BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir DuniaKedudukan Nabi saw dan Wahyu Al-Quran Menurut Malek Bennabi

Kedudukan Nabi saw dan Wahyu Al-Quran Menurut Malek Bennabi

Nabi Muhammad saw adalah sosok sentral untuk memahami fenomena pewahyuan. Kedudukannya ketika menerima wahyu beriringan dengan tahap penyampaian kepada masyarakat Arab. Fenomena penerimaan dan penyampaian wahyu ini diulas dengan unik berbasis analisis psikologis oleh Malek Bennabi dalam karyanya Le Phenomine Coranique.

Kajian mengenai kedudukan Nabi Muhammad saw pada masa pewahyuan diurai oleh Malek Bennabi dengan menganalisis kondisi Nabi ketika menerima wahyu pertama dan redaksi ayat Al-Qur’an. Memang, beberapa ulama atau sarjana sebelumnya telah menyinggung keadaan Nabi Muhammad saw, tetapi pembacaan berbasis psikologis ini menjadikan kajian Malek Bennabi penting diungkap.

Tulisan ini akan memaparkan kajian Malek Bennabi tersebut. Hal ini untuk mengimbangi wacana yang tersebar tentang keraguan Al-Qur’an sebagai Kalamullah. Penulis menilai bahwa kajian Malek Bennabi akan memberi pemahaman baru terkait kedudukan Nabi Muhammad SAW dan otentisitas Al-Qur’an. Ini penting, karena yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah Kalam Tuhan.

Sekilas tentang Malek Bennabi dan Bukunya

Malek Bennabi dilahirkan pada 28 Januari 1905 di Constantine, Aljazair. Ia termasuk sarjana Islam yang kuliah di Perancis pada 1930 dan pada tahun 1954-1962 melanjutkan perjalanan intelektualnya di Mesir.

Baca Juga: Mengenal Abdullah Yusuf Ali dan Tafsir The Holy Qur’an

Malek Bennabi merupakan sarjana Islam yang banyak membela kajian Islam dan banyak mengkritik kajian orientalis, yang dilakukannya sebelum Edward Said. Ia wafat pada 31 Oktober 1973 di Aljir, Aljazair.

Buku Le Phenomine Coranique adalah buku pertamanya yang banyak berpengaruh di kalangan umat Islam. Buku yang kita terima saat ini merupakan hasil tulisan beliau, yang terbit pada 1946, karena sebelumnya hancur akibat serangan udara, pada masa-masa Perang Dunia II.

Buku ini diterjemahkan ke versi bahasa Arab dengan judul Al-Zhahirah Al-Qur’an, dan juga diterjemahkan dalam versi bahasa Indonesia dengan judul Fenomena Al-Qur’an. Buku Le Phenomine Coranique ini membahas tentang landasan metodologis dan filosofis sekaligus, yang kelak banyak mempengaruhi kajian-kajian selanjutnya.

Nabi Muhammad SAW ketika Menerima Wahyu

Dalam bukunya, Malek Bennabi terlebih dahulu mengungkap narasi penerimaan wahyu pertama, tepatnya ketika Nabi Muhammad SAW telah beberapa kali bertahannus setiap Ramadhan di gua Hira. Sebagaimana umum diinformasikan dari berbagai riwayat yang sahih