Bicara pemikir feminis Muslim di Indonesia, Husein Muhammad menjadi sosok penting dalam rekonstruksi penafsiran teks Al-Quran yang bersinggungan dengan relasi laki-laki dan perempuan. Tokoh cendekia yang akrab disapa Buya Husein ini memberi warna baru bagi pembacaan Al-Quran berperspektif gender. Hal ini tentu saja menjadi satu usaha berarti dalam rangka meruntuhkan bangunan budaya patriarkhi yang sarat ketidakadilan bagi perempuan di Indonesia.
Sketsa biografi
Mengutip Susanti dalam Husein Muhammad, antara Feminis Islam dan Feminis Liberal, Husein lahir pada 9 Mei 1953, di Arjawinangun, Cirebon. Ia hidup di tengah keluarga pesantren, tepatnya, Ponpes Darut Tauhid, Arjawinangun. Ia putra dari Muhammad Asyrofuddin dan Ummu Salma Syathoti (putri muassis Ponpes Darut Tauhid –KH Syathori).
Pendidikan dasarnya ia tempuh di SD milik pesantren Darut Tauhid, dan tuntas pada tahun 1966. Lalu, ia melanjutkan ke SMPN 1 Arjawinangun, sampai tamat pada tahun 1969. Setapat SMP, ia berangkat mondok di Ponpes Lirboyo, Kediri. 3 tahun tamat di ponpes tersebut, Husein menempuh S1 di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Jakarta. Di sana pula, ia menghafal Al-Quran sekaligus membangun konsentrasi pada bidang ke-Al-Quran-an. Ia juga mengasah kemampuan di bidang jurnalistik bersama temannya, Mustafa Hilmy, yang menjadi redaktur Majalah Tempo kala itu.
Baca juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender
Setelah lulus, Husein berkelana ke Mesir. Ia melanjutkan studi di Al-Azhar atas rekomendasi Ibrahim Husein, Dosennya di PTIQ. Sesuai saran dosennya itu, ia mendalami Ilmu Al-Quran dan tafsir di sana, karena citra Mesir sebagai salah satu negara di Timur Tengah yang khazanah ilmu pengetahuannya lebih terbuka dibanding negara Timur Tengah lain.
Wawasan Husein tidak hanya bernuansa Arab, ia juga mendalami keilmuan Barat. Mengutip Muhammad Nuruzzaman dalam Kiai Husein Membela Perempuan, selain pemikiran tokoh Islam, Husein juga mengkaji pemikiran filsafat dan sastra Barat, seperti, Albert Camus, Sartre, dan Nietzsche.
Pada tahun 1983, Husein lulus dari Al-Azhar, lalu kembali ke kampung halaman. Selain mengasuh pesantren, Husein juga menginisiasi lembaga yang concern pada hak-hak perempuan. Seperti pada tahun 2001, ia mendirikan Yayasan Puan Amal Hayati, Fahmina Institite (ISIF), dan Rahima.
Karya-karya
Selain di lingkungan sosial, keseriusan Husein dalam menyuarakan hak-hak perempuan juga ia torehkan melalui puluhan karya. Antara lain; Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2001), yang berisi gagasan kritisnya terhadap pemaknaan teks-teks legal formal tentang perempuan, yang diskriminatif, Taqliq wa Takhrij Syarh al Lujain (Yogyakarta: Forum Kajian Kitab Kuning-LKiS, 2001), berisi gagasan kritis terhadap kitab ‘Uqudullujjain –referensi pendidikan seks yang populer di kalangan pesantren-, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren (Yogyakarta: YKFFF, 2002), Gender di Pesantren: Pesantren and The Issue of Jender Relation, dalam Majalah Culture, dalamThe Indonesian Journal of Muslim Cultures (Jakarta: Center of Languages and Cultures, UIN Syarif Hidayatullah, 2002), dan lain sebagainya.
Baca juga: Laleh Bakhtiar dan Kontribusinya Dalam Kajian Tafsir
Dengan sederet dedikasinya dalam menyuarakan hak perempuan baik lewat gerakan mau pun tulisan, ia mendapat penghargaan sebagai Doctor Honoris Causa di bidang Tafsir Gender. Penghargaan ini diberikan oleh UIN Walisongo pada 26 Maret 2019 Silam.
Pembacaan kontekstual berperspektif gender
Sebagai tokoh tafsir yang berkonsentrasi pada isu keperempuanan, Husein begitu memperhatikan substansi teks daripada memahaminya secara literal. Analisis konteks ia kedepankan dalam memakani ayat relasi laki-laki dan perempuan. Langkah ini ia tempuh tak lain untuk mendapatkan penafsiran yang adil terhadap perempuan.
Misalnya, saat mentafsir Surat An-Nisa ayat 34. Dalam Fiqh Perempuan-nya, ia menempatkan ayat ini secara kontekstual. Karena, ayat turun dalam sistem budaya patriarki, dan secara khusus untuk meminimalisir kekerasan yang akan timbul saat perempuan diperbolehkan membalas tindak kekerasan yang dilakukan suaminya secara setara. Dengan begitu, kepemimpinan laki-laki menjadi solusi saat itu.
Kepemimpinan laki-laki atas perempuan pada ayat tersebut adalah pemaknaan yang sarat akan muatan sosio-politis. Sehingga, bila suatu saat keadaan mengalami pergeseran, yang disinyalir oleh perubahan kebiasaan, lalu lahir budaya baru, maka pemaknaan ayat tersebut juga harus berubah. Seperti sekarang ini, saat perempuan banyak yang menunjukkan kiprah baik di lingkup rumah tangga maupun publik.
Baca juga: Mengenal Terma-Terma Perempuan dalam Al-Quran
Pemikiran reformis Husein Muhammad ini terinspirasi oleh Qasim Amin, feminis asal Mesir. Seperti Qasim Amin, Husein pun memiliki semboyan dalam mendongkrak praktik diskriminatif terhadap perempuan, Yaitu, “kaifa nataqaddamu duna an natakhalla’ ‘anitturath” (bagaimana kita bisa maju tanpa mendobrak tradisi lama?!). Tradisi yang dimaksudkan Husein tentu saja tradisi yang lahir dari Budaya Arabia di masa Islam Klasik, yang kemudian diadopsi dalam literatur keislaman dan masih saja kerap digunakan apa adanya –tanpa rekonstruksi- sampai saat ini.
Demikianlah Husein Muhammad dalam mengembangkan penafsiran berperspektif Gender. Bila ada yang bilang manusia adalah produk budaya dan tradisi yang ada di dalamnya. Maka, begitu pun budaya dan tradisi, bisa lahir, berkembang, kemudian mengalami perubahan, karena ada manusia sebagai agen perubahan. Dan untuk merubah tradisi yang sarat ketidakadilan bagi perempuan, pun laki-laki, butuh pemikiran-pemikiran bersudut pandang gender yang kritis dan rekonstruktif sebagaimana yang dilakukan Husein Muhammad. Wallahu a’lam[]