BerandaUlumul QuranKaidah Wadih ad-Dalalah, Contoh Pertentangan dan Cara Penyelesaiannya

Kaidah Wadih ad-Dalalah, Contoh Pertentangan dan Cara Penyelesaiannya

Pada artikel sebelumnya yang bertajuk Mengenal Makna Wadih ad-Dalalah dan Khafi ad-Dalalah dalam Al-Qur’an telah diuraikan empat macam lafal Wadih ad-Dalalah. Akan tetapi pada tulisan tersebut belum disinggung tentang kontradiksi dan alternatif penyelesaiannya yang merupakan kajian lanjut ulama dalam pembahasan Wadih ad-Dalalah.

Seperti yang disinggung dalam artikel itu pula, bahwa standar hierarki dalam Wadih ad-Dalalah adalah kamungkinan ta’wil dan nasakh. Semakin besar peluang ta’wil maka semakin kecil tingkat kejelasannya. Sebaliknya semakin kecil peluang kemungkinan ta’wil maka semakin besar tingkat kejelasannya. Nah, bila diurut dari yang paling rendah tingkat kejelasannya adalah, Zhohir, Nash, Mufassar, lalu yang tertinggi Muhkam.

Pemetakan hierarki di atas sengaja dibuat sebagai antisipasi sekaligus alternatif bila terjadi kontradiksi antara keempat macam lafal Wadih ad-Dalalah. Pertentangan yang dimaksud adakalanya antara makna Zhohir dengan makna Nash, Nash dengan Mufassar dan Mufassar dengan Muhkam. Saat terjadi pertentangan seperti yang tersebut di atas maka penyelesaiannya menggunakan jalan prioritas. Dengan kata lain yang dimenangkan sebagai dalil adalah yang lebih tinggi tingkat kejelesannya. Dengan demikian Nash dimenangkan dari Zhohir, sedangkan Mufassar menang dari Zhohir dan Nash, begitu pula Muhkam diunggulkan dari Zhohir, Nash, dan Mufassar.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 263: Etika Memberi dan Meminta Bantuan

Contoh Pertentangan dan Penyelesaiannya

Pertentangan Nash dan Zhohir

Dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 24, Allah berfiman;

وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمْ

“Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu”

Ayat sebelumnya berbunyi “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Baca juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Tentang Tata Cara Bertayamum Yang benar

Kemudian disusul dengan ayat di atas yang menyatakan “dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.

Nah, dengan melihat rentetan ayat sebelumnya itu, maka maksud ayat di atas adalah halalnya mengawini selain wanita-wanita yang telah disebutkan, termasuk wanita yang mau dijadikan istri kelima. Sehingga menurut ayat ini -melalui makna Zhohir-nya- seorang lelaki yang telah beristri empat boleh menikahi wanita selain wanita yang telah disebutkan oleh ayat di atas.

Sementara itu, di tempat lain Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 3

فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ

“maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.”

Makna Nash yang diperoleh dari ayat di atas adalah, pembatasan jumlah istri yang diperbolehkan dalam syariat yaitu empat orang istri. Sehingga wanita yang hendak menjadi istri ke lima menurut ayat ini haram dinikahi yang diproleh dari makna Nash ayat.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Qashash Ayat 56: Memahami Hikmah, Ragam dan Proses Hidayah

Sampai di sini, dapat diketahui bahwa letak pertentangan kedua ayat di atas adalah menyangkut boleh tidaknya menikahi wanita yang hendak dijadikan istri ke lima. Ayat pertama mengatakan boleh, asalkan bukan wanita-wanita yang telah diharamkan. Sedangkan ayat kedua sebaliknya yaitu tidak boleh.

Nah, dengan menerapkan kaidah dalam Wadih ad-Dalalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka makna Nash lah yang dimenangkan dari pada makna Zhohir, karena makna Nash lebih jelas ketimbang makna Zhohir.

Sehingga kesimpulan hukum yang diperoleh adalah seorang lelaki haram menikahi wanita yang hendak dijadikan istri kelima baik itu wanita lain apalagi wanita yang diharamkan (Mahrom). Wallahu a’lam. (lihat:Usul fiqh Wahab Khalaf 148)

M. Yoeki Hendra
M. Yoeki Hendra
Mahasantri Ma'had 'Aly Situbondo, gemar membaca kitab-kitab turats
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...