BerandaKisah Al QuranKaya Versi Zulkarnain dan Nabi Muhammad ﷺ: Kepedulian Terhadap Sesama

Kaya Versi Zulkarnain dan Nabi Muhammad ﷺ: Kepedulian Terhadap Sesama

Dari zaman Firaun hingga kini nyaris setiap orang ingin menjadi kaya, tercukupi segala kebutuhan dari primer hingga tersier. Bagi kita yang sudah kaya atau pun yang ingin menjadi kaya penting untuk memahami bagaimana tokoh besar dalam sejarah peradaban manusia memandang kekayaan. Terdapat dua tokoh besar dalam sejarah yang memiliki kesamaan dalam memaknai kekayaan, yakni kepedulian terhadap sesama. Berikut ini kaya versi Zulkarnain dan Nabi Muhammad saw.

Baca Juga: Melacak Zulkarnain: Tafsir, Israiliyyat, dan Sejarah (Bag. 1)

Zulkarnain dan Mega Proyek Tembok Raksasa

Dikisahkan dalam Alquran surah al-Kahfi ayat 84 bahwa Zulkarnain adalah sosok yang diberi posisi tinggi di bumi oleh Allah pun dia diberi jalan untuk meraih segala sesuatu yang dia inginkan. Ibn Ishaq menyebut daerah manapun yang didatanginya akan ditakhlukkan olehnya. Dari ujung timur hingga ujung barat bumi telah dikuasai olehnya.

Terdapat satu kisah, ketika sampai dalam perjalanannya di lembah di antara dua gunung yang termaktub dalam ayat 93-98 surah al-Kahfi, Ibn Abbas berpendapat dua gunung ini terletak di antara Armenia dan Azebaijan. Zulkarnain bertemu dengan satu kaum yang nyaris tidak memahami perkataannya. Uniknya karena terdesak suatu kebutuhan mereka pun berusaha berkomunikasi dengan Zulkarnain dan mengatakan bahwa Yakjuj dan Ma’juj telah merusak bumi, menawarinya dengan imbalan jika dia mau membuat pemisah antar mereka.

Dengan tegas Zulkarnain katakan bahwa apa yang telah diberikan oleh Allah kepadanya lebih baik dari pada tawaran dari pada kaum tersebut, dan dia hanya meminta bantuan untuk membuat tembok pemisah tersebut. Bayangkan, untuk sebuah mega proyek pembangunan tembok besi yang membentang di antara dua gunung dia tidak hendak meminta balasan sedikit pun.

Mega proyek tersebut diselesaikan olehnya dengan sempurna dan Ya’juj Ma’juj tidak dapat naik melubangi tembok besi berlapis tembaga itu. Usaha Zulkarnain ini tentu prestisius mengingat bagaimana wujud Ya’juj Ma’juj yang mengerikan. Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan menurut sahabat Ali karramallahu wajhah, mereka memiliki cakar binatang buas menyalak seperti serigala, berbulu lebat, bertelinga besar, dan tidak akan mati hingga mereproduksi seribu keturunan.

Mengamankan diri dari Ya’juj Ma’juj merupakan usaha tersendiri di samping pengembangan tembok besi berlapis tembaga yang tidak dapat mereka panjat dan lubangi. Zulkarnain sudah tidak butuh imbalan akan jasanya. Satu gambaran konkret dalam Alquran tentang kekayaan harta dan jiwa dari seorang manusia.

Baca Juga: Melacak Zulkarnain: Koresh dan Agama Kuno (Bag. 2)

Nabi ﷺ dan Proyek Sosial Kebahagiaan Manusia

Seperti kaya versi Zulkarnain, demikian juga Nabi ﷺ yang berdakwah tanpa mengharap apa pun dari umatnya. Menyebarkan ajaran Alquran meskipun nyawa beliau taruhannya. Yang beliau harap dari kita hanya iman dan amal saleh yang pada akhirnya juga kembali kepada kita kemanfaatannya. Beliau bagikan setiap hartanya untuk memberikan teladan akan pemerataan dan stabilitas ekonomi. Setiap kelas sosial dapat menemukan manisnya keimanan dalam sabar dan syukur.

Di siang yang terik Abdullah bin Umar menemui Nabi Muhammad ﷺ  yang tengah qailulah, istirahat siang. Beliau tertidur dengan hanya beralaskan tikar dari anyaman pelepah kurma hingga tampak jelas bekas garis-garis pada wajah rupawan itu. Tidak sampai hati melihat hal ini, Abdullah mohon izin menawarkan kepada beliau tempat tidur yang lebih layak. Bagaimana mungkin sosok yang diimaninya paling mulia terlihat sedemikian kasihan.

