Manusia merupakan makhluk yang beradab dan memiliki insting untuk memajukan peradaban. Dalam bahasa Ibnu Khaldun, manusia seperti ini disebut sebagai manusia berorientasi ‘umran hadhari. Melalui karya fenomenal Muqaddimah, Ibnu Khaldun menuliskan interpretasi sosiologis atas ayat Alquran dengan konteks maju-mundurnya peradaban.
Ibnu Khaldun memiliki nama lengkap Waliyuddin Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun al-Hadrami al-Ishbili yang lahir di Tunisia tahun 732 H./1322 M. dan wafat pada tahun 1406 M. Dia terlahir setelah Dinasti Abbasiyah runtuh pasca serangan bangsa Mongol yang berhasil mengasai kota Baghdad tahun 1258 M. Kehidupannya di abad ke 14 hingga awal abad ke 15 mengalami persinggungan politik yang luar biasa. Saat itu, Kerajaan yang mewakili Islam terpecah-pecah dan disebut sebagai era kegelapan.
Dia pernah terlibat dalam perpolitikan pada pertengahan abad ke-14, di bawah Dinasti Hafsiyun (1229-1574 M.) Tunisa. Namun dia tidak begitu puas dengan dunia perpolitikan yang penuh intrik. Dia juga pernah memiliki relasi dengan Muhammad, seorang mantan penguasa Dinasti al-Muwahhidun (1128-1269 M.). Kontak relasi ini menyebabkan ia sebagai tahanan politik dan deportasi dari Tunisia. Dia pun akhirnya pindah ke Granada di bawah Dinasti Nashri. Setelah itu pernah kembali ke Tunisia dan pergi ke Maroko. Ibnu Khaldun memang terkenal sering pindah tempat, karena kondisi perpolitikan yang tidak stabil saat itu. Dengan kondisi perpolitikan yang demikian, sebagai intelektual ia mampu melahirkan karya dengan pendekatan sejarah, sosiologi, dan filsafat yang diakui dunia.
Baca Juga: Israiliyat Dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun
Muqaddimah: Karya Pengantar yang Fenomenal
Sebenarnya Ibnu Khaldun menulis kitab pengantar (Muqaddimah) ini untuk mengantarkan kitab yang lebih besar yakni Kitab al ʻIbari Wa Diwan al-Mubtada’ wal-Ḥabar fi Ayam ail ʻArab wal ʿAjam wal Barbar, wa man ʻAsarahum min Dhawish Shalṭanil Akbar (Buku-buku pelajaran mengenai catatan dari awal mula dan berbagai peristiwa sejarah dari bangsa Arab, non-Arab, Barbar serta bangsa-bangsa kuat yang sezaman). Tapi karena Muqaddimah ini mencakup banyak bab, maka dianggap sebagai karya tersendiri.
Karya Muqaddimah ini ditulis oleh Ibnu Khaldun pada tahun 1377 M. dan digunakan banyak sarjana melalui pencatatan tradisional, yaitu tradisi menyalin manuskrip. Ahmad El-Syamsy dalam bukunya Rediscovering the Islamic Classics: How Editors and Print Culture Transformed an Intellectual Tradition menyebut bahwa karya ini baru dicetak pada tahun 1857 M. di Bulaq Press Kairo. Percetakan ini didukung penuh oleh tokoh pembaharu, yaitu Rifa’a at-Tahtawi. Melalui percetakan ini, Nasr al-Hurini yang bertugas sebagai pentahqiq kitab menempatkan Muqaddimah di jilid pertama disusul dengan enam jilid lainnya dari kitab al-‘Ibar.
Setelah ditahqiq, Muqaddimah ini dikelompokkan menjadi enam pasal atau bab. Bab pertama membahas karakter peradaban manusia secara umum, bab kedua tentang peradaban badui bangsa dan kabilah liar, bab ketiga tentang kerajaan, kepemimpinan dan hal yang berkaitan. Bab keempat tentang pembangunan kota, negeri dan hal yang berkaitan. Bab kelima tentang perekonomian, dan bab keenam tentang ilmu pengetahuan.
