Manusia diciptakan oleh Allah swt dengan berbagai latar belakang yang mengitarinya, baik itu dari ras, suku, bahasa, budaya, jenis kelamin hingga perbedaan warna kulit. Semua itu adalah anugerah yang bersifat kodrati, artinya ini merupakan takdir yang telah dibuat oleh Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, larangan rasisme harus ada dan wajib diaktualisasikan.
Perbedaan antara satu manusia dengan manusia lainnya baik pada aspek bahasa, budaya, hingga perbedaan warna kulit merupakan rahmat Allah bagi kemanusiaan dan bentuk fitrah manusia. Karenanya, berbagai tindakan rasis adalah suatu sikap yang tidak sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Dalam konteks sosial, larangan rasisme harus digalakkan demi keharmonisan dan kerukunan masyarakat.
Dalam sejarah Islam, tindakan rasis rupanya sudah eksis sejak masa kenabian bahkan jauh sebelumnya. Tindakan rasis telah mengakar dalam budaya masyarakat Arab terutama terhadap perbedaan warna kulit. Mereka yang memiliki warna kulit hitam biasanya diasosiasikan dengan budak atau kaum rendahan yang berasal dari rakyat jelata. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya larangan rasisme dan diskriminasi.
Ketika Islam datang, berbagai bentuk diskriminasi di masyarakat Arab termasuk tindakan rasis mulai dibongkar. Langkah awal yang dilakukan nabi Muhammad saw untuk melenyapkan diskriminasi dan tindakan rasis adalah dengan mengangkat tokoh-tokoh kalangan lemah sebagai orang kepercayaannya. Misalnya, beliau mengangkat Bilal bin Rabah, seorang mantan budak berkulit hitam dari Habasyah (sekarang Ethiopia) sebagai muazin resmi.
Tafsir Surat Ar-Rum [30] Ayat 22: Isyarat Larangan Rasisme
Salah satu ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan larangan rasisme adalah surat ar-Rum [30] ayat 22 yang berbunyi:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ ٢٢
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 22).
Menurut Quraish Shihab surat ar-Rum [30] ayat 22 merupakan kelanjutan kelompok ayat sebelumnya yang berbicara mengenai bukti keesaan dan kekuasaan Allah swt di muka bumi. Bukti-bukti adalah tanda yang telah Dia berikan bagi manusia untuk diresapi dan diresepsi (tadabbur). Melalui penghayatan tersebut, manusia akan mampu meyakini lebih dalam tentang keesaan dan kekuatan Allah.
Ayat di atas seakan-akan berkata, “Dan juga di antara tanda-tanda kekuasaan dan keesaan-Nya adalah penciptaan langkit yang bertingkat-tingkat, dan bumi dengan sistem yang serasi dan rapi. Serta kamu juga dapat mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah melalui pengamatan terhadap perbedaan bahasamu dan warna kulitmu, padahal kamu semua berasal dari sumber yang sama. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Sekelumit dari tanda-tanda kekuasaan Allah dan keesaan-Nya dapat diketahui dengan mengamati langit dan bumi atau alam raya ini. Perhatikanlah keadaannya, amatilah peredaran benda-benda langit. Sekian banyak benda langit yang beredar di angkasa raya, namun tidak terjadi kekacauan dan ketidakteraturan. Belum lagi tanda-tanda kekuasaan dan kebesarannya jika kita mengetahui betapa luas alam raya ciptaan-Nya.
Di bumi pun – tempat manusia tinggal – terdapat sekian banyak tanda-tanda kekuasaan Allah. Pada surat ar-Rum [30] ayat 22 yang disinggung adalah tanda-tanda yang terdapat dalam diri manusia sekaligus yang berkaitan dengan peredaran matahari dan bumi. Allah swt menyebutkan perbedaan lidah dan warna kulit sebagai bagian dari tanda-tanda keesaan dan kekuasaan-Nya setara dengan pergantian siang dan malam.
Kata alsinatikum adalah jamak dari kata lisan yang berarti lidah. Kata ini sering digunakan dalam arti bahasa atau suara. Karena lidah merupakan salah satu alat pembantu manusia dalam berbicara maupun mengeluarkan suara. Dalam penelitian terbaru, lidah setiap orang unik begitu pula dengan suaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki suara sepenuhnya sama dengan orang lain. Hal ini persis seperti sidik jari. Tidak ada dua orang yang sama sidik jarinya.
Surat ar-Rum [30] ayat 22 ditutup dengan kata li al-‘alamin atau bagi orang yang alim yakni memiliki pengetahuan. Ini mengisyaratkan bahwa perbedaan warna kulit dan bahasa menyimpan banyak rahasia dan misteri yang hanya dapat diketahui oleh orang yang men-tadabburi-nya. Banyak rahasia yang belum terungkap. Banyak juga masalah baik menyangkut perbedaan warna kulit maupun bahasa dan suara yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa surat ar-Rum [30] ayat 22 mengisyaratkan larangan rasisme dan diskriminasi terhadap perbedaan warna kulit dan bahasa. Sebab keduanya merupakan salah satu dari sekian banyak tanda keesaan dan kekuasaan Allah swt. Siapa yang melakukan tindakan rasis dan diskriminasi, dalam konteks ini sama saja dengan tidak mengakui keesaan dan kekuasaan Allah swt. Wallahu a’lam.