BerandaUlumul QuranMengenal Muthlaq-Muqayyad: Definisi, Pembagian, dan Kaidah Penerapannya

Mengenal Muthlaq-Muqayyad: Definisi, Pembagian, dan Kaidah Penerapannya

Salah satu tema penting dalam kajian ulumul Qur’an adalah pembahasan tentang muthlaq-muqayyad. Oleh karena itu, dalam artikel sederhana ini penulis akan membahas mengenai definisi, pembagian, dan kaidah penerapan muthlaq-muqayyad.

Definisi Muthlaq-Muqayyad

Quraish Shihab dalam karyanya Kaidah Tafsir, mendefinisikan muthlaq sebagai suatu lafaz yang menunjukkan kepada satu atau beberapa satuan dari segi substansinya tanpa ikatan apapun. Sedangkan istilah muqayyad, didefinisikan sebagai suatu lafaz atau kata yang menunjuk kepada satu atau beberapa satuan yang diberi ikatan berupa lafaz atau kata yang terpisah darinya.

Untuk lebih mudahnya, Quraish Shihab memberi contoh pada kata “muslim”. apabila kita mengucapkan kata “muslim” saja, maka kata tersebut bersifat muthlaq. Hal ini dikarenakan kata tersebut masih umum, dan terkandung di dalamnya berbagai kemungkinan interpretasi terhadap maksud dari kata “muslim” tersebut.

Namun, jika kita mengucapkan kata “muslim Indonesia” maka kata “Indonesia” menjadi pengikat pada keumuman lafaz sebelumnya. Oleh karena itu, dengan adanya kata pengikat tersebut, maka kalimat tersebut dikatakan sebagai kalimat muqayyad. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa letak perbedaan mendasar antara muthlaq dan muqayyad adalah terkait ada tidaknya lafaz atau kata yang mengikat kata sebelumnya.

Baca Juga: Kaidah Tafsir: Pengertian dan Hakikatnya dalam Memahami Al-Quran

Pembagian dan Kaidah Penerapan Muthlaq-Muqayyad

Secara umum, Imam az-Zarkasyi menjelaskan bahwa kaidah dasar tentang muthlaq-muqayyad adalah sebagai berikut:

إِنْ وُجِدَ دَلِيْلٌ عَلَى تَقْيِيْدِ الْمُطْلَقِ صَيَّرَ إِلَيْهِ، وَإِلَّا فَلَا وَالْمُطْلَقُ عَلَى إِطْلَاقِهِ وَالْمُقَيَّدُ عَلَى تَقْيِيْدِهِ

Apabila ditemukan dalil yang mengikat suatu hal yang bersifat umum, maka keumuman tersebut dialihkan kepada pengikatnya. Namun, apabila tidak ditemukan pengikatnya, maka yang muthlaq tetap pada kemutlakanya, dan yang muqayyad tetap pada ikatan yang membatasinya

Dalam penerapannya, kaidah tersebut tidak sesederhana yang dibayangkan. Hal ini dikarenakan adanya ragam bentuk muthlaq-muqayyad yang ditemukan dalam Al-Qur’an. Manna’ al-Qaththan dalam karyanya Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, mengklasifikasikan ragam bentuk muthlaq-muqayyad tersebut menjadi empat bentuk, yaitu:

Baca Juga: Al-Quran dan Faktor Kemunculan Ilmu Nahwu

  1. Memiliki kesamaan dalam sisi sebab maupun hukumnya (أن يتحد السبب والحكم)

Klasifikasi yang pertama ini dapat ditemukan dalam sebuah ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang kafarat puasa dalam pelanggaran sumpah. Pada ayat yang pertama yaitu QS. Al-Ma’idah [5] ayat 89:

فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ – ٨٩

Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya)

Ayat tersebut membicarakan tentang kafarat pelanggaran sumpah dengan perintah berpuasa selama tiga hari. Namun, perintah puasa tersebut masih bersifat muthlaq, karena belum jelas apakah puasa tiga hari tersebut dilaksanakan secara berurutan atau boleh secara terpisah.

Lain halnya dalam qira’at Ibnu Abbas, ayat tersebut dibaca dengan memberikan ikatan berupa tambahan kalimat mutatabi’at (berurutan) setelah kalimat tsalatsati ayyam. Sehingga redaksinya dapat dituliskan sebagaimana berikut:

فَصِيَامُ ثَلَاتَةِ أَيَّامٍ مُتَتَبِعَاتِ

 “Maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari secara berurutan

Dalam menyikapi hal tersebut, para ulama masih berbeda pendapat. Terdapat ulama yang mengalihkan perintah yang masih bersifat muthlaq menuju bentuk muqayyad. Sehingga dalam hal ini, puasa yang digunakan dalam menebus kafarat pelanggaran sumpah adalah puasa tiga hari yang dilakukan secara berurutan, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah.