Baca Juga: Mengenal Muhammad Abid al-Jabiri, Mufasir Kontemporer Asal Maroko
Interpretasi Ibnu Khaldun atas Maju Mundurnya Peradaban
Syed Farid Alatas dan ilmuan lain menyepakati bahwa Ibnu Khaldun adalah Bapak Sosiologi. Uniknya, Ibnu Khaldun menjelaskan hal-hal yang bersifat sosiologis dan historis itu dalam bingkai Qur’ani. Memang dia tidak dikenal sebagai seorang mufasir. Namun dia mencantumkan beberapa ayat Alquran dalam menjelaskan fenomena sosial yang dia teliti. Salah satunya terkait maju mundurnya suatu pemerintahan bangsa.
Dalam Q.S. Al-Ahqaf (46) ayat 15 menyebutkan,
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ
“Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan. Sehingga, apabila telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun,…”
Menurut Ahmad bin Muhammad Al-Shawi dalam Hasyiyah Al-Sawi ala Tafsir Jalalain yang dimaksud mencapai empat puluh tahun itu adalah usia yang matang dan kuat bagi manusia. Umur empat puluh merupakan sempurnanya usia manusia, meliputi kekuatan fisik, akal, gagasan dan lain sebagainya. Dalam usia tersebut Nabi Muhammad juga diangkat oleh Allah mendapatkan risalah kenabian. Hal ini didukung dengan suatu Riwayat hadis nabi dari Ibnu Abbas. Penafsiran serupa juga ditemukan dalam Tafsir Al-Qurthubi.
Ibnu Khaldun juga menekankan pada kalimat arba’îna sanah. Empat puluh sebagai usia matang manusia digunakannya sebagai standar usia per satu generasi. Sementara dia memiliki hipotesis bahwa masyarakat akan mengulangi siklus peradaban, dengan tiga generasi. Generasi pertama adalah generasi pendiri, generasi kedua adalah generasi pengembang serta penikmat, dan generasi ketiga adalah generasi lalai yang meruntuhkan. Jika satu generasi berumur 40 tahun, maka tiga generasi berarti 120 tahun.
Dia menambahkan, “Biasanya suatu kerajaan (pemerintahan) tidak dapat melampaui umur tersebut. Hanya saja memang terkadang ada kurang lebihnya, jika tidak ada gangguan lain seperti serangan bangsa lain”. Ibnu Khaldun lantas mengutip QS. Al-A’raf: 34 yang berarti, “Maka, apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula memajukannya.”
Dalam pandangan tafsir tradisional, apa yang diinterpretasikan oleh Ibnu Khaldun ini bukanlah suatu tafsir yang memenuhi persyaratan. Jenis interpretasi seperti ini menurut KH. Bisri Mustofa dalam Kitab Al-Iksir fi Tarjamah Nadhm Ilmi Tafsir masuk kategori pengambilan falsafah dari suatu ayat. Jika dianggap sebagai tafsir, maka barang tentu Ibnu Khaldun menampilkan berbagai riwayat untuk menyampaikan interpretasinya. Ia menyebut bahwa interpretasinya itu terinspirasi dari peristiwa paceklik yang dialami oleh Bani Israel, dan dia melihat sejarah itu dari gejala sosiologi.
Di sini bisa diambil kesimpulan bahwa Ibnu Khaldun memprediksi umur suatu pemerintahan atau peradaban bangsa secara umum 120 tahun. Peradaban akan maju jika sang pemimpin memiliki jiwa layaknya generasi pertama yang mendirikan atau generasi kedua yang mengembangkan. Namun, peradaban akan mundur jika sang pemimpin sudah menghilangkan kesadaran betapa besar peran pendahulunya. Pemimpin yang lalai, akan segera menjemput titik kejatuhannya. Wallah a’lam