam Tentang Zina; Mendekati Saja Dilarang, Apalagi Melakukan!

Selain beberapa penafsiran di atas, ada sejumlan penafsiran lain dari para ulama terkait ayat tersebut. Akan tetapi, secara umum, dalam masalah ini ulama terpolarisasi menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa seorang muslim atau muslimah tidak boleh menikahi pezina. Kedua, menikahi pezina adalah boleh dan sah. Ini adalah pendapat jumhur. Dalam hal ini, Syaikh muhammad Ali al-Shabuni dalam kitab Rawai’ al-Bayan mengatakan:

اِخْتَلَفَ عُلَمَاءُ السَّلَفِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

اَلْأَوَّلُ: حُرْمَةُ الزَّوَاجِ بِالزَّانِيَةِ، وَهُوَ مَنْقُوْلٌ عَنْ عَلِيٍّ وَالْبَرَّاء وَعَائِشَةَ وَابْنِ مَسْعُوْد.

اَلْثَّانِي: جَوَازُ الزَّوَاجِ بِالزَّانِيَةِ وَهُوَ مَنْقُوْلٌ عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَهُوَ مَذْهَبُ الْجُمْهُوْرِ. وَبِهِ قَالَ الْفُقَهَاءُ الْأَرْبَعَةُ مِنَ الْأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ.

Dalam masalah ini (menikahi pezina) ulama salaf berselisih menjadi dua pendapat:

Pertama, haram menikahi pezina. Pendapat ini diriwayatkan dari sahabat Ali r.a., al-Barra’ r.a., Siti ‘Aisyah r.a., dan Ibnu Mas’ud r.a.

Kedua, boleh menikah dengan pezina. Pendapat ini dinukil dari sahabat Abu Bakar r.a., Umar r.a., Ibnu Abbas r.a. dan merupakan pendapat mayoritas ulama. Selain itu, empat mazhab juga berpendapat demikian.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa menikahi perempuan/lelaki baik-baik lebih utama daripada menikahi pezina. Ulama juga telah menjelaskan bahwa meskipun menikahi pezina sah-sah saja tetapi hukumnya makruh. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,

وَيُكْرَهُ الزَّوَاجُ بِالزِّانِيَةِ أَيْ اَلْمَشْهُوْرَةِ بِالزِّنَا، وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ عَلَيْهَا الزِّنَا.

Makruh hukumnya (laki-laki) menikahi perempuan yang terkenal sebagai pelacur, meskipun perbuatannya tersebut tidak terbukti secara valid.

Demikianlah penjelasan seputar status hukum menikahi pelacur, meskipun jumhur ulama melegalkan, tetapi tetap yang lebih utama adalah menikahi perempuan terjaga dan baik-baik. Sekian, semoga bermanfaat.

Baca juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 3: Hukum Menikah dalam Keadaan Hamil di Luar Nikah

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tafsir tentang laut yang tidak bercampur

Tafsir tentang Laut yang Tidak Bercampur: Mukjizat atau Fenomena Ilmiah?

0
Alquran bukan sekadar kitab petunjuk spiritual, tetapi juga lumbung keajaiban yang terus mengundang rasa ingin tahu. Salah satu ayatnya, yang membahas tentang "laut yang...