Perkembangan Tafsir Kawasan Mesir Era Klasik

Perkembangan Tafsir Kawasan Mesir Era Klasik
Perkembangan Tafsir Kawasan Mesir Era Klasik

Ketika berbicara mengenai khazanah keilmuan Islam, rasanya kurang lengkap jika tidak menyebut negeri Mesir atau yang juga dikenal dengan Negeri Sphinx dan Negeri Kinanah. Sebut saja Universitas al-Azhar yang masih berdiri hingga saat ini dan terus saja menghasilkan sarjana-sarjana yang mahir dalam ilmu keislaman.

Tak terkecuali dalam bidang tafsir. Jika kita telusuri dalam kitab Tabaqat al-Mufassirin karya Syamsuddin al-Dawudi dan Mu’jam al-Mufassirin min Shadr al-Islam hatta al-‘Ashr al-Hadith karya ‘Adil Nuwaihidh, akan kita temui tidak kurang dari 74 karya tafsir yang lahir di Mesir dari abad ke-2 H hingga 15 H; mulai dari Dzunnun al-Mishri hingga syaikh Mutawalli al-Sya’rawi.

Pada rentang waktu tersebut, setiap abadnya selalu ada karya tafsir yang lahir. Dari 74 karya tafsir yang tercatat tersebut ternyata ditulis dengan corak atau pendekatan yang beragam. Ada yang menggunakan pendekatan bahasa, fikih, sufistik, dan lain-lain yang menunjukkan perkembangan dan keragaman diskursus tafsir di negeri tersebut.

Dari karya-karya tafsir tersebut ada yang menafsirkan Alquran secara keseluruhan dan ada juga yang parsial, serta ada juga beberapa karya tafsir yang tidak diketahui judulnya dan karya-karya tafsir yang belum dicetak (masih berbentuk manuskrip).

Fase Takwin atau Pembentukan

Dzikri Nirwana dalam Peta Tafsir di Mesir yang dimuat di jurnal Falasifa menyebutkan awal mula masuknya Islam dan kajian tafsir di Mesir ditandai dengan keberhasilan ‘Amr bin al-‘Ash merebut Mesir dari tangan kekaisaran Bizantium pada masa itu.

Tercatat beberapa sahabat Nabi seperti Abu Ayyub al-Anshari (w. 51 H), ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash (w. 56 H), ‘Uqbah bin ‘Amir (w. 58 H), ‘Abdullah bin ‘Abbas (w. 68 H), dan ‘Utbah bin al-Nudharr (w. 84 H) yang berjasa besar dalam pembentukan kajian tafsir di Mesir.

Dari Abu Ayyub al-Anshari dan ‘Utbah bin al-Nudharr lahirlah para tabiin Mesir seperti ‘Abdurrahman bin Hajiran al-Khawlani, ‘Ali bin Rabah al-Lakhmi, dan lain-lain yang aktif menyebarkan ilmu tafsir di Mesir.

Selain itu, beberapa murid Ibn ‘Abbas seperti Mujahid, Ikrimah, dan Hanash al-San’ani tercatat pernah melakukan lawatan ke Mesir dan mengajarkan tafsir di sana. Kehadiran Ibn ‘Abbas dan murid-muridnya di Mesir ini menunjukkan bahwa pada masa awal pembentukan tafsir di Mesir itu sedikit banyak dipengaruhi oleh “mazhab” tafsir Makkah.

Pada fase takwin ini belum ditemukan sebuah karya tafsir yang tersusun secara sistematis dalam sebuah buku, karena memang penafsiran pada masa ini sifatnya “kondisional” dan spontan saja pada peristiwa-peristiwa yang terjadi melalui lisan ke lisan, serta riwayat-riwayat yang ada pun masih terpencar dan belum terkodifikasi.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh al-Qattan dalam Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an yang menjelaskan bahwa aktivitas kodifikasi dan pembukuan tafsir itu baru terjadi mulai abad ke-2 H.

