Bulan Muharram adalah bulan mulia menjadi penanda masuknya tahun baru Islam, sekaligus termasuk kategori asyhurul hurum (Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah) sebagaimana disebutkan dalam Alquran. Maka, pada bulan ini pula Islam melarang berperang di bulan Haram. Menumpahkan darah tanpa sebab, tanpa dasar yang logis dan rasional, tanpa melihat konteks yang ada, terlebih seruan jihad fi sabilillah yang diasosiasikan kepada makna berperang tentu sangat tidak tepat dan tidak relevan pada zaman modern ini.
Pernah suatu ketika pada masa Rasulullah terjadi peperangan di bulan haram. Dikisahkan, Setelah kepulangan Rasulullah Saw dari perang Badar pertama, beliau mengutus pasukan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy ke daerah Nakhlah. Tujuan pasukan ini yakni sebagai tim investigasi untuk memantau adanya penyusupan orang-orang Yahudi.
Beliau lalu menitipkan surat kepada Abdullah dan memerintahkan agar tidak membaca isi surat tersebut kecuali setelah mereka menempuh perjalanan selama dua hari. Abdullah menyanggupi apa yang diperintahkan oleh baginda Rasulullah. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, dia membuka surat yang dititipkan Rasulullah kepadanya.
Ternyata isi surat tersebut berbunyi, “jika kamu telah membaca isi suratku ini, maka teruslah berjalan sampai tiba di sebuah pohon kurma yang berada diantara Makkah dan Tha’if. Intailah orang-orang Quraisy dari pohon tersebut. Lalu laporkan kepada kami mengenai apa saja aktivitas yang mereka lakukan.” Setelah selesai membaca surat itu, Abdullah bin Jahsy berkata, “ kami mendengar dan menaati perintah Anda.”
Abdullah bin Jahsy lalu terus melakukan perjalanan menuju Hijaz sampai akhirnya tiba ditempat sebagaimana yang dimaksudkan dalam surat Rasulullah. Tidak lama kemudian melintaslah satu kafilah Quraisy yang membawa barang dagangannya melewati rombongan Abdullah bin Jahsy. Ketika orang-orang musyrik itu melihat sejumlah kaum muslimin, ternyata mereka menampakkan sikap hormat.
Karena melihat Ukas bin Mihsan, salah satu anggota rombongan Abdullah, mencukur kepalanya sehingga memberi kesan bahwa mereka akan melaksanakan umrah. Awalnya, Abdullah bin Jahsy sempat ragu untuk menyerang kafilah Quraisy tersebut karena saat itu sedang dalam bulan haram.
Namun setelah berunding, akhirnya mereka memberanikan diri dan sepakat untuk membunuh orang-orang musyrik tersebut dengan alasan seandainya orang-orang musyrik itu dibiarkan pergi, pasti suatu saat mereka juga akan memerangi seluruh kaum muslimin. Para sahabat rasul itu kemudian membidikkan anak panah mereka. Sebagian orang-orang musyrik berhasil dibunuh dan sebagian lainnya dijadikan tawanan. Pada kesempatan itu, kaum muslimin berhasil mendapatkan harta rampasan yang mereka bawa pulang ke Madinah.
Ketika Rasulullah melihat kedatangan mereka dan mengetahui apa yang mereka perbuat, beliau marah, lalu bersabda, “Aku tidak menyuruh kalian untuk berperang pada bulan haram,” Rasulullah kemudian memutuskan untuk menangguhkan status mengenai apa yang mereka perbuat sampai datang keputusan dari Allah. Maka turunlah ayat Al-Qur’an yang menjelaskan sikap kaum muslimin pada saat itu. Allah Swt berfirman,
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِۗ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ ۗ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَكُفْرٌۢ بِهٖ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاِخْرَاجُ اَهْلِهٖ مِنْهُ اَكْبَرُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ اَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّٰى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ اِنِ اسْتَطَاعُوْا ۗ وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 217)
Menurut Muhammad Iqbal, Ayat diatas membandingkan dua perkara antara pembunuhan orang-orang muslim terhadap beberapa orang kaum musyrikin pada bulan haram, dengan orang-orang Quraisy yang sengaja menghalang-halangi jalan Allah. (Baca juga: Inilah Tiga Amalan Utama dalam Menyambut Tahun Baru Islam)
Bahkan mereka memerangi dakwah Rasulullah, mengingkari Allah dan kesucian Masjidil Haram, mengusir kaum muslimin dari rumah-rumah mereka, lalu merampas harta mereka, hingga menyiksa kehidupan mereka. Manakah yang lebih besar dosanya?
Syaikh Muhammad bin Shalil asy-Syawi dalam kitab An-Nafahat al-Makkiyyah menjelaskan, ayat ini memberi batasan keumuman ayat-ayat tentang perintah berperang secara umum, karena diantara keistimewaan bulan-bulan haram adalah diharamkannya berperang. Di sini perang diharamkan jika dalam konteks memulai perang (ofensif), sedangkan dalam konteks membela diri (defensif), maka perang boleh dilakukan pada bulan-bulan tersebut, sekalipun berada ditanah haram. (Baca juga: Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui)
Singkat cerita, umat muslim dilarang untuk berperang pada bulan haram. Akan tetapi kemudian hukumnya akan berubah menjadi di izinkan untuk berperang, namun dengan syarat “jika diserang oleh musuh”. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa hakikat perang adalah untuk mempertahankan diri dari serangan musuh demi membela kebenaran, bukan untuk menumpahkan darah kebencian. Wallahu A’lam.