Pulau Dewata merupakan refrensi toleransi yang patut dikagumi. Dalam beberapa reportase, penduduk Bali yang mayoritas beragama Hindu berhasil menghadirkan potret keeberagamaan yang menyejukkan. Maret lalu, kompas.com menulis tentang Pondok Pesantren Bina Insani yang 50 persen gurunya justru umat Hindu, berikut berita selengkapnya, klik di sini. Ini bukti toleransi yang luar biasa. Dalam sejarahnya, umat Muslim masuk ke Bali dan menetap untuk kali pertama pada abad ke-14. Islam pun berkembang dan salah satu jejaknya, muslim Malaysia mewariskan manuskrip Al-Quran Malaysia di Pulau Dewata.
Warisan manuskrip Al-Quran Malaysia ini ditemukan di Loloan Timur, Jembrana Bali. Jembrana mulai didatangi umat muslim pada tahun 1670, para pendatang itu merupakan orang-orang Bugis-Makassar atas izin penguasa Jembrana I Gusti Ngurah Pancoran. Seiring berjalannya waktu, wilayah Loloan Timur pun didatangi dan kini 96% penduduknya adalah umat muslim. Dari catatan ini, Loloan Timur menjadi wilayah dengan penanut Islam terbanyak di Bali dan dikenal juga sebagai kampung muslim kuno.
Al-Qur’an kuno ini ditulis oleh Encik Ya’kub, seorang pendakwah yang lahir di Thailand, besar di Trengganu Malaysia dan wafat di Bali. Ia memiliki nama asli Muhammad Ya’kub bin Syekh Faqih Ali al-Malibari. Dilihat dari nama aslinya, mungkin saja ia juga seorang keturunan dari daerah Malabar, India Selatan. Namun sayangnya tokoh ini minim informasi dan tarikh kehadirannya di Pulau Dewata pun masih diperdebatkan. Keterangan ini Mengutip penelitian Iqbal Hafidz dalam “Penggunaan Rasm dalam Mushaf Loloan Timur, Bali”. Meski demikian, terdapat kesepakatan bahwa Encik Ya’kub adalah orang yang berpengaruh baik di Malaysia maupun di Bali.
Baca juga: Manuskrip Mushaf Al-Quran dari Daun Lontar: Koleksi Kiai Abdurrachim asal Grobogan, Jawa Tengah
Pengaruh Encik Ya’kub di Malaysia dibuktikan dengan catatan Arifin Brandan “Loloan: Sejumlah Potret Umat Islam di Bali” yang menyebut bahwa pada tahun 1980-an peneliti Malaysia datang ke Loloan. Peneliti itu memastikan makam tokoh Trengganu yang ada di sana. Dalam hal ini, makam dan Al-Qur’an peninggalan Encik Ya’kub pun dikonfirmasi kebenarannya. Manuskrip Al-Qur’an itu telah disesuaikan dengan melihat karakter huruf dan komposisi penulisan karya-karyanya yang lain.
Encik Ya’kub dikabarkan memasuki Loloan pada tahun 1799 M. Ada yang menyebut bahwa kedatangannya merupakan undangan dari Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry. Nama yang disebutkan terakhir ini dikenal dengan panggilan Syarif Tua, tokoh dari Yaman yang memiliki hubungan kekerabatan Sultan Pontianak dan terlebih dahulu datang di Loloan. Syarif Tua juga menjadi saksi atas perwakafan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Encik Ya’kub. Hal ini merujuk pada prasasti kayu yang disimpan di Masjid Agung Baitul Qadim.
Prasasti itu tertulis pada tahun 1268 H (1853 M) bertepatan dengan hari Senin bulan Dzulqa’dah Encik Ya’kub mewakafkan sebidang tanah sawah dan sebuah Mushaf Al-Qur’an. Prosesi perwakafan ini pun dihadiri oleh Mustika sebagai perbekel (pimpinan masyarakat Muslim), Mahbubah selaku penghulu serta Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry dan Aba Abdullah Hama selaku saksinya. Dari perannya ini, Encik Ya’kub pun dikenal sebagai tokoh penting dan makamnya termasuk keramat.
Baca juga: Utsman Thaha: Penulis Mushaf Al-Qur’an yang Karyanya Dibaca Muslim Seantero Dunia
Karakteristik Manuskrip Al-Qur’an Loloan Timur
Manuskrip ini memiliki ukuran 30 x 20 x 6 cm dengan bidang tulisan 20 x 12,5 cm. Konidisi fisik mushaf ini sebagian rusak dan robek, namun terdapat sampul hijau untuk menjaganya. Lima juz awal dari mushaf ini sudah hilang dan bagian akhir tidak sampai pada kolofon. Setiap halaman terdiri dari 15 baris dan menggunakan tinta hitam. Khat yang digunakan merupakan naskhi, jenis khat yang familiar dalam mushaf Al-Qur’an.
Mushaf ini ditulis dengan qiraat Hafs ‘an Ashim. Sementara rasm yang digunakan cenderung rasm imla’i. Pendapat ini merupakan hasil penelitian Iqbal Hafiz yang dilakukan secara mendalam khususnya 5 juz terakhir. Hasil ini juga merevisi penelitian pertama yang dilakukan oleh Anton Zaelani dan Enang Sudrajat, yang menyebut rasm Utsmani dalam Mushaf Al-Qur’an Kuno di Bali: Jejak Peninggalan Suku Bugis dan Makassar.
Mushaf ini beriluminasi dengan warna kuning keemasan yang menunjukkan tradisi khas Trengganu. Sayangnya, iluminasi hanya dapat dilihat di surat Al-Kahfi dan Juz ‘Amma karena bagian yang lain sudah hilang. Dalam hal tanda baca, mushaf ini memiliki tanda baca yang lengkap dan terkadang sudah tak digunakan lagi dewasa ini. Selain itu, terdapat keunikan lagi karena menampilkan kata peralihan (catch word) di lembaran kanan, bukan di lembaran kiri.
Baca juga: Empat Mushaf Kuno Koleksi Museum Ronggowarsito, Bagamaina Bentuknya?
Dari berbagai ulasan ringkas tadi, Pulau Dewata dalam sejarah hingga kini telah menunjukkan peradaban yang harmoni. Jejak-jejak muslim di sana bersanding dengan kehidupan masyarakat Hindu. Di Loloan Timur seperti yang telah dibahas bahkan menggambarkan persebaran muslim dari berbagai daerah., baik dari Bugis-Makassar, Malaysia hingga Yaman.