Imam Ibn Jarir al-Thabari merupakan seorang bapak tafsir yang karyanya dianggap sebagai ensiklopedia pengetahuan paling kaya di bidang tafsir bi al-ma’tsur. Bahkan para sarjana Timur dan Barat sepakat untuk memberikan nilai yang sangat tinggi pada tafsir tersebut.
Sebagaimana dikutip dalam Thabaqat al-Mufassirin karya al-Suyuthi, Abu Hamid al-Isyfarayni mengatakan, “Andai saja seseorang pergi ke negeri Cina dan mampu melahirkan tafsir Ibn Jarir al-Thabari, maka itu bukanlah sebuah pekerjaan yang besar.”
Theodor Nöldeke, seorang orientalis Jerman juga menulis dalam bukunya, Geschichte des Qorans—ketika mengumpulkan manuskrip asli dari Tafsir al-Thabari—“Apabila kita dapat menghasilkan kitab tafsir ini, maka kita tidak akan membutuhkan tafsir-tafsir yang muncul selanjutnya.”
Baca juga: Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir
Al-Thabari juga dikenal sebagai ulama yang kompeten dalam multidisiplin keilmuan, seperti fikih, hadis, sejarah, dan lain-lain. Bahkan, sebagai seorang mujtahid ia membangun mazhab fikih dengan kajian yang independen, meskipun mazhabnya tidak bertahan hingga saat ini.
Namun, kementerengan ilmu al-Thabari nyatanya tidak dapat menghindarkannya dari berbagai konflik teologis. Bahkan ia dianggap kontroversial karena menafikan mazhab Hambali sebagai aliran yang sah, sebab Ahmad bin Hanbal merupakan ahli hadis dan bukan seorang yang kompeten dalam yurisprudensi Islam.
Bermula dari peristiwa itulah konfliknya dengan pengikut Hambali dimulai dan semakin memanas karena merembet hingga perdebatan tafsir ayat antropomorfisme. Dalam Mazahib al-Tafsir al-Islami, disebutkan bahwa pernah terjadi keributan yang memakan banyak korban di kota Baghdad akibat perselisihan memaknai Q.S. Al-Isra’ (17): 79:
وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
Pengikut Hambali menafsirkan bahwa maqam mahmud pada ayat di atas bermakna Allah mendudukkan Nabi Muhammad bersama-Nya di Arsy. Sedangkan kelompok lain yang dipengaruhi Mu’tazilah—dan dijadikan pegangan Ahlussunnah—memahami istilah tersebut sebagai peninggian derajat Nabi Muhammad.
Baca juga: Mengenal Jami’ al-Bayan Karya Ibnu Jarir At-Thabari
Al-Thabari yang terlibat dalam perdebatan itu memberi komentar, “Pembicaraan mengenai duduk di kursi adalah sesuatu yang mustahil,” seraya mendendangkan sebuah syair:
سُبْحَانَ مَنْ لَيْسَ لَهُ أَنِيْس وَلَا لَهُ فِي عَرْشِهِ جَلِيْس
“Maha Suci Ia yang tidak memiliki teman
Dan di arsy-Nya tidak ada teman duduk baginya”
Pernyataan itu sontak memancing amarah pengikut fanatik Hambali disusul amukan massa yang terprovokasi melempari Al-Thabari dengan batu, membuat pemerintahan saat itu mengerahkan ribuan pasukan demi melindunginya. Bahkan diceritakan dalam Mu’jam al-Adibba’ bahwa batu-batu tersebut menjadi tumpukan bukit di depan rumah Al-Thabari.
Lebih lanjut, Yaqut al-Hamwi, penulis Mu’jam al-Adibba’ menceritakan bahwa amukan massa terhadap Al-Thabari berlangsung lama hingga ia tidak bisa keluar untuk sekadar memberikan pelajaran kepada murid-muridnya. Ia juga dituduh sebagai Syiah Rafidhah oleh pengikut Hambali yang dipelopori Abu Bakar Ibn Dawud, petinggi Mazhab Hambali di Baghdad.
Baca juga: Perkembangan Tafsir Kawasan Mesir Era Klasik
Sebenarnya pemerintah telah mengatur debat antara al-Thabari dan pengikut Hambali untuk menyelesaikan konflik kedua belah pihak. Pada kesempatan itu al-Thabari bersedia hadir, sedangkan para pengikut Hambali enggan datang kecuali untuk melemparinya dengan batu.
Pengepungan Al-Thabari terus berlangsung hingga akhir hayatnya. Ia wafat di kediamannya dengan meninggalkan duka yang amat mendalam. Mazhab fikih yang dibangunnya pun ikut lenyap seiring berjalannya waktu dan hanya meninggalkan sejarah bagi para pembacanya.
Itulah akhir hidup dari sang mufasir mujtahid yang diberikan ujian cukup berat di akhir hayatnya. Meskipun tidak sedikit kitab Imam al-Thabari yang hilang, tetapi beberapa karya monumentalnya seperti Jami’ al-Bayan dan Tarikh al-Umam wa al-Muluk masih tersisa hingga saat ini dan menjadi oasis segar bagi peradaban Islam.