Di dalam surah Al-Baqarah: 30 diceritakan mengenai kisah Nabi Adam yang ketika hendak diciptakan sebagai khalifah di bumi, para malaikat ‘protes’ kepada Allah Swt. Mereka beranggapan bahwa manusia hanya akan membuat pertumpahan darah dan perusakan di muka bumi.
Anggapan tersebut ditepis Allah Swt dengan mengatakan “Inni A’lamu ma la ta’lamun (Aku lebih mengetahui apa yang kalian tidak ketahui)”. Akhirnya diciptakanlah Adam as sebagai manusia pertama, lalu disusul Hawa sebagai wanita yang menemaninya melahirkan keturunan di Bumi.
Dengan segala kenikmatan dan kelebihan manusia yang tidak dirasakan oleh malaikat dan iblis, kisah Nabi Adam berlanjut pada Surah Al-Baqarah: 35. Dalam ayat ini diceritakan bahwa Nabi Adam dan Hawa diberi aturan agar tidak mendekati ‘Pohon Ini’.
Akan tetapi Nabi Adam dan Hawa melanggar aturan tersebut karena tergoda oleh rayuan Iblis. Mereka bukan hanya mendekatinya, tetapi juga menyentuh, memetik dan memakan buah ‘Pohon Itu’. Akibatnya, Allah Swt memberi sanksi dengan memisahkan Nabi Adam dan Hawa di muka Bumi. Allah Swt mempertemukan Kembali mereka, setelah berkali-kali bertaubat.
Baca Juga: Benarkah Nabi Adam AS Penghuni Pertama di Bumi?
Cerita di atas mengandung dua pemahaman. Pertama, dosa pertama yang dilakukan manusia adalah dosa kepada alam, sebagaimana Nabi Adam mendekati, memetik dan memakan buah ‘Pohon itu’. Kedua, alam sejak awal dijadikan sebagai bagian penting dalam kehidupan manusia, berbuat jahat kepadanya akan mengakibatkan dampak negatif bagi manusia, sehingga alam menjadi salah satu hubungan utama manusia selain hubungan kepada Tuhan dan kepada manusia.
Dua pemahaman ayat di atas pada dasarnya saling terkait. Manusia dan alam adalah satu kesatuan, sehingga merusak kehidupan alam sama dengan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam ayat lain dikatakan bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan di laut merupakan hasil kejahatan manusia (QS. Al-Rum: 41).
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Dari ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan bahwa kerusakan alam merupakan perbuatan maksiat yang dilakukan oleh penghuninya (Ibnu Katsir, 1978). Ahmad Mustafa Al-Maragi memahami ayat tersebut sebagai sebuah isyarat bahwa kerusakan Alam merupakan akibat kezaliman manusia seperti peperangan, pesawat-pesawat terbang, kapal-kapal selam,dan lainnya (Ahmad Mustafa Al-Maragi, 1394).
Demikian juga Hamka yang menyebutkan berbagai perbuatan manusia yang merusak Alam seperti air dari pabrik-pabrik kimia, racun, sebagaimana ketika terjadi matinya berjuta ikan di sekitar Selat Terberau, antara Ujung Semenanjung Tanah Melayu dan pulau Singapura (Hamka, 1999). Hal ini menunjukkan besarnya campur tangan manusia terhadap kerusakan Alam.
Berbagai bencana alam yang terjadi selama ini, jangan-jangan bukan karena curah hujan yang tinggi, hujan tak turun-turun, musim hujan atau kemarau yang berkepanjangan, bukan juga yang lainnya. Tetapi, bencana Alam terjadi akibat kejahatan manusia yang, misalnya, menebang hutan secara liar, menutup saluran air dengan aspal, membela gunung, berbohong, tidak amanah, tidak mementingkan Shalat, Puasa, Zakat, sombong, atau lainnya.
Kisah Nabi Adam memperlihatkan bahwa sekalipun ia menjadi manusia pertama di Bumi, yang kemuliaannya melebihi Malaikat –apalagi Iblis, tetapi bukan berarti Adam diperbolehkan bertindak semaunya. Faktanya, Allah Swt menghukumnya karena mendekati Pohon yang dilarang.
Artinya, ada sesuatu yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia, sesuatu yang harus atau tidak harus dilakukan. Kebolehan beriringan dengan ketidakbolehan, keharusan beriringan dengan ketidakharusan layaknya beriringinannya ungkapan Al-Qur’an tentang amar ma’ruf nahi munkar.
Ketika seseorang melakukan kebaikan (ma’ruf), maka saat yang sama ia tidak melakukan keburukan (munkar). Ketika seseorang diperbolehkan menikmati sesuatu, maka saat yang sama ia tidak diperbolehkan menikmati sesuatu. Ketika seseorang diharuskan melakukan sesuatu, maka saat yang sama ia tidak diharuskan melakukan sesuatu. Di dalam kenikmatan Surga yang dibolehkan untuk dicicipi oleh Adam, terdapat ‘Pohon itu’ yang tidak boleh dinikmati oleh Adam.
Dosa pertama manusia dilakukan kepada Alam, makhluk yang selalu dijadikan Objek (korban) oleh manusia. Manusia tidak ‘mendengarkan’ perkataan Alam, tidak ‘memperhatikan’ kegelisahan Alam, atau tidak ‘menyadari’ penderitaan Alam.
Baca Juga: Empat Tipologi Bencana dalam Perspektif al-Quran
Boleh jadi, semua bencana ini terjadi karena manusia tidak menjadikan Alam sebagai Subjek (pelaku), yang mesti didengar, diperhatikan, juga disadari kehadirannya. Padahal, Tuhan bisa saja marah kepada manusia karena Alam, sebagaimana Adam yang diberi hukuman karena mendekati ‘Pohon itu’.
Cerita Adam mengajarkan kita tentang beretika kepada Alam. Adam adalah kita, dan ‘Pohon itu’ adalah Alam, dan Alam adalah kita. Menjaga kebaikan Alam adalah sebuah keniscayaan untuk menjaga kebaikan manusia.
Dengan tidak merusaknya, kita tidak hanya melakukan kebaikan kepada Alam, tetapi juga telah menjaga kehidupan manusia dari bencana Alam. Ketika Tuhan melarang Adam untuk mendekati ‘Pohon itu’, boleh jadi Tuhan sedang menjaga Nabi Adam dari perbuatan Zalim. Ketika Allah Swt menghukum Nabi Adam, boleh jadi Dia sedang memperlihatkan akibat kezaliman pada ‘Pohon itu’. Wallahu A’lam.