Nisbat iluminasi pada mushaf kuno terhadap satu wilayah tertentu seyogyanya tidak lantas memastikan asal dari mushaf tersebut. Nisbat iluminasi lebih dimaksudkan kepada gaya (style) sebuah wilayah, yang mungkin juga didapati pada mushaf wilayah lain. Demikian setidaknya penjelasan Annabel Teh Gallop.
Dalam event seminar yang digelar oleh Universiti Malaysia Terengganu (UMT) (12/12/2022), Bu Annabel (panggilan akrab Annabel The Gallop) juga menyebutkan bahwa gaya iluminasi sangat mungkin dimodifikasi oleh penyalin atau pelukis iluminasi sehingga menciptakan gaya ‘baru’, semacam hybrid (campuran) antar wilayah. Dalam konteks Terengganu-Patani misalnya, gaya hybrid boleh jadi diinisiasi oleh pelukis iluminasi Kelantan yang menjadi wilayah ‘perantara’ (wilayah yang terletak di antara dua gaya iluminasi) keduanya.
Penjelasan yang disampaikan Annabel ini didasarkan pada kategorisasi yang dia lakukan terhadap ragam gaya iluminasi mushaf di sepanjang Pantai Timur Semenanjung Melayu, yang terbagi menjadi dua, Terengganu dan Patani. Ini sebabnya mengapa gaya hybrid yang disinggung sebelumnya merupakan gabungan dari keduanya.
Sebagai informasi, kategorisasi yang dilakukan Bu Annabel ini juga dapat pembaca sekalian rujuk pada artikelnya yang berjudul The Art of the Malay Qur’an yang dimuat di majalah Arts of Asia volume 42 nomor 1 tahun 2012.
Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa iluminasi gaya Terengganu berbeda dari gaya Patani setidaknya dalam lima hal: keterampilan iluminasi yang mengesankan; penggunaan warna yang terang, dalam, dan berkilau; dua bingkai iluminasi (bingkai dalam yang melingkari teks dan bingkai luar yang berada pada tepi kertas); bingkai dalam yang terdiri dari tiga buah kubah yang saling berkesinambungan; serta motif bunga-bunga yang rapat dan rata.
Mengacu pada ulasan yang disampaikan Annabel ini, beberapa mushaf yang kini tersimpan di Indonesia, baik perseorangan maupun oleh instansi, agaknya juga memiliki gaya serupa. Beberapa telah teridentifikasi dan diduga berasal dari Terengganu. Akan tetapi, banyak juga yang belum mendapati kejelasan perihal keasliannya.
Mushaf yang teridentifikasi dan diduga berasal dari Terengganu seperti naskah berkode A. 47 yang kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Identifikasi gaya Terengganu terlihat dari iluminasinya yang terdiri dari dua bingkai dengan kriteria yang sama, yakni bingkai dalam yang berkesinambungan ketiga kubahnya dan bingkai luar yang merapat pada tepi kertas. Hal ini sebagaimana tercantum dalam deskripsi yang diberikan Ali Akbar (lihat selengkapnya pada Mushaf Kuno Nusantara: Jawa).
Sementara mushaf dengan gaya iluminasi Terengganu tapi belum teridentifikasi asalnya seperti beberapa mushaf yang tersimpan di Museum Masjid Agung Demak, yang dalam buku Mushaf Kuno Nusantara: Jawa, bernomor 2, 4, dan 9; Masjid Agung Surakarta nomor 10 dan 14; Museum Sonobudoyo Yogyakarta nomor 4; dan mushaf milik Muhammad Khozin dari Yogyakarta.
Berkaitan dengan temuan mushaf dengan gaya iluminasi Terengganu asal Indonesia ini, penulis memiliki sebuah pertanyaan, yakni apakah Jawa (atau barangkali wilayah lain di Indonesia Timur) termasuk dalam wilayah Pantai Timur Semenanjung Melayu sebagaimana dimaksud kategorisasi Bu Annabel di atas? Jika tidak, lantas bagaimana dengan temuan mushaf dengan gaya serupa dari wilayah-wilayah tersebut?
Dasar dari pengajuan pertanyaan ini adalah kisaran tahun ‘produksi’ mushaf-mushaf Terengganu yang menurut Bu Annabel berada di kisaran abad ke-19 (1800-1900). Sementara beberapa mushaf Indonesia yang penulis sebutkan sebelumnya, ada yang justru berasal dari abad ke-18, seperti mushaf Museum Masjid Agung Demak nomor 4 yang berasal dari tahun 1783.
Jika demikian, maka kesamaan gaya iluminasi dalam mushaf kuno sangat mungkin terjadi tanpa unsur kesengajaan. Bahkan jika boleh dikatakan, ada unsur wilayah lain yang memberi pengaruh terhadap gaya Terengganu, yang dalam kasus ini misalnya mushaf dari Museum Masjid Agung Demak. Artinya, gaya Terengganu yang disebutkan Bu Annabel pada dasarnya juga merupakan gaya hybrid yang berasal dari modifikasi wilayah lain.
Jawaban dari pertanyaan ini tentunya membutuhkan kajian kesejarahan yang sangat serius. Untuk saat ini, analisis terhadap iluminasi mushaf-mushaf Indonesia menggunakan ‘teori kategorisasi’ gaya iluminasi oleh Bu Annabel menunjukkan adanya penggunaan gaya Terengganu yang cukup kuat. Wallahu a‘lam bi al-shawab.