Padahal di sisi lain Nabi ﷺ disebutkan dalam Alquran berhak mendapatkan seperlima dari harta kemenangan pasca perang. Beliau juga pimpinan utama baitul mal. Madinah merupakan daerah yang stabil perekonomian dan pertahanannya, jika mau tentu beliau akan menjadi manusia terkaya di kota tersebut. Menanggapi permohonan Ibn Umar, beliau justru menjawab,

مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا وَالدُّنْيَا ‌إِلَاّ ‌كَرَاكبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمّ رَاح وَتَرَكَهَا

“Bukanlah untukku dan untuk dunia, tidaklah aku berada di dunia kecuali seperti musafir yang berteduh di bawah pohon kemudian meninggalkannya.”

Al-Shan’ani dalam kitab beliau al-Tanwir Syarah al-Jami’ al-Shaghir menjelaskan maksud dari hadis di atas yakni tiada ketertarikan atau kecintaan Nabi saw. terhadap dunia. Al-Shan’ani bahkan mengisahkan tentang Nabi Isa yang mengatakan kepada Hawariyyun, “siapakah di antara kalian yang mampu membangun rumah di atas ombak lautan?” Mereka menjawab, “siapakah yang mampu?” “Kalian dan dunia jangan menjadikannya sebagai tempat tinggal,” jawab Nabi Isa as. Singkatnya demikian pula maksud dari apa yang disampaikan Nabi ﷺ kepada para sahabat beliau.

Apa yang disabdakan Nabi ﷺ kepada Ibn Umar itu bukan pertama kalinya. Hal serupa juga terjadi sebelum beliau hijrah ke Madinah ketika elit Quraisy ingin berdamai dengan beliau. Mereka merasa pengaruh beliau kian tak terbendung. Melalui Utbah bin Rabiah, Nabi ﷺ sempat medapatkan tawaran dijadikan sebagai orang paling kaya di suku Quraisy dan dapat memilih wanita manapun untuk dinikahi.

Tawaran ini ditujukan agar Nabi ﷺ berhenti mengusung diskursus bahwa tiada Tuhan selain Allah, berhenti menyebarkan logika masuk akal yang ‘mengganggu’ stabilitas ekonomi mereka.  Nabi ﷺ tegaskan pada saat itu dengan membacakan Alquran surah Fusshilat ayat satu hingga empat belas, menolak penawaran yang diberikan kepada beliau.

Lantas apa gerangan yang diinginkan Nabi ﷺ? Dari cara beliau menyikapi tawaran tersebut tentu bukan harta pun wanita seperti yang dituduhkan kalangan orientalis. Nyatanya kesempatan untuk meraih keduanya terbuka lebar untuk beliau dan terbukti Nabi ﷺ bukanlah sosok oportunis. Nabi ﷺ diutus menjadi Rasul dengan mega proyek menyampaikan risalah Alquran tanpa sedikit pun mengharapkan keuntungan materil dari kerja keras ini.

Baca Juga: Wahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

Manusia modern mungkin saja beranggapan jika ada orang di masa ini yang tidur hanya beralaskan tikar anyaman tentu dia orang tidak mampu. Bisa jadi karena malas bekerja, bisa jadi juga karena kurang cerdas secara finansial. Bayangkan! Untuk kasur saja tidak terbeli. Betapa sialnya.

Namun beranikah kita menyebut Nabi ﷺ tidak cerdas secara finansial, sementara beliau merupakan bapak dari baitul mal. Atau beranikah kita menyebut Nabi ﷺ pemalas, sementara tiap siang beliau curahkan waktu untuk kemaslahatan umat dan tiap malam beliau doakan kita tanpa henti. Selawat dan salam untuk beliau. Hidup dalam kesederhanaan adalah pilihan Nabi ﷺ sekaligus teladan bagi kita untuk kaya hati.

Sebelum beliau mendakwahkan ayat 26 surah Al-Isra tentang perintah untuk memberi harta kepada orang-orang miskin dan ibn sabil, juga larangan untuk menghambur-hamburkan harta, Nabi ﷺ dapat saja membangun istana beserta segala pernik penampilan mewah untuk menunjukkan wibawa. Namun beliau lebih memilih keindahan dalam kesederhanaan, kepatutan penampilan tanpa berlebih-lebihan. Beliau menyalurkan anugerah dari Allah kepada sesama yang juga membutuhkan. Mengajarkan kepada kita kenikmatan berbagi alih-alih untuk kesenangan ego sendiri.

Barangkali mustahil bagi kita umatnya di masa kini untuk meniru beliau sepenuhnya. Namun apakah kita menyerah dengan keadaan, tak siap dengan kepedihan yang senantiasa menjadi pengiring kesederhanaan. Terlebih di zaman ini ketika seluruh iklan berada dalam genggaman sehingga banyak sekali hal yang kita inginkan. Apakah kita menyerah pada ego diri dan mengorbankan tangisan hati yang memiliki fitrah berbagi. Meskipun tidak sepadan dengan debu yang menempel pada ujung jari Nabi ﷺ, semoga kita tidak putus asa untuk berusaha mengikuti jalan beliau ﷺ.  Wallah a’lam

Muhammad Fathur Rozaq
Muhammad Fathur Rozaq
Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...