Sebagai bagian dari wilayah Nusantara sejarah kajian Al-Quran di Kalimantan Selatan tentu memiliki kesamaan dan perbedaan serta sekaligus memiliki hubungan yang erat dengan sejarah kajian Al-Quran di Nusantara. Sayangnya kajian Al-Quran di Kalimantan Selatan minim dikaji oleh para peneliti bahkan lebih kabur dibanding sejarah Islam Nusantara.
Salah satu ulama yang berkontribusi dalam kajian manuskrip Al-Quran di Nusantara terutama wilayah Kalimantan Selatan adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau menulis satu naskah mushaf Al-Quran pada abad ke-18 atau satu lebih awal dari hasil penelitian Wawan Djunaedi dalam Sejarah Qiraat Al-Quran di Nusantara. Artikel ini berfokus pada kajian manuskrip Al-Quran karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Berikut penjelasannya.
Manuskrip Al-Quran di Kalimantan Selatan
Manuskrip Al-Quran Syekh Muhammad Arysad al-Banjari yang dimaksud dalam artikel ini ialah mushaf Al-Quran yang ditulis tangan langsung oleh Syekh Arsyad al-Banjari (handschriften). Mengutip Fathullah Munadi dalam Mushaf Qiraat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Sejarah Qiraat Nusantara menjelaskan bahwa hal ini seperti dituturkan oleh Abu Daudi bahwa mushaf karya Syekh Arsyad ini merupakan salah satu otografi Syekh Arsyad selain karya Fatawa Sulaiman Kurdi dari beberapa naskah salinan yang masih ada pada beliau.
Menurut Abu Daudi (KH. Irsyad Zein) pada 20 Maret 2009 di Dalam Pagar, Martapura bahwa Syekh Arsyad mulai menulis mushaf ini pada tahun 1193 H/ 1779 M dan tidak diketahui kapan selesainya. Melalui mushaf ini juga Syekh Arsyad mengaktualisasikan rasa estetisnya dalam membuat lukisan atau ornamen. Dan pada bagian awal setiap pembuka surat dituliskann kaligrafi dan beberapa hiasan dengan menggunakan motif bunga.
Kaligrafi yang terukir pada awal surat tersebut menerangkan nama surat, jumlah ayat dan klasifikasi Makki atau Madani. Mushaf ini ditulis dengan khat Naskhi dan sesuai dengan kaidah rasm Utsmani serta berlandaskan qiraat riwayat Hafs (w. 180 H) dari Imam ‘Ashim (w. 127 H), serta dilengkapi catatan qiraat lain ditepinya. Pengukiran kaligrafi tersebut menunjukkan penguasaan Syekh Muhammad Arsyad terhadap ‘ulum Al-Quran terutama bidang ilmu qiraat.
Baca juga: Ahli Qiraat dan Lukis: Sisi Lain Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Manuskrip Al-Quran Peninggalannya
Mushaf ini terbagi dalam 3 jilid yang masing-masing terdiri dari 10 juz. Mushaf ini per halaman berukuran cukup besar yaitu 57 cmn untuk lebarnya, dan panjang 63 cm. Jilid pertama mushaf ini dikelola dalam koleksi Museum Daerah Kalimantan Selatan di Banjarbaru. Sedangkan jilid kedua dan ketiga disimpan oleh Abu Daudi atau KH. Irsyad Zein, salah seorang dzurriat Syekh Arsyad di Dalam Pagar, Martapura.
Analisis Qiraat Al-Quran dalam Manuskrip Syekh Arsyad
Sebagai analisis qiraat Al-Quran dalam manuskrip Syekh Arsyad, penulis mengambil beberapa contoh, di antaranya.
