Dalam tatanan kebahasaan kita mengenal istilah kata ganti. Kata ganti secara umum dibedakan menjadi kata ganti tunggal dan kata ganti jamak. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata ganti tunggal “aku”, “kamu” dan “dia”, sedangkan untuk kata ganti jamak kita mengenal “kami”, “kalian” dan “mereka”.
Begitu pula dalam bahasa Arab, yang juga menjadi al-Qur’an. Allah Swt merupakan Tuhan Yang Maha Esa. Dzat yang satu dan tidak ada duanya. Banyak ayat al-Qur’an yang menunjukkan bukti ke-Esa-an Allah Swt. Lantas, mengapa Allah Swt juga menjelaskan diri-Nya dengan kata “Kami” di beberapa ayat al-Qur’an? Apakah maksud dari penyebutan kata ganti jamak terhadap sesuatu yang tunggal?
Istilah untuk hal ini dinamakan dengan plural of majesty, yakni penyebutan kata ganti jamak bagi sesuatu yang tunggal dengan tujuan pengagungan diri sendiri atau dalam bahasa Arab disebut dengan jama’ li al-Ta’dzim. Contoh ayat yang menunjukkan plural of majesty terdapat pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 34;
وَإِذْ قُلْنَا لِلمَلَائِكَةِ اسْجُدُوْا لِأَدَمَ فَسَجَدُوْا إِلَّا إِبْلِيْس
“Dan ketika Kami mengatakan kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam, maka mereka bersujud kecuali iblis”
Baca juga: Nilai Kesetaraan Hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam
Menurut al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, penggunaan kata قُلْنَا dalam ayat ini untuk menunjukkan arti Allah Swt sendiri, tidak menggunakan redaksi قُلْتُ dengan tujuan pengagungan dan penyanjungan terhadap Dzat-Nya. Hal ini serupa dengan pendapat Wahbah az-Zuhaily dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Munir, yang mengatakan bahwa penggunaan kata قُلْنَا dalam bentuk jama’ sebagai bentuk keagungan. Contoh lain juga bisa ditemukan dalam Q.S. Al-Fath [48]: 1;
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًا
“Sungguh, Kami telah membukakan kepadamu kemenangan yang nyata”.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya ar-Risalah al-Tadmuriyah mengatakan bahwa penggunaan kata jamak dalam hal ini tidak lain karena pengagungan yang menjadi hak bagi Allah Swt untuk menyandangnya. Kata jamak biasa menunjukkan makna berbilang dan Allah Swt terbebas dari bilangan. Penggunaan kata ganti orang pertama jama’ nahnu (Kami) dalam ayat tersebut melahirkan kaidah dalam bahasa Arab, yakni al-mutakallim al-mu’adzdzim li nafsihi atau kata ganti orang pertama dengan tujuan pengagungan terhadap diri sendiri.
Dalam dunia Barat penggunaan kata ganti bentuk jama’ ini disebut dengan istilah nosism. Kata nosism sendiri dalam The Dictionary of Language Therminology (ODLT) berarti penggunaan rujukan untuk diri sendiri dengan kata “kami”. Dalam kamus Oxford, nosism berarti rujukan terhadap individual dalam penggunaan kata “kami” untuk menyatakan pendapatnya. Istilah ini serupa dengan istilah “royal we”. Istilah “royal we” biasa digunakan dalam tatanan kerajaan Inggris ketika raja atau ratu menyebut diri mereka sendiri dalam pertemuan resmi baik secara tertulis maupun lisan.
Dalam konteks Indonesia sendiri penerapan plural of majesty mungkin bisa ditemui pada teks proklamasi Negara kita. Teks proklamasi tertulis dengan ”Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”. Penggunaan kata “kami” merujuk pada Ir. Soekarno sebagai penulis teks proklamasi. Meskipun memang Bangsa Indonesia menginginkan kemerdekaan, namun tanpa hak kekuasaan yang dimiliki oleh Ir. Soekarno, teks proklamasi tersebut tidak akan berarti.
Adanya istilah-istilah dan manfaat di atas berpengaruh pada kata ganti orang kedua atau “kamu”. Jika kata “aku” memiliki bentuk jama’ “kami”, maka kata “kamu” memiliki bentuk jama’ “kalian”. Hal ini biasa dipakai dalam percakapan bahasa Arab sehari-hari yang menyebut kata انتم (kalian) kepada orang lain padahal hanya satu orang. Oleh karenanya lafadz salam dalam bahasa Arab berbentuk السَّلَامُ عَلَيْكُمْ (semoga keselamatan tercurah kepada kalian). Dan penggunaan kata salam ini umum digunakan untuk laki-laki maupun perempuan dan seorang maupun banyak orang. Dalam al-Qur’an konteks ini bisa ditemui pada Q. S. an-Nahl [16]: 120;
اِنَّ اِبْرَاهِيْمَ كَانَ اُمَّةً قَانِتًا لِّلّهِ حَنِيْفًاۗ وَلَمْ يَكُ مْنَ الْمُشْرِكِيْن
“Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Allah)”. (Terjemah al-Qur’an Kemenag RI)
Dalam terjemahan ayat di atas kata اُمَّةً memiliki makna seorang imam. Hal ini berbeda dengan makna asli kata اُمَّةً yang menurut Syekh Raghib al-Ashfahani dalam Mufradat Alfadzil Qur’an bermakna kumpulan dari suatu perkara seperti agama, waktu dan tempat yang sama. Namun beliau mengartikan kata اُمَّةً dalam ayat ini menjadi pemimpin tempat perkumpulan (tempat ibadah). Karena melihat konteks ayat, Nabi Ibrahim a.s. merupakan pembangun tempat ibadah (Ka’bah). Kemudian Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata اُمَّةً bermakna sekelompok orang yang membutuhkan pemimpin.
Jika pendapat di atas dilogikakan, اُمَّةً adalah sekelompok orang yang membutuhkan pemimpin dan Nabi Ibrahim a.s. sendiri adalah pemimpin atau pendiri tempat ibadah. Maka, penyebutan kata اُمَّةً dalam ayat tersebut menjadi bentuk perwakilan Nabi Ibrahim a.s. atas umat sebenarnya. Selaras dengan tafsir Kemenag RI yang menerjemahkan kata اُمَّةً sebagai imam (yang menjadi teladan) yang ditujukan pada Nabi Ibrahim a.s. sebagai gelar karena memiliki beberapa sifat kemuliaan.
Baca juga: Kisah Al-Quran: Beberapa Gelar Yang Disandang Nabi Ibrahim a.s.
Penafsiran terhadap kata-kata di atas tidak terekam jejak adanya pertanyaan sahabat mengenai kata tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sahabat sudah mengerti maksud dari kata tersebut. Fenomena ini bisa diambil hikmahnya bahwa maksud dari penggunaan kata ini tidak lain karena bentuk kesopanan. Kesopanan merupakan salah satu upaya dalam menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat. Dan hal tersebut diajarkan oleh al-Qur’an yang notabene pedoman bagi umat Islam. Semoga kita selalu dapat mengambil hikmah dari apa yang disampaikan Allah Swt kepada hamba-Nya melalui pedoman tersebut. Amin.