Namun, terdapat juga ulama yang menentang pendapat tersebut. Alasanya adalah karena qira’ah masyhurah tidak bisa dijadikan sebagai dalil argumen (hujjah). Oleh karena itu, mereka tidak mengalihkan perintah yang bersifat muthlaq tersebut kepada muqayyad.

Baca Juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?

  1. Memiliki sebab yang sama namun berbeda hukumnya (أن يتحد السبب ويختلف الحكم)

Klasifikasi yang kedua ini dapat dijelaskan dalam problematika pembasuhan tangan dalam wudhu dan tayammum. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’idah [5] ayat 6:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku

Dalam ayat tersebut, perintah membasuh tangan dalam wudhu bersifat muqayyad karena harus dilakukan hingga siku. Namun dalam praktik tayammum, basuhan tangan dibiarkan umum (muthlaq) tanpa ada batasan tertentu, sebagaimana berikut:

فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ

maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu

Dalam menyikapi hal ini, terdapat ulama yang tidak membolehkan pemberlakuan batasan siku dalam wudhu untuk diterapkan dalam tayammum. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan hukum.

Berbeda dengan pendapat pertama, Imam Ghazali menyampaikan bahwa kebanyakan ulama syafi’iyah menerapkan batasan basuhan tangan hingga siku dalam tayammum. Hal ini didasarkan pada adanya unsur kesamaan sebab yaitu sama-sama ingin menghilangkan hadats walaupun berbeda dalam sisi hukumnya.

Baca Juga: Ini Alasan Penting Belajar Ilmu Al-Quran dan Tafsirnya

  1. Memiliki kesamaan hukum namun berbeda sebabnya (أن يتحد الحكم ويختلف السبب)

Pertama, taqyid-nya hanya satu bentuk. Dalam Q.S. al-Mujadalah [58]: 3 dan Q.S. al-Ma’idah [5]: 89, budak yang harus dimerdekakan bersifat muthlaq. Namun, dalam Q.S. al-Nisa’ [4]: 92, kafarat pembebasan budak bersifat muqayyad yaitu hanya berlaku apabila budak yang dibebaskan adalah budak yang beriman.

Menyikapi hal tersebut, mayoritas ulama syafi’iyah dan sebagian malikiyah mengalihkan yang muthlaq menuju muqayyad tanpa perlu adanya dalil tambahan. Sehingga dalam hal ini tidak diperbolehkan untuk membebaskan budak kafir sebagai tebusan dalam kafarat dzihar dan sumpah.

Kedua, taqyid-nya berbeda bentuk. Dalam hal kafarat sumpah (Q.S. al-Ma’idah [5]: 89) dan qadla’ puasa Ramadhan (Q.S. al-Baqarah [2]: 184), perintah puasa bersifat muthlaq. Tetapi dalam kafarat pembunuhan (Q.S. al-Nisa’ [4]: 92) dan kafarat dzihar (Q.S. al-Mujadalah [58]: 4), kafarat puasa berbentuk muqayyad berupa waktu pelaksanaanya yang harus berurutan.

Kemudian, dalam kafarat puasa haji tamattu’ (Q.S. al-Baqarah [2]: 196), puasanya dibatasi dengan pembedaan pada waktu pelaksanaan puasanya, yaitu 3 hari ketika haji dan 7 hari ketika sudah kembali. Maka, dalam hal ini para ulama memberikan kaidah bahwa ayat yang bersifat muthlaq tersebut tidak bisa dialihkan menjadi muqayyad, karena taqyid-nya berbeda-beda.

  1. Baik sebab maupun hukum, keduanya berbeda (أن يختلف السبب ويختلف الحكم)

Contohnya adalah batasan tangan dalam perkara wudhu’ dan batasan tangan dalam hukuman qishash bagi pencuri. Tangan dalam praktik wudhu’ dibatasi oleh ikatan berupa kata “ila marafiq” (sampai pada siku). Tetapi, dalam konteks hukuman qishash potong tangan bagi pencuri, redaksi yang digunakan bersifat muthlaq, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Ma’idah [5] ayat 38:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ – ٣٨

Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa, Maha bijaksana

Dalam hal ini, semua ulama sepakat untuk tidak menerapkan batasan siku lengan dalam praktik wudhu ke dalam pelaksanaan qishash potong tangan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan baik dari sisi sebab maupun hukumnya antara praktik membasuh tangan dalam wudhu dengan praktik potong tangan dalam hukuman qishash.

Demikian kurang lebih pemaparan seputar muthlaq-muqayyad. Banyak pendapat mengenai penerapan kaidah tersebut, tidak lain merupakan khazanah perkembangan kajian ulumul Quran yang tidak dapat dihindarkan. Wallahu A’lam

Moch Rafly Try Ramadhani
Moch Rafly Try Ramadhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Hikmah dari Pengusiran Yahudi Bani Nadhir

0
Dalam surah al-Hasyr diterangkan kisah pengusiran Yahudi Bani Nadhir. Mereka dahulunya membuat perjanjian damai dengan Rasulullah. Namun kemudian, mereka berkhianat dan menjalin persekongkolan dengan...