Kategorisasi Nasakh dan Contohnya dalam Al-Quran

Nasakh
Kategorisasi Nasakh

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan tentang urgensi dan definisi Ilmu Nasakh. Artikel ini akan mengulas lebih lanjut kategorisasi nasakh dalam al-Quran. Menurut al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran dan juga al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan, terdapat tiga jenis nasakh dalam kaitannya dengan hukum dan bacaan.

  1. Wahyu al-Quran yang hanya dinasakh hukumnya, tetapi ayatnya tetap tercantum.

Jenis nasakh yang pertama merupakan nasakh yang menjadi bahasan utama dalam ilmu al-Quran. Bahkan jika disebutkan nasakh dalam al-Quran, maka yang dimaksud adalah nasakh hukum. Dalam penelusuran al-Zarkasyi, sedikitnya ayat-ayat yang dinasakh terdapat dalam enam puluh tiga surat.

Contoh-contoh dari nasakh tersebut secara lengkap dapat dilihat dalam kitab al-Nasikh wa al-Mansukh karya Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam. Selain al-Nasikh wa al-Mansukh karya Abu ‘Ubaid, adapula kitab karangan karya al-Zuhri yang ditulis lebih dahulu dengan nama yang sama. Berikut beberapa riwayat yang menjelaskan mengenai nasakh dalam al-Quran yang disarikan dari dua kitab karya al-Zuhri dan Abu ‘Ubaid.

Baca Juga: Mengenal Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Al Quran

Ayat pertama yang dinasakh dalam al-Quran merupakan ayat yang berbicara tentnag kiblat. Diriwayatkan dari Hajjaj dari Ibnu Juraij dan Utsman bin ‘Atha dari ‘Atha al-Khurasany dari ibnu ‘Abbas, katanya, “Ayat pertama yang dinasakh dari al-Quran ialah yang berkaitan dengan kiblat. Allah swt berfirman:

و لله المشرق و المغرب فأينما تولوا فثم وجه الله .

 Lalu setelah turun ayat ini, Rasulullah memindahkan kiblat solat ke Baitul Maqdis, kemudian Allah swt memindahkan kembali arah kiblat ke Masjid al-Haram melalui ayat:

… و ما جعلنا القبلة التي كنت عليها إلا لنعلم من يتبع الرسول ممن ينقلب على عقبيه …

Lebih lanjut diriwayatkan dari Abi Ishak dari al-Barra bahwasanya Rasulullah saw solat menghadap ke Baitu al-Muqaddas selama enam belas bulan, kemudian Allah memerintahkan untuk menghadap kea rah Masjid al-Haram dengan ayat:

قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك فبلة ترضاها فول وجهك شطر المسجد الحرام …

Contoh yang kedua adalah tentang puasa. Pada mulanya ketika ayat yang memerintahkan puasa turun:

كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون

Kewajiban puasa adalah sepanjang hari dan malam, kecuali pada waktu berbuka yaitu dari waktu magrib hingga isya. Lalu sebagian sahabat lupa, termasuk Umar bin Khattab, setelah isya berkumpul dengan istrinya. Turunlah ayat yang memaafkan mereka dan mengganti syariat puasa hanya sepanjang siang saja, dengan ayat:

علم الله أنكم كنتم تختانون أنفسكم فتاب عليكم و عفا عنكم فالئن بشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم و كلو واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى اليل …

  1. Wahyu al-Quran yang hukum dan ayatnya dinasakh.

Mengenai ayat dan hukum yang dinasakh terdapat satu contoh dari sepanjang pembacaan penulis yang diambil dari literatur-literatur yang digunakan, yaitu tentang mahram anak yang disusukan oleh perempuan. Diriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya telah diturunkan wahyu sepuluh kali susuan yang dimaklumkan, dapat menjadikan mahram anak kepada ibu susuannya. Kemudian hal tersebut dinasakh hingga tinggal menjadi lima kali saja.

Riwayat Aisyah di atas merupakan riwayat sahih yang dapat mudah ditemukan dalam sumber-sumber primer kitab Hadis. Seperti di dalam Sahih Muslim yang diletakkan pada bab al-tahrim bikhamsi rada’at. Kemudian dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasai dan Musnad Imam Syafi’i.

  1. Wahyu al-Quran yang hanya dinasakh ayatnya, tetapi hukumnya tetap berlaku.

Pernah diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwasanya di dalam surat al-Nur terdapat ayat:

الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله

Umar berkata, “seandainya orang-orang tidak akan mengatakan bahwa Umar telah menambah-nambah kitab Allah, maka aku akan menuliskannya.”

Riwayat lain menceritakan bahwa Ibn Hibban dari Ubay bin Ka’ab berkata, “dulu surat al-Ahzab lebih panjang dibandingkan dengan surat al-Baqarah.”

Baca Juga: Mengenal Hukum Wadh’i dan Contohnya dalam Al-Qur’an

Menurut pandangan Quraish Shihab, nasakh model yang terakhir ini merupakan nasakh yang seyogyanya ditolak. Karena riwayat Umar bin Khattab dan juga riwayat Ubay bin Ka’ab merupakan riwayat yang dha’if yang tidak memiliki landasan kuat. Pasalnya, kedua riwayat tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis  mu’tabar.

Penulis telah berusaha mentakhrij riwayat-riwayat tersebut dan tidak menemukannya baik dalam kutub al-tis’ah maupun kitab-kitab hadis yang lainnya. Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa salah satu syarat nasakh adalah dalil hukum syar’i yang kuat, oleh karenanya untuk nasakh jenis yang ketiga ini penulis sependapat dengan Quraish Shihab. Wallahu A’lam.