Baca juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Nabi dan Sahabat (1)

Fase Tadwin atau Kodifikasi

Fase selanjutnya disebut dengan fase tadwin atau kodifikasi, sehingga karya-karya tafsir yang lahir terlihat lebih terstruktur dan sistematis jika dibandingkan dengan fase sebelumnya. Bahkan banyak sekali kitab tafsir yang muncul pada fase ini yang bisa kita akses dengan mudah di masa sekarang.

‘Abdullah Khurshid dalam buku al-Qur’an wa ‘Ulumuhu fi Mishr menyebutkan beberapa nama mufasir di fase ini. Di antaranya, ‘Atha bin Dinar (w. 126 H), ‘Ubaid al-Anshari (w. 135 H), ‘Abdullan bin Wahb (w. 197 H), al-Imam al-Syafi’i (w. 204 H), ‘Abdullah bin Shalih (w. 223 H), ‘Abd al-Ghani al-Thaqafi (w. 229 H), Abu Ja’far al-Nahas (w. 338 H), dan Abu Bakar al-Adfawi (w. 388 H).

Hanya saja, berdasarkan penelitian Khurshid, karya-karya dari para mufasir awal di Mesir tersebut sulit sekali dilacak keberadaannya kecuali tafsir karya Imam al-Syafi’i (karya tafsirnya berjudul Ahkam al-Qur’an yang disusunkan oleh Imam al-Baihaqi) dan tafsir Abu Ja’far al-Nahas yang pada masa ini memang sudah dicetak sedemikian rupa.

Beberapa karya tafsir yang lahir pada fase ini dan populer di masa kini di antaranya adalah kitab Ma’ani al-Qur’an karya al-Nahas, tafsir Jalalain yang ditulis oleh imam Jalaluddin al-Mahalli dan al-Suyuthi, dan al-Durr al-Manthur fi al-Tafsir bi al-Ma’thur karya al-Suyuthi.

Kembali kepada penjelasan dari kitab Tabaqat al-Mufassirin dan Mu’jam al-Mufassirin, jika diperhatikan lebih jauh maka akan didapati sedikit pergeseran corak atau pendekatan penafsiran Alquran dari zaman ke zaman.

Misalnya, pada masa-masa awal kodifikasi, banyak karya tafsir yang ditulis dengan corak lughawi (kebahasaan). Sebut saja kitab Ma’ani al-Qur’an karya al-Nahas (abad ke-4 H) , al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an dan I’rab al-Qur’an karya Abu al-Hasan al-Hufi (abad ke-5), serta Fawatih al-Qur’an al-Karim dan Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi al-Isbagh (abad ke-7 H). Tanpa menafikan berkembangnya corak dan pendekatan lain, seperti corak fikih dan analitis.

Pergeseran corak kajian tafsir yang begitu menonjol ditandai dengan munculnya Syaikh Thantawi Jauhari dan Muhammad Abduh yang telah membawa warna tersendiri ke dalam diskursus tafsir dengan pendekatan sains (Tafsir al-Jawahir) dan adabi ijtima’i (Tafsir al-Manar).

Demikian sekelumit perkembangan tafsir kawasan Mesir di era klasik, dari era pembentukan (takwin) hingga kodifikasi (tadwin), serta disinggung pula sedikit mengenai tafsir yang lahir di Mesir pada dua abad ke belakang. Hal ini menunjukkan kajian tafsir yang begitu “ramai” dan dinamis sesuai kebutuhan zaman yang terjadi di Mesir.

Semoga Indonesia kedepannya juga bisa melahirkan pakar-pakar tafsir yang mampu menghadirkan pesan-pesan Alquran ke tengah masyarakat. Amin.

Baca juga: Menilik Peta Perkembangan Tafsir Modern di Mesir dari Kacamata J.J.G. Hans Jansen