Pertama, Surat Al-An’am ayat 105-114. Surat ini terletak di jilid pertama. Dalam surat dan ayat tersebut Syekh Arsyad memberikan keterangan yang merupakan pilihan qiraat. Kata-kaat tersebut ditulis miring membentuk sudut 45 derajat, tersusun secara vertikal dari atas ke bawah, di antara kata itu ialah (دارست), kemudian di bawahnya secara berurutan إليهم وصلا، نبيئ إليهم، وهو .
Al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil menjelaskan bahwa kata darasta merupakan bacaan pada Imam Abu ‘Amr (w. 154 H) dan Imam Ibn Katsir (w. 120 H). Sedangkan kata ilaihimu adalah bacaan Imam Abu ‘Amr, dan ilaihum adalah bacaan pada Imam Hamzah (w. 156 H), Ali, Imam Khalaf (w. 229 H), Imam Ya’qub (w. 205 H) sebagaimana yang disampaikan Jamaluddin dalam Mushaf al-Sahabah fi al-Qiraat al-‘Asyr minn Thariq al-Syathibiyah wa al-Durrah.
Adapun kata nabi’un merupakan salah satu bacaan bagi kata nabiyyun dalam riwayat Imam Nafi’ (w. 169 H). Dan wahwa sebagai bacaan dari bagi kata wahuwa dari Imam al-Kisa’i (w. 189 H) dalam riwayat al-Duri (w. 246 H) dan Abu Harits al-Laisi (w. 240 H), juga merupakan riwayat Qalun (w. 220 H) dari Imam Nafi’, serta dari Imam Abu ‘Amr dalam qiraat al-Duri dan al-Susi (w. 261 H).
Dari kasus ini saja, terlihat tidak hanya dominasi qiraat Imam ‘Ashim saja, melainkan Syekh Muhammad Arsyad telah memaparkan riwayat lima imam qiraat mutawatir lainnya yaitu Imam Nafi’ (w. 169 H), Imam Ibnu Katsir (w. 120 H), Imam Abu ‘Amr (w. 154 H), Imam Hamzah (w. 156 H) dan Imam Ali al-Kisa’i (w. 189 H) dan disertai dua riwayat Imam qiraat masyhur, yaitu Khalaf dan Imam Ya’qub.
Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Quran Malaysia di Pulau Dewata
Sehingga dalam hal ini penulis kurang sependapat dengan yang menyatakan bahwa mushaf Syekh Muhammad Arsyad hanya berisi qiraat Ibn Katsir dan riwayat Warasy (w. 197 H) sebab ternyata ditemukan beberapa ragam pendapat qiraat dari lima imam, tentunya akan lebih banyak lagi jika diamati dan diteliti pada keseluruhan mushaf.
Oeh karenanya, apabila dikomparasikan dengan beberapa mushaf qiraat lain, maka penyajian Syekh Muhammad Arsyad dapat dianggap lebih simpel dan bahkan pada beberapa halaman tertentu Syekh Arsyad tidak menampilkan keseluruhan qiraat. Pendek kata, qiraat yang disajikan Syekh Arsyad terkadang juga terlihat pada simbol atau formulasi tertentu yang di mana tanpa disertai penjelasan yang detail dan bahkan cukup banyak juga dijumpai qiraat yang ditampilkann tanpa disertai rumusan.
Ketidaklengakapan qiraat yang dipaparkan oleh Syekh Arsyad menunjukkan bahwa sebenarnya Syekh Arsyad membatasi penggunaan qiraat melalui para imam dan perawi tertentu saja atau mungkin Syekh Arysad menyajikan qiraatnya secara sporadis sehingga ia dapat menggunakan seluruh qiraat. Mengarifi hal ini maka kiranya perlu melakukan kajian lebih mendalam terkait hal ini.
Terlepas dari semua itu, karya mushaf qiraat Syekh Arsyad ini menjadi bukti baru dan sumbangsih yang berarti bagi perkembangan qiraat di Nusantara yang di mana mendudukkan beliau sebagai pionir bidang qiraat di Kalimantan Selatan, bahkan di Nusantara. Wallahu A’lam.