Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 215-218

tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Ayat 215

Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa Amir bin al-Jamuh al-Ansari, orang yang telah lanjut usia dan mempunyai banyak harta, bertanya kepada Rasulullah saw,  Harta apakah yang sebaiknya saya nafkahkan dan kepada siapa nafkah itu saya berikan?  Sebagai jawaban, turunlah ayat ini. Nafkah yang dimaksud dalam ayat ini, ialah nafkah sunah, yaitu sedekah, bukan nafkah wajib seperti zakat dan lain-lain.

Ayat ini mengajarkan bahwa apa saja yang dinafkahkan, banyak ataupun sedikit pahalanya adalah untuk orang yang menafkahkan itu dan tercatat di sisi Allah swt sebagai amal saleh sebagaimana dijelaskan dalam satu hadis yang berbunyi:

إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهاَ لَكُمْ

(رواه مسلم عن أبي ذر الغفاري)

 Bahwasannya pahala perbuatanmu adalah kepunyaanmu. Akulah yang mencatatnya untukmu.  (Riwayat Muslim dari Ab Zarr al-Giffari)

Sesuatu yang dinafkahkan hendaklah diberikan lebih dahulu kepada orang tua yaitu ibu-bapak, karena keduanya adalah orang yang paling berjasa kepada anaknya. Merekalah yang mendidiknya sejak dalam kandungan, dan pada waktu kecil bersusah payah dalam menjaga pertumbuhannya. Sesudah itu barulah nafkah diberikan kepada kaum kerabat, seperti anak-anak, saudara-saudara yang memerlukan bantuan.

Mereka itu adalah orang-orang yang semestinya dibantu, karena kalau dibiarkan saja, akhirnya mereka akan meminta kepada orang lain, akibatnya akan memalukan keluarga, lalu kepada anak-anak yatim yang belum bisa berusaha untuk memenuhi keperluannya. Akhirnya kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan untuk menutupi keperluannya, meringankan beban karena sekalipun mereka tidak ada hubungan famili, tetapi mereka adalah anggota keluarga besar kaum Muslimin, yang sewajarnya dibantu ketika mereka dalam kesusahan.

Apa saja yang dinafkahkan oleh manusia, Allah mengetahuinya. Oleh karena itu, tidak boleh digembar-gemborkan, karena Allah-lah yang akan membalasnya dan memberikan pahala berlipat ganda menurut keikhlasan seseorang.

Ayat 216

Dengan turunnya ayat ini hukum perang itu menjadi wajib kifayah dalam rangka membela diri dan membebaskan penindasan. Bila musuh telah masuk ke dalam negeri orang-orang Islam, hukumnya menjadi wajib ‘ain. Hukum wajib perang ini turun pada tahun kedua Hijri. Ketika masih di Mekah (sebelum Hijrah) Nabi Muhammad saw dilarang berperang, baru pada permulaan tahun Hijrah, Nabi diizinkan perang bilamana perlu.

Berperang dirasakan sebagai suatu perintah yang berat bagi orang-orang Islam sebab akan menghabiskan harta dan jiwa. Lebih-lebih pada permulaan Hijrah ke Medinah. Kaum Muslimin masih sedikit, sedang kaum musyrikin mempunyai jumlah yang besar. Berperang ketika itu dirasakan sangat berat, tetapi karena perintah berperang sudah datang untuk membela kesucian agama Islam dan meninggikan kalimatullah, maka Allah menjelaskan bahwa tidak selamanya segala yang dirasakan berat dan sulit itu membawa penderitaan, tetapi mudah-mudahan justru membawa kebaikan. Betapa khawatirnya seorang pasien yang pengobatannya harus dengan mengalami operasi, sedang operasi itu paling dibenci dan ditakuti, tetapi demi untuk kesehatannya dia harus mematuhi nasehat dokter, barulah penyakit hilang dan badan menjadi sehat setelah dioperasi.

Allah memerintahkan sesuatu bukan untuk menyusahkan manusia, sebab di balik perintah itu akan banyak ditemui rahasia-rahasia yang membahagiakan manusia. Masalah rahasia itu Allah-lah yang lebih tahu, sedang manusia tidak mengetahuinya.

Ayat 217

Berperang pada bulan-bulan suci memang tidak boleh, haram hukumnya, kecuali kalau musuh menyerang. Ketika orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw, bagaimana hukumnya berperang di bulan-bulan Haram, seperti yang telah dilakukan oleh Abdullah bin Jahsy terhadap rombongan pedagang Quraisy, maka turunlah wahyu yang menyatakan haram hukumnya berperang di bulan itu dan besar dosanya. Tetapi menghalangi manusia dari jalan Allah, adalah perbuatan kafir kepada Allah.

Sedangkan menghalangi kaum Muslimin memasuki Masjidilharam, mengusir orang-orang Islam dari Mekah, lebih besar lagi dosanya di sisi Allah. Semua itu adalah fitnah yang lebih besar bahayanya dari pembunuhan di bulan Haram.

Fitnah dalam ayat ini mencakup semua pelanggaran yang berat seperti hal-hal tersebut di atas dan menganiaya serta menyiksa orang-orang Islam. Perbuatan seperti itu lebih besar dosanya daripada berperang. Seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy terhadap Ammar bin Yasir, Bilal, Habbab bin Arat dan lain-lain. Ammar bin Yasir disiksa dengan besi panas yang dilekatkan ke tubuhnya, agar ia keluar dari agama Islam.

Namun ia tetap dalam Islam. Bukan ia saja yang disiksa, juga bapaknya, ibunya dan saudaranya. Bilal disiksa pula oleh majikannya, Umayyah bin Khalaf. Bilal tidak boleh makan dan minum siang malam dengan tangan dan kaki terikat, dilemparkan ke tengah-tengah padang pasir yang panas terik, di atas punggungnya diletakkan sebuah batu besar, kemudian Umayyah menyiksanya sambil mengatakan,  Azab ini akan terus kau derita sampai engkau mati, bila engkau tidak mau keluar dari Islam dan kembali menyembah tuhan  Lata dan Uzza . Tetapi Bilal lebih memilih menderita azab dan siksaan daripada ingkar kepada Allah dan Muhammad. Banyak pengikut-pengikut Nabi Muhammad saw yang sama nasibnya dengan Ammar bin Yasir dan Bilal itu.

Cara yang kejam itu akan terus dilancarkan oleh orang-orang kafir terhadap kaum Muslimin pada segala masa dan tempat, dimana saja mereka mempunyai kesempatan, sehingga orang-orang Islam menjadi murtad dari agamanya. Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang-orang murtad itu kalau mereka mati dalam keadaan murtad semua amalnya akan dihapus dan mereka akan kekal dalam neraka.

Ayat 218

Ayat ini menerangkan balasan bagi orang-orang yang kuat imannya menghadapi segala cobaan dan ujian. Begitu juga balasan bagi orang-orang yang hijrah meninggalkan negerinya yang dirasakan tidak aman, ke negeri yang aman untuk menegakkan agama Allah, seperti hijrahnya Nabi Muhammad saw bersama pengikut-pengikutnya dari Mekah ke Medinah, dan balasan bagi orang-orang yang berjihad fisabilillah, baik dengan hartanya maupun dengan jiwanya.

Mereka itu semuanya mengharapkan rahmat Allah dan ampunan-Nya, dan sudah sepantasnya memperoleh kemenangan dan kebahagiaan sebagai balasan atas perjuangan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(Tafsir Kemenag)