Bagi umat Islam, Nabi Muhammad Saw merupakan sosok manusia sempurna tiada tara, baik jasad maupun roh (insan al-kamil). Syaikh Dr. Ali Jum’ah mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah menjadi manusia sempurna bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul. Kesempurnaan beliau itu terlihat dalam setiap gerak-geriknya.
Mantan mufti Mesir tersebut juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak hanya seorang manusia sempurna, tetapi jauh lebih tinggi dari itu, yakni insan rabbani atau manusia rabbani. Proses transformasi ini terjadi ketika beliau berumur 40 tahun saat diangkat menjadi Nabi dan Rasul, saat di mana wahyu Al-Qur’an pertama kali diwujudkan.
Jika kita mencermati Al-Qur’an, maka dapat ditemukan bahwa Nabi Muhammad Saw dengan segala kesempurnaan-nya tidaklah dihadirkan hanya sebagai sosok yang harus dikagumi, digilai, dan dicintai, tetapi ia adalah representasi puncak kesempurnaan manusia yang harus dicontoh, digapai dan diikuti. Allah Swt berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ ٢١
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa sosok Nabi Muhammad Saw merupakan barometer kehidupan beragama umat Islam. Sebagai pembawa pesan Allah Swt, Muhammad Saw sukses menghidupkan pesan tersebut dalam dirinya dan bagi orang di sekitarnya. Sifat, sikap dan nilai-nilai yang dibawa beliau–meskipun tidak seluruhnya–merupakan representasi dari ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Baca Juga: Benarkah Nabi Muhammad Mengidap Epilepsi Ketika Menerima Wahyu?
Berkenaan dengan sifat beliau, Hisyam bin Amir pernah bertanya kepada Aisyah ra dan dijawab, “Akhlak Nabi Muhammad Saw adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim). Jawaban singkat Aisyah ini sangat singkat, namun sarat makna. Ia menyifati baginda nabi dengan satu sifat yang paling agung, yakni Al-Qur’an yang diturunkan Allah Swt.
Tafsir Surat Ali Imran Ayat 31
Allah Swt berfirman:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٣١
“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Ali Imran [2]: 31)
Diriwayatkan bahwa ayat ini turun menanggapi ucapan delegasi Kristen Najran yang menyatakan bahwa pengagungan mereka terhadap Nabi ‘Isa as adalah pengejawantahan dari cinta kepada Allah Swt. Riwayat lain menyatakan bahwa ayat ini turun menanggapi ucapan sementara kaum muslimin yang mengaku cinta kepada Allah swt. (Tafsir Al-Misbah [2]: 69).
Dalam ayat ini Allah Swt seakan-akan berkata, “Katakanlah wahai Nabi agung Muhammad kepada mereka yang merasa mencintai Allah, Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, yakni laksanakan apa yang diperintahkan Allah melalui aku, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan bertakwa kepada-Nya.”
Lalu, “Jika itu kamu laksanakan, maka kamu telah memasuki ke pintu gerbang meraih cinta Allah, dan jika kamu memelihara kesinambungan ketaatan kepada-Nya serta meningkatkan pengamalan kewajiban dengan melaksanakan sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu. Semua itu karena Allah Maha Pengampun terhadap siapa pun yang mengikuti rasul lagi Maha Penyayang.”
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa mengikuti Rasul–dalam hal-hal yang sifatnya wajib–dapat mengantarkan seseorang memasuki pintu gerbang cinta sejati kepada Allah. Menurut Quraish Shihab, mengikuti rasul dalam batas minimal seperti yang digambarkan ayat tersebut adalah tangga pertama menuju puncak mahabbatullah.
Secara umum, mengikuti rasul itu bertingkat-tingkat. Mengikuti dalam amalan wajib, selanjutnya mengikuti beliau dalam amalan sunnah muakkadah, lalu sunnah-sunnah yang lain walau tidak muakkadah, dan mengikuti beliau, bahkan dalam adat istiadat serta tata cara kehidupan keseharian beliau, walau bukan merupakan ajaran agama.
Mengikuti Nabi Muhammad Saw dalam memilih model dan warna alas kaki atau pakaian bukanlah bagian dari ajaran agama Islam, tetapi apabila hal itu dilakukan demi cinta dan berlandaskan keinginan untuk meneladani beliau, maka Allah tidak akan membiarkan seseorang yang cinta kepada Nabi-Nya bertepuk sebelah tangan. Cinta itu akan terbalas tuntas tanpa kurang sedikit pun. (Tafsir Al-Misbah [2]: 70).
Al-Qusyairi melukiskan cinta manusia kepada Allah atau al-mahabbah sebagai “mementingkan kekasih dari sahabat.” Maksudnya, mementingkan hal-hal yang diridhai kekasih dalam hal ini Allah Swt daripada kepentingan ego. Jika kepentingan tersebut bertentangan dengan ketentuan Allah, maka patuhi ketentuan-Nya. “Kalau kamu mencintai Alllah, maka ikutilah aku niscaya Allah mencintai kamu” (QS. Al ‘Imran [3]: 31)
Baca Juga: Inilah Alasan Mengapa Umat Islam Harus Mengenal Rasulullah SAW
Cinta kepada Allah dan Rasul tidak harus dipertentangkan dengan cinta kepada dunia dengan segala kemegahannya. Bisa saja seseorang tetap taat kepada Allah atau cinta kepada-Nya dan pada saat yang sama dia berusaha sekuat tenaga untuk meraih sebanyak mungkin gemerlapnya duniawi–namun ia tidak menempatkannya di dalam hati–karena mencintai merupakan naluri manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengikuti Rasul–baik perintah, larangan, dan anjurannya dengan berlandaskan cinta–merupakan sarana untuk mendapatkan cinta Allah Swt. Dengan demikian, cinta adalah ketaatan dan ketaatan akan bermakna dengan rasa cinta. Apabila ini sudah tertanam dalam hati seorang muslim, maka tidak ada satupun yang dapat menggoncang imannya. Wallahu a’lam.