BerandaKhazanah Al-QuranAhli Qiraat dan Lukis: Sisi Lain Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Manuskrip...

Ahli Qiraat dan Lukis: Sisi Lain Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Manuskrip Al-Quran Peninggalannya

Nama Syekh Muhammad Arsyad Al-banjari tentu tidak asing lagi bagi Muslim Nusantara. Tercatat sebagai ulama yang berpengaruh dari Banjarmasin, Syekh Arsyad Al-banjari telah melahirkan banyak karya. Salah satu kitab karangannya yang fenomenal adalah Sabilul Muhtadin fi Tafaqquh bi Amrid-Din. Kitab ini menjadi salah satu referensi fiqih di pondok pesantren Melayu yang mencakup Indonesia, Malaysia, hingga Thailand. Selain itu, Syekh Arsyad Al-Banjari juga mewariskan manuskrip Al-Quran yang menawan.

Kitab Sabilul Muhtadin selain banyak digunakan di pesantren Melayu, ternyata juga disimpan di perpustakaan Mekkah, Turki, Beirut, hingga King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia. Persebaran kitab Syekh Arsyad hingga berbagai negara menunjukkan bahwa ia adalah ulama kaliber dunia. Di balik nama besar Syekh Arsyad Al-Banjari, manuskrip Al-Qur’an yang diyakini goresannya juga menunjukkan informasi yang menarik perhatian. Sebagaimana judul artikel ini, nampaknya Syekh Arsyad adalah sosok yang piawai melukis dan ahli Qiraat.

Mushaf goresan ulama yang hidup pada tahun 1710 hingga tahun 1812 ini ditulis pada tahun 1193 H/1779 M. Secara ukuran, mansukrip Al-Qur’an ini berukuran 57 x 63 cm dan teksnya berukuran 29 x 48 cm. Dari ukurannya, nampaknya Syekh Arsyad membuat dengan serius karena termasuk mushaf yang besar dan berbahan kertas Eropa. Mushaf ini terdiri dari tiga jilid (setiap jilid 10 juz), namun disimpan di tempat yang berbeda. Jilid pertama disimpan di Museum Negeri Kepurbakalaan Banjarbaru dan dua jlid sisanya disimpan oleh keturunannya yang keenam, yakni H. Irsyad Zein (Abu Daudi) di Martapura.

Mushaf ini menurut Fathullah Munadi merupakan hasil ekspresi seni Syekh Arsyad Al-Banjari. Seperti yang diketahui, Syekh Arsyad merupakan putra dari seorang ahli ukir kayu yang ditugaskan khusus di istana. Ayahnya bernama Abdullah yang hidup di era Sultan Hamidullah atau Sultan Tahmidullah (1700-1734 M). Dari ayahnya ini, bakat seni juga mengalir di tubuh Syekh Arsyad. Suatu ketika saat ia masih berusia 7 tahun, Sultan Banjar pernah berkunjung ke kampung Lok Gabang dan terpukau melihat lukisan Syekh Arsyad.

Baca juga: Tiga Sarana Utama Untuk Mendapatkan Rahmat Allah SWT

Dilihat dari kisah itu, tak heran jika Syekh Arsyad pun membubuhi berbagai iluminasi dalam mushaf goresannya. Salah satu yang menarik adalah hiasan untuk awal surah. Di bagian ini ternyata macam-macam bentuknya. Ada yang berbentuk bunga di sisi kanan-kiri, kemudian ada gambar lukisan masjid, rumah yang berwarna kuning, merah dan hitam. Ada juga gambar gunung, hingga lampu lentera khas Banjar. Selain itu, ia juga menggoreskan kaligrafi untuk awal surah yang menjelaskan nama surah, jumlah ayat, dan klasifikasi makkiyah madaniyah.

Keterangan akan mushaf ini nampaknya memberikan insight unik terhadap pandangan kita akan sosok Syekh Arsyad yang dikenal sebagai ahli fiqh. Sebagai sosok yang juga mempelajari tasawuf, Syekh Arsyad bisa saja menjunjung tinggi seni lukis yang bernilai estetika dan keindahan.

Sebagaiman yang diketahui, selain berguru pada ulama fiqih seperti Syekh Athaillah bin Ahmad Al-Mishri, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, ia juga berguru pada ulama tasawuf yakni Syekh Muhammad Abdul Karim Samman Al-Qadiri al-Khalwati al-Madani.

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Quran Malaysia di Pulau Dewata

Aspek Bacaan dan Qiraat

Menurut Abdan Syukri dalam artikel “Mushaf Syekh Al-Banjariyang dihimpun buku “Mushaf-Mushaf Kuno di Indonesia”, mushaf ini ditulis dengan rasm imla’i. Namun pendapat ini berbeda dengan Fathullah Munadi dalam “Mushaf Qiraat Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam Sejarah Qiraat Nusantara” yang menyebut rasm Utsmani. Dua keterangan berbeda ini tentu perlu diteliti lebih lanjut seberapa konsisten penggunaan kaidah rasm-nya.

Untuk tanda baca, mushaf ini menunjukkan ciri khusus untuk bacaan tertentu, sayangnya penulisan seperti ini tidak konsisten. Misalnya dalam penulisan alif maqsurah mad tabi’i dan mad silah atau tanda tajwid lainnya. Terkadang dicantumkan, kadang juga tidak. Tentu aspek bacaan seperti ini acap kali ditemukan di mushaf-mushaf kuno lainnya.

Adapun dari segi qiraat, mushaf yang ditulis dengan dua tinta, yakni hitam dan merah ini menunjukkan informasi yang begitu kaya. Penulisan utama memang mengikuti qiraat Hafs dari Ashim, namun catatan di tepi menunjukkan opsi qiraat lainnya.

Baca juga: Tayyar Altikulac: Filolog Muslim Pengkaji Manuskrip Al-Qur’an Kuno

Dalam penelusuran Munadi, ia mengemukakan contoh penggunaan kata yang mewakili dari enam qiraat. Ragam bacaan itu dari Imam Nafi’, Imam Ibnu Katsir, Imam Abu ‘Amr, Imam Hamzah, Imam Al-Kisa’I, Imam Khalaf dan Imam Ya’qub. Dari hasil penelitian ini, Syekh Arsyad meskipun tidak dikenal sebagai seorang qari’ maupun muqri’, namun ia meninggalkan karya dengan keragaman qiraat.

Demikianlah keunikan mushaf Syekh Arsyad Al-Banjari yang justru menunjukkan sisi lain dari dirinya. Tokoh yang bersahabat dengan Syekh Daud Al-Fathani, Syekh Abdul Shomad Al-falimbani, Syekh Abdul Wahhab Al-Makassari, dan Syekh Abdul Rahman Al-Batawi ini ternyata adalah ulama yang multitalenta. Dikenal dengan karya fiqih yang luar biasa, namun juga meninggalkan jejak luar biasa di bidang lainnya.

Wallahu a’lam[]

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...