BerandaKhazanah Al-QuranJejak Qiraat Imam Nafi’ dalam Manuskrip Al-Quran Keraton Kacirebonan

Jejak Qiraat Imam Nafi’ dalam Manuskrip Al-Quran Keraton Kacirebonan

Jika membicarakan qiraat dalam mushaf Indonesia saat ini, tentu kita familiar dengan riwayat Hafs dari Ashim. Namun jauh sebelum beredarnya mushaf cetak, dahulu ada juga mushaf yang ditulis dengan qiraat lainnya. Misalnya adalah manuskrip Al-Quran Keraton Kacirebonan KCR 1. Dalam suatu penelitian, mushaf ini disebut mengikuti qiraat Imam Nafi’.

Di Cirebon memang terkenal sebagai lokasi yang bersejarah dan memiliki peradaban luhur. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena Cirebon pernah menjadi pusat keislaman dan memiliki berbagai peninggalan pusaka maupun pustaka. Dalam konteks pernaskahan, Cirebon memiliki corak naskah yang variatif. Variasi ini dapat ditemukan dalam berbagai naskah seperti mushaf, tauhid, tembang, serat, kitab tasawuf, fiqih, hingga obat-obatan.


Baca juga: Mengenal Mansukhut Tilawah (Ayat Yang Dicabut Status Keayatannya)


Kali ini menarik rasanya untuk menelusuri manuskrip Al-Quran KCR 1 yang ditulis dengan qiraat Imam Nafi’. Melihat dari berbagai sentuhan budaya dan beragamnya suku yang ada di Cirebon, hadirnya mushaf berqiraat Imam Nafi’adalah suatu keniscayaan.

Manuskrip Al-Quran dengan kode KCR 1 merupakan salah satu naskah di antara 50 naskah lainnya yang ada di Keraton Kacirebonan. Ukuran mushaf ini 32 x 20 x 5,5 cm dan bidang teksnya 22 x 12,5 cm. Kondisinya saat ini sudah rusak dan tidak lengkap, hanya dimulai dari juz dua sampai surah Al- Muddatsir. Selain itu ada halaman terakhir, yakni surah Al Falaq dan An-Nas. Meskipun dengan kondisi seperti itu, mushaf ini tetap memberikan simpul-simpul informasi yang patut untuk digali.

Kertas mushaf ini berasal dari Eropa dengan dua macam kertas, bagian depan ber-counter mark JW HATM 1812, dan kertas kedua MWI dan VI. Sayangnya cap kertas dari mushaf ini tidak terlihat jelas. Beberapa peneliti menyebut mushaf ini ditulis pada kisaran tahun 1815-1816. Keunikan mushaf ini adalah, adanya ragam alternatif qiraat yang ditampilkan, yakni riwayat Hafs, qiraat Nafi’ dan bahkan qiraat Abu Amr.


Baca juga: Kapankah Datang Pertolongan Allah Swt? Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 214


Penjelasan mengenai qiraat dalam manuskrip Al-Quran KCR 1 ini pernah diteliti oleh peneliti IAIN Syekh Nurjati. Dengan judul Ragam Qiraat Mushaf Alquran di Cirebon; Studi atas Mushaf Keraton Kacirebonan, Abdul Latif, Mahrus, dan Adib memaparkan keunikan tiga mushaf dalam pendekatan ilmu qiraat. Dari penelitian ini, disebutkan hanya mushaf KCR 1 yang menampilkan qiraat yang berbeda.

Perbedaan ini bisa dilihat dari berbagai lafadz, misalnya dalam QS. Ali Imran ayat 145 mushaf ini tertulis min nabiin qutila, sementara mushaf dengan riwaat Hafs dari Asim tertulis min nabiyyin qaatala. Contoh lainnya adalah awal surat al Maidah berikut ini,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ ٱلْأَنْعَٰمِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى ٱلصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ

Dalam mushaf KCR 1 ayat pertama berhenti pada lafadz بِٱلْعُقُودِ, sementara bacaan berdasarkan riwayat Hafs dari Ashim ayat pertama berhenti pada lafadz يُرِيدُ. Perbedaan ini menunjukkan tanda bahwa masyarakat Cirebon pada tahun 1800-an masih sangat majemuk bacaan Al Qur’annya.


Baca juga: Hari Pahlawan: Ini 3 Artikel Refleksi Peringatan Pahlawan dalam Al-Quran dan Tafsir


Melihat kemajemukan Cirebon dari tradisi mengaji

Sebagaimana mushaf pada umumnya, manuskrip Al-Quran di Keraton Kacirebonan barang tentu digunakan untuk mengaji atau bahan mengajar. Dari mushaf KCR 1 tadi, Nampaknya wawasan ulumul Qur’an ulama Keraton saat itu sangat mumpuni, terlebih ilmu qiraat merupakan salah satu fan yang jarang istimewa.

Asumsi ini didukung adanya dua jenis qiraat yang ditampilkan. Teks inti ditulis dengan qiraat Imam Nafi’ namun di sekitar kotak inti terdapat alternatif riwayat Hafs dengan tinta biru. Bahkan menurut penelusuran Latif dkk-nya, sesekali ada qiraat Abu Amr juga.

Selain itu, nampaknya memang riwayat Hafs tidak bisa dilepaskan dari konteks keindonesiaan. Saat itu meski belum ada keputusan ‘paten’ perihal riwayat Hafs seperti saat ini, namun dalam manuskrip Al Quran yang berqiraat Imam Nafi’ pun masih ditampilkan riwayat Hafs.

Dari sini nampaknya di tengah kemajemukan, saat itu mayoritas masyarakat Cirebon lebih banyak menggunakaan riwayat Hafs untuk mengaji. Kembali pada kenyataan Cirebon saat itu sebagai pusat keislaman, kemajemukan adalah hiasan dari peradaban.

Wallahu a’lam[]

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU