BerandaTafsir Al QuranJejak Tafsir Al-Wahidiy di Indonesia (Bagian 2)

Jejak Tafsir Al-Wahidiy di Indonesia (Bagian 2)

Naskah tafsir Jalalain koleksi Museum Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) barangkali menjadi salah satu temuan awal tentang jejak tafsir Al-Wahidiy di Indonesia. Hal ini, sebagaimana telah penulis ulas dalam Jejak Tafsir Al-Wahidiy di Indonesia: Penelusuran Awal. Hal ini sebab ditemukannya catatan interpolasi yang diambil dari salah satu dari tiga karya tafsir al-Wahidiy yang berjudul Al-Wajiz.
Beberapa waktu yang lalu, penulis berkesempatan membaca hasil tahqiq (kritik teks) yang dilakukan oleh Shafwan ‘Adnan Dawudiy dalam edisi teks Al-Wajiz yang dicetak oleh Dar al-Qalam Damaskus dan Al-Dar al-Syamiyyah Beirut. Dalam edisinya tersebut, Dawudiy mengatakan bahwa dia telah merujuk pada 21 naskah Al-Wajiz yang dia kumpulkan dari berbagai koleksi.
Masih dalam edisi tersebut, Dawudiy juga sempat menyinggung salah satu cetakan teks Al-Wajiz yang menurutnya cukup buruk karena tidak melewati tahap kritik teks yang baik. Teks tersebut termuat dalam bagian hamisy naskah Al-Tafsir al-Munir li Ma‘alim al-Tanzil al-Musfir ‘an Wujuh Mahasin al-Ta’wil atau juga dikenal dengan Marah Labid li Kasyf Ma‘na Qur’an Majid karya Mbah Nawawi Banten cetakan Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah ‘Isa al-Babiy al-Halabiy (selanjutnya disebut ‘Isa al-Babiy al-Halabiy), Mesir tahun 1305 H.
Menurut Dawudiy, naskah cetakan tersebut memang sudah seperti naskah kuno yang jarang sekali ditemui dan mungkin hanya dimiliki perpustakaan besar. Hingga tulisan ini ditulis, penulis belum menemukan cetakan yang dimaksud tersebut. Penulis hanya mendapati cetakan Al-Mathba‘ah al-‘Utsmaniyyah. Kendati sama-sama dicetak pada tahun 1305 H., cetakan ini memuat teks Marah Labid saja dan tidak memuat teks Al-Wajiz.

Baca juga: Mengenal Tafsir Sinar Karya Abdul Malik Ahmad, Ulama Asal Sumbar

Informasi yang diberikan Dawudiy ini cukup menarik karena keberadaan naskah tersebut boleh jadi merupakan pintu masuk teks Al-Wajiz di Indonesia. Hal ini seiring dengan pertanyaan yang muncul tentang temuan catatan interpolasi dari teks tersebut dalam naskah Jalalain koleksi Museum MAJT:
“Dari mana penulis naskah tersebut mengutip catatan interpolasi Al-Wahidiy tersebut?”
Pertanyaan ini tentu merupakan hal yang sangat wajar mengingat Al-Wajiz merupakan teks yang ‘tidak populer’ di Indonesia, bahkan hingga saat ini. Seperti yang juga telah penulis ulas dalam Jejak Tafsir Al-Wahidiy di Indonesia: Penelusuran Awal, teks Al-Wajiz berbeda dengan teks Al-Baghawiy yang bisa dibilang sangat populer. Selain itu, salinan naskah Al-Baghawiy juga ditemukan dalam koleksi yang sama, sehingga dimungkinkan penulis naskah merujuk pada naskah tersebut.
Akan tetapi, karena belum mendapatkan salinan cetakan, penulis hendak memberikan disclaimer bahwa apa yang penulis paparkan ini merupakan asumsi yang dibangun dengan mengaitkan keberadaan naskah Marah Labid cetakan ‘Isa al-Babiy al-Halabiy tersebut dengan catatan interpolasi yang ditemukan dalam naskah Jalalain koleksi Museum MAJT.
Alasan yang mendasari asumsi penulis bahwa naskah Marah Labid cetakan ‘Isa al-Babiy al-Halabiy tersebut menjadi pintu masuk teks Al-Wajiz di Indonesia adalah bahwa Marah Labid merupakan teks yang cukup populer di Indonesia. Setidaknya, ia lebih populer jika dibandingkan dengan teks Al-Wajiz. Maka, agaknya mungkin jika teks Al-Wajiz masuk ke Indonesia dengan ‘menumpang’ teks Marah Labid.
Martin van Bruinessen dalam kajiannya berjudul Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat menukil dari L.W.C. van den Berg menyebut bahwa pada akhir abad ke-19 menjadi awal masuknya teks Marah Labid di Indonesia, kendatipun teks tersebut belum menjadi materi kurikulum ‘resmi’ pesantren di Indonesia. Jika dicocokkan, masa tersebut merupakan masa yang sama di mana naskah Marah Labid dicetak untuk pertama kali, sebagaimana disebutkan oleh Dawudiy oleh percetakan ‘Isa al-Babiy al-Halabiy pada tahun 1305 H. atau sekitar tahun 1887 M.

Baca juga: Sejarah Kemunculan Tafsir Pesantren

Namun jika asumsi ini benar, satu hal yang mengganjal adalah selisih tahun antara cetakan naskah Marah Labid tersebut dengan waktu penulisan naskah Jalalain Museum MAJT. Bahwa cetakan naskah Marah Labid ‘terlambat’ sekitar 30 tahun ketimbang penulisan naskah Jalalain.
Kecuali, jika kita berasumsi bahwa teks Al-Wajiz yang terletak di bagian hamisy naskah Jalalain tersebut ditulis di masa berikutnya. Hal ini karena pola yang digunakan sama dengan pola yang digunakan pada makna pegon (interlinear translation). Sementara keduanya menggunakan pola yang berbeda dengan teks (induk) Jalalain yang berada di bagian tengah halaman. Sehingga teks Al-Wajiz diberikan belakangan oleh seseorang yang ngaji tafsir dengan naskah tersebut, meskipun untuk membuktikannya cukup sulit karena jenis kaligrafi (khat) yang digunakan semisalnya berbeda.
Tetapi, kembali lagi bahwa paparan yang penulis sampaikan ini hanya merupakan asumsi yang dibangun dari argumentasi sementara. Sehingga, untuk sampai kepada kebenarannya yang ilmiah masih membutuhkan banyak data dan kajian lebih lanjut. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....