BerandaTafsir TematikIsyarat Tanggung Jawab Sosial dalam Alquran (1): Makna Al-‘Alaq

Isyarat Tanggung Jawab Sosial dalam Alquran (1): Makna Al-‘Alaq

Selama ini kata al-‘alaq pada umumnya dimaknai dengan segumpal darah. Keumuman makna al-‘alaq ini tidak terlepas dari unsur kebahasaan yang melekat padanya. Akan tetapi, sesungguhnya kata al-‘alaq memiliki cakupan makna yang lebih luas dari sekadar hanya segumpal darah. Dikutip dari Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, kata al-‘alaq sesungguhnya tersirat akan tanggung jawab sosial. Perhatikan Q.S. Al-‘Alaq [96]: 2 berikut:

خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ

Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. (Q.S. al-‘Alaq [96]: 2)

Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut memiliki titik tekan pada proses kejadian penciptaan manusia. Alquran, lanjut Shihab, mengkalamkan kejadian manusia sangat komprehensif meliputi banyak aspek, baik vertikal maupun horizontal, ritual-sosial maupun muamalah. Bahkan, Alquran telah menuturkan sedemikian rupa potensi manusia yang luar biasa, semisal intelektual, kekuatan hati, kekuatan pikiran, sampai potensi jasadiyah manusia di antaranya sifat tergesa-gesa (Jawa: kesusu, grusa-grusu), tidak enakan (Jawa: sungkan, pekewuh), sifat lemah, merasa jumawa, dan sebagainya.

Baca juga: Empat Falsafah Pendidikan Islam dalam Q.S. Al’alaq: 1-5

Beberapa hal tersebut dapat mengantarkan seseorang untuk menangkap kesan bahwa ayat ke-2 dari surah Al-‘Alaq ini tidak hanya sekadar membincang terkait reproduksi dan awal mula kejadian manusia saja, melainkan juga berbicara terkait sifat bawaan manusia sebagai makhluk sosial. Pandangan tersebut didasarkan pada analisis kebahasaan terkait makna al-‘alaq. Kata tersebut menurut pakar kebahasaan tidak hanya bermakna tunggal, yakni segumpal darah, melainkan terdapat pemaknaan lainnya, di antaranya darah yang membeku; makhluk yang hitam seperti cacing yang terdapat dalam air; dan sesuatu yang bergantung atau berdempet.

Di lain itu, Allah menyandingkan kata al-insan sebelum kata al-‘alaq. Jika dirunut secara semantik, kata al-insan terambil dari kata uns, yaitu senang, jinak, dan harmonis; atau dari kata nisya yang berarti lupa. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata naus, yakni gerak atau dinamika. Makna-makna di atas, kata Shihab, setidaknaya memberikan gambaran umum (overview) tentang potensi atau sifat makhluk tersebut, yakni bahwa ia memiliki sifat lupa dan kemampuan bergerak yang melahirkan dinamika. Ia juga adalah makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonisme, dan kebahagiaan kepada pihak-pihak lain.

Baca juga: Kisah Khadijah dan Pembacaan Mubadalah Faqihuddin Abdul Kodir atas Q.S. Al-‘Alaq: 1-5

Manusia adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam Alquran melalui wahyu pertama. Bukan saja karena ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dan alam raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demi kepentingan manusia itu sendiri, tetapi juga karena kitab suci Alquran ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya. Salah satu cara yang ditempuh oleh Alquran untuk mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah adalah dengan memperkenalkan jati dirinya antara lain melalui uraian proses kejadiannya. Ayat kedua surah Iqra’ menguraikan secara sangat singkat hal tersebut.

Lebih jauh, bisa juga kata ‘alaq, menurut Shihab, dipahami sebagai berbicara tentang sifat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung kepada selainnya. Hal ini serupa dengan firman Allah “khuliqa al-insanu min ‘ajalyang artinya manusia diciptakan (bersifat tergesa-gesa) (Q.S. Al-Anbiya [21]: 37).

Baca juga: Mengenal Tiga Istilah Manusia dalam Alquran: Nas, Insan, dan Basyar

Dari analisis kebahasaan tersebut, menurut hemat Shihab, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah Swt. dengan memiliki sifat dependensial (ketergantungan) kepada pihak lain hingga akhir perjalanan hidupnya, bahkan melampaui hidupnya di dunia ini. Sebagai zoon politicon (makhluk sosial), mau tidak mau manusia berada dalam keadaan interdependensi. Artinya, manusia tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya secara mandiri tanpa bantuan pihak lain.

Kesan tersebut jelas tidak akan didapatkan apabila kata ‘alaq dipertukarkan dengan kata turab (tanah), misalnya, atau yang lainnya. Kata ‘alaq juga dimaknai sebagai salah satu periode kejadian manusia yang mengantarkan manusia kepada asal mula kejadiannya yang pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya bukanlah satu-satunya makhluk tunggal yang ada di dunia ini. Implikasinya, ia menyadari bahwa ia hidup di tengah lingkungan sosial yang saling membutuhkan. Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU