Istighfar Seperti Apa yang Dimaksud Dalam Dua Ayat Ini? Tafsir Surat An-Nisa Ayat 110 dan 64

istighfar
istighfar

Istighfar dalam Alquran disampaikan dengan bentuk beragam. Kata yang sudah meng-Indonesia ini dimuat dalam Alquran terkadang dengan bentuk perintah (fiil amar), ada pula dalam bentuk kata kerja biasa (Fiil madhi dan mudhori’), juga ada beberapa yang berbentuk masdar. Meskipun demikian, beberapa model penyebutan istighfar tersebut seringnya bermakna dan bertujuan sama, yaitu memerintah untuk beristighfar, sebagaimana yang terdapat dalam dua ayat surat An-Nisa’, ayat 64 dan 110 berikut ini. Bagaimana istighfar pada ayat tersebut dipahami oleh beberapa mufasir, istighfar seperti apa yang dimaksud dalam dua ayat ini? 

Imam al-Qurthubi dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an mengutip riwayat dari Sufyan dari Abi Ishaq dari al-Aswad dan Alqamah, keduanya menyatakan bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata, “Barangsiapa membaca dua ayat dari surat an-Nisa’ ini kemudian beristighfar maka diampunilah ia.”  

(وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءاً أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُوراً رَحِيماً)

 (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جاؤُكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحِيماً)

Yang pertama adalah ayat 110 dan yang kedua adalah ayat 64 dari surat an-Nisa. Mengenai ayat 110 ini Imam al-Qurthubi mengutip ad-Dhahhak yang menyebut bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Wahsyi, seorang yang sebelumnya kafir sekaligus pembunuh Hamzah ra. yang merupakan paman Nabi saw. Wahsyi mendatangi Rasulullah saw untuk menyampaikan penyesalannya dan menanyakan apakah masih ada kesempatan baginya untuk bertaubat. Kemudian turun ayat ini.

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Imam Al-Qurthubi pun menyebut pendapat bahwa maksud dari ayat ini adalah umum untuk segenap makhluk. Berbeda dengan al-Qurthubi, Imam at-Thabari tidak berfokus pada asbab an-nuzul ayat melainkan lebih pada kaitan ayat 110 ini dengan ayat sebelumnya. Imam al-Thabari menyoroti perihal jenis dosa yang disebutkan dalam ayat ini.

Sebelumnya at-Thabari menyebut pendapat yang menyatakan bahwa dosa yang dimaksud adalah kaitannya dengan sifat khianat, ayat 107. Beliau juga menampilkan pendapat lain bahwa ayat ini kaitannya dengan dosa membela mereka yang khianat, ayat 109. Meski begitu Imam at-Thabari menyimpulkan bahwa yang betul adalah ayat ini berlaku universal untuk segala keburukan dan kezaliman meskipun turunnya berkaitan dengan dua ayat sebelumnya tersebut.

Kaitannya dengan istighfar seperti yang telah disebutkan oleh Ibn Mas’ud di atas, al-Qurthubi menambahkan bahwa yang dimaksud istighfar pada ayat ini adalah disertai dengan taubat di dalam hati. Menurut beliau istighfar secara lisan saja tidak cukup. Lain dengan al-Qurthubi, Imam ar-Razi berpendapat bahwa teks ayat ini tidak mencantumkan pengikat yang menjadi syarat istighfar. Oleh karenanya jika dipaksakan untuk mensyaratkan istighfar pada ayat ini dengan taubat serta meyakini bahwa tiada manfaat beristighfar jika maksiat tetap jalan, menurut Imam al-Razi, hal ini mendistorsi tujuan ayat ini untuk memotivasi kita dalam beristighfar itu sendiri.

Baca Juga: Hikmah Membaca Istigfar Menurut Imam al-Ghazaly

Sebenarnya pendapat dua mufasir di atas dapat disatukan jika dibaca dengan hati dan keyakinan. Kita bisa memaknai pernyataan Ibn Mas’ud di atas dengan penghayatan akan ayat Al-Qur’an. Bahwa istighfar yang diucapkan setelah membaca ayat ini adalah reflek dari hati, bukan hanya gimmick belaka. Penyesalan serta permohonan ampun yang tulus ketika mengucapkan istighfar, jika ia muncul dari hati maka itu adalah wujud dari ampunan serta rahmat Allah SWT.

Jangan sampai kekhawatiran mengulangi kesalahan yang sama menghalangi kita untuk beristighfar kepada Allah SWT. Justru hilangnya penyesalan dan kehendak untuk memohon ampunlah yang perlu kita khawatirkan, karena hal ini menurut Imam al-Ghazali adalah sebagian dari tanda hitam dan kerasnya hati.

Wallahu A’lam