BerandaTafsir TematikIsyarat Larangan Monopoli Ekonomi dalam Al-Quran

Isyarat Larangan Monopoli Ekonomi dalam Al-Quran

Dalam mewujudkan perekonomian yang sehat, Islam mengingatkan agar setiap individu tidak mengindahkan prinsip-prinsip fundamental mengenai kemaslahatan orang banyak, diantaranya adalah kehalalan dan tidak mengambil hak orang lain. Monopoli merupakan salah satu penghambat tumbuhnya masyarakat dengan sistem ekonomi yang stabil. Artikel ini akan mengulas secara singkat mengenai monopoli yang tersirat dalam QS. al-Ḥasyr [59]:7.

مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ

“Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”

Isyarat mengenai larangan monopoli pada ayat di atas terdapat pada kalimat “kay lâ yakûna dûlatan bayna al-agniyâ’i minkum”, yang artinya “(Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” Pernyataan penggalan ayat tersebut tidak terlepas dari konteks historis yang berlaku bagi masyarakat Jahiliah pada masa itu. Turunnya ayat ini menjadi pemutus mata rantai tradisi monopoli oleh ketua pasukan perang.

Baca Juga: Simbolisasi Kekayaan dalam Surah Alkahfi ayat 34

Disadur dari kitab Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr (jilid 28, hlm. 84-85), pada zaman itu harta hasil peperangan diklasifikasikan menjadi beberapa macam dengan masing-masing penamaan, yaitu Mirbâ’, Shafâyâ, Nasyîthah, dan Fudhûl. Mirbâ’ adalah seperempat harta rampasan yang mutlak menjadi milik ketua pasukan, sedangkan Shafâyâ adalah harta rampasan berharga yang bernilai tinggi, sehingga tidak untuk dibagi-bagi. Oleh karena itu, Shafâyâ secara mutlak juga dimonopoli oleh ketua pasukan perang. Dengan demikian, ketua pasukan perang pada masa Jahiliah setidaknya mendapatkan secara mutlak dua bagian dari harta rampasan perang.

Adapun Nasyîthah adalah harta musuh yang didapatkan selama perjalanan menuju tempat peperangan. Berbeda dengan jenis lainnya, harta ini didapatkan sebelum peperangan. Yang terakhir adalah Fudhûl, yaitu harta yang tersisa setelah pembagian harta rampasan sebelumnya. Menurut M. Quraish Shihab, dominasi kepala pasukan pada saat itu sangatlah kuat. Selain mendapatkan pembagian harta secara khusus, mereka juga berkuasa membagi sisa perolehan harta tersebut sesuka hati (Tafsir al-Mishbah, jilid 14, hlm. 113).

Melalui ayat ini, Islam menghapus semua ketentuan tradisisi tersebut. Harta hasil peperangan (ghanîmah) itu kemudian dialokasikan di enam tempat. Tujuannya adalah agar harta tersebut bermanfaat bagi umat Islam untuk memenuhi kebutuhan mereka, baik secara umum maupun khusus. (Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr, jilid 28, hlm. 85) Salah satunya adalah agar hak orang miskin dalam harta tersebut diberikan dan tidak tertahan pada para pemimpin dan pemuka kaum saja (Tafsîr al-Kasysyâf, hlm. 1094)

Berdasarkan historisitas ayat tersebut, M. Quraish Shihab menerangkan bahwa penggalan ayat tersebut menyiratkan harta memiliki fungsi sosial bagi masyarakat. Peredarannya di masyarakat luas diperlukan agar harta tersebut dapat dinikmati oleh semua orang dan demi tercapainya keseimbangan ekonomi. Harta yang hanya dimiliki dan disimpan begitu saja oleh sekelompok manusia akan menimbulkan kepincangan ekonomi. Meskipun demikian, bukan berarti ayat ini menghapuskan kepemilikan pribadi, Islam tetap mengakui dan menghargai kepemilikan pribadi (Tafsir al-Mishbah, jilid 14, hlm. 113).

Uraian penafsiran di atas adalah contoh dari monopoli yang merugikan. Dalam beberapa kasus, ada keadaan yang mengharuskan adanya monopoli agar kekuatan harta yang dimiliki individu/kelompok tidak disalahgunakan. Pemahaman tersebut berangkat dari sabda Rasulullah saw. Sebagai berikut:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

“Orang-orang Islam itu bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal yaitu rumput, air, api.” (HR. Abu Dawud no. 3477)

Baca Juga: Ayat Pertama Tentang Idah dan Konteks Awal Turunnya

Ketiga aset pada hadis tersebut merupakan simbol kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itu sektor-sektor ekonomi seperti air (PAM), listrik (PLN), telekomunikasi, kekayaan alam seperti minyak bumi, gas dan barang tambang lainnya harus dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat dan tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya, karena itu merupakan tindakan monopoli (Eka Junila Saragih, “Konsep Monopoli dalam Tinjauan Bisnis Islam”, dalam jurnal Al-Maslahah, Vol. 13, No. 2, 2017, hal. 272-273).

Demikianlah uraian singkat tentang monopoli dan isyarat Al-Qur’an mengenai hal tersebut. Pada dasarnya, Islam melarang persaingan yang tidak sehat dan menutup semua jalan yang mengarah ke arahnya. Monopoli, jika ia membawa keburukan dan kemudaratan bagi banyak orang, maka jelas dilarang. Sebaliknya, selama keberadaannya membawa manfaat, maka monopoli dibolehkan, bahkan dalam beberapa keadaan, menjadi sebuah keharusan. Wallâhu A’lam.

Rijal Ali
Rijal Ali
Mahasiswa UIN Antasari, minat kajian Isu-isu keislaman kontemporer,
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

kaidah Asbabunnuzul

Telusur Kaidah Asbabunnuzul dalam Kitab-Kitab ‘Ulūm al-Qur’ān

0
Dalam ilmu Alquran, di bagian kaidah Asbabunnuzul terdapat suatu kaidah yang lebih khusus lagi, yaitu al-‘Ibrah bi ‘umūm al-lafdz dan al-‘Ibrah bi khuṣūṣ al-sabab. Mulanya...