Dalam Al-Fawz Al-Kabir fi Ushul At-Tafsir, Syah Waliyullah Ad-Dihlawi menge-list beberapa hal yang menyebabkan sulit dalam memahami maksud Al-Quran, antara lain yaitu adanya taqdim dan ta’khir dalam Al-Quran, karena susunan kata dalam satu ayat, atau bahkan susunan ayat dalam satu surah itu tidak seperti susunan kalimat yang normal sebagaimana dalam ketentuan kaidah kebahasaan. Kata atau kalimat yang semestinya ada di bagian awal, di ayat tersebut diletakkan di akhir, atau sebaliknya. Untuk itu, agar mengetahui susunan kalimat yang mengalami proses taqdim dan ta’khir ini, Ad-Dihlawi menyarankan para pengkaji Al-Quran dan tafsir untuk mempelajari kaidah taqdim dan ta’khir.
Sebagaimana historisitas Al-Quran yang disimpulkan oleh Taufik Adnan Amal dalam Rekonstruksi Sejarah Al-Quran bahwa Al-Quran itu erat dan identik sekali dengan kondisi sosial masyarakat Islam awal di Arab pada masa turunnya, memunculkan banyak teori bahwa untuk memahami Al-Quran, pengkaji harus memperhatikan kejadian dan kondisi di sekitar Al-Quran pada masa itu.
Keterkaitan yang sangat erat itu, dapat kita temui dalam beberapa ayat Al-Quran yang menyinggung tentang tradisi sosial pada saat itu, sebut saja tradisi patriarki dalam beberapa ayat Al-Quran, misal penguburan anak perempuan hidup-hidup karena dianggap menjadi aib keluarga (QS. Al-An’am: 15; QS. Al-Isra’: 31), laki-laki sebagai pemimpin perempuan (QS. An-Nisa’: 34), anggapan masyarakat laki-laki pada saat itu bahwa perempuan itu makhluk yang bodoh, yang bisanya hanya pandai berhias (QS. Az-Zukhruf: 18) dan seterusnya.
Uniknya, tidak hanya redaksi Al-Quran yang memperlihatkan adanya tradisi patriarki pada saat itu, tetapi ilmu untuk mempelajari Al-Quran pun (Ulumul Quran) juga menampilkan hal tersebut, kali ini konteksnya tentang kaidah taqdim dan ta’khir.
Keterpengaruhan tradisi patriarki pada kaidah taqdim dan ta’khir
Tidak hanya membahas dari segi kaidah gramatikal Bahasa Arab (nahwu dan sharraf), Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulumil Quran juga mengutip penjelasan Ibnu as-Sha’igh dalam kitab Al-Muqaddimah fi Sirr Alfadz Al-Muqaddimah tentang rahasia dan petunjuk dari mengawalkan (taqdim) suatu kata dan mengakhirkan (ta’khir) suatu kata. Di situ disebutkan bahwa ada 10 rahasia yang membuat suatu kata itu didahulukan dan diakhirkan (taqdim dan ta’khir).
Sepuluh rahasia itu antara lain, at-tabarruk (mendapat berkah dan kebaikan) seperti dalam ayat yang mendahulukan penyebutan Allah dari hal-hal lainnya. Setelah itu ada at-ta’dhim (mengagungkan), ini berlaku sama pada ayat-ayat seperti contoh yang pertama. Rahasia berikutnya adalah at-tasyrif (memuliakan), contoh dalam hal ini yaitu ketika mendahulukan penyebutan laki-laki daripada perempuan seperti ayat inna al-muslimin wa al-muslimat….. juga mengawalkan penyebutan orang merdeka daripada budak, menyebut terlebih dahulu kehidupan (al-hayy) daripada kematian (al-mayyit) dan seterusnya hingga rahasia yang kesepuluh.
Sampai pada rahasia yang ketiga ini kita dapat melihat ada pengaruh dari tradisi patriarki yang ikut masuk dalam paradigma pemikiran seorang tokoh pengkaji Al-Quran. Di situ disampaikan bahwa laki-laki disebut lebih dulu daripada perempuan karena lebih mulia. Alasannya adalah lebih mulia, tidak ada yang lain. Terlihat jelas bahwa ide atau gagasan tersebut lahir mengikuti keadaan ketika Al-Quran diturunkan, yaitu laki-laki lebih dimuliakan di tatanan sosial daripada perempuan.
Baca juga: Hikmah Taqdim dan Ta’khir dalam Al-Quran
Tidak menyalahkan, tapi mengkritisi
Sebagaimana disampaikan di awal, taqdim dan ta’khir merupakan salah satu kaidah dalam menafsirkan dan memahami Al-Quran, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dalam Al-Qawa’id Al-Asasiyah fi Ulumil Quran mengiyakan hal ini. Tentu peran kaidah ini sangat penting dalam menafsirkan Al-Quran. Oleh karena perannya yang begitu penting, maka sangat disayangkan ketika mengetahui adanya keterpengaruhan patriarki di dalamnya. Jika alat atau ketentuan yang digunakan dalam menafsirkan Al-Quran saja demikian, bernuansa patriarki, maka bisa ditebak hasil atau produk dari penafsirannya.
Mengetahui hal ini, sudah semestinya untuk tidak menerima ide atau gagasan tersebut mentah-mentah, kesadaran akan hal-hal di belakangnya harus ditunjukkan dari awal. Khusus untuk konteks ke-perempuan-an, memunculkan dan melatih pikiran untuk terbiasa dengan hal-hal yang sensitif perempuan dan mengetahui historisitas ilmu Al-Quran menjadi hal yang dapat membantu dalam mengkritisi sebuah gagasan.
Mengapa hal ini menjadi penting? Akibat dan pengaruh yang sering tidak disadari oleh banyak orang dari ide atau gagasan yang bernilai patriarki, baik secara langsung maupun tidak akan sangat berbahaya. Inilah salah satu contoh dari hal kecil yang dianggap remeh, tapi akibatnya akan sangat besar dan berkelanjutan dalam waktu yang sangat lama.
Misal saja, ketika dikatakan bahwa gagasan di salah satu kaidah tafsir tadi mengafirmasi bahwa laki-laki lebih mulia daripada perempuan, bagi laki-laki yang langsung bangga dengan hal tersebut akan menuntut perempuan untuk selalu mematuhinya, mengikuti kemauannya, karena jika tidak, maka perempuan itu berarti tidak memuliakannya dan berdosa karena melanggar perkataan ulama. Begitupun dengan perempuan yang langsung menerima ide ini apa adanya, ia akan merasa wajib patuh, taat pada makhluk yang lebih mulia darinya, dan tidak berani melawannya. Dari pikiran yang seperti ini kemudian tidak jarang lahir praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan.
Sebagai penutup, jika Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia meminta kita untuk berlaku adil sejak dalam pikiran, maka dalam konteks bahasan ini, kita hendaklah berlaku sensitif ke-perempuan-an sejak dalam pikiran. Wallahu a’lam.
Baca juga: Tujuh Kaidah Penting Dalam Proses Penafsiran Ayat Al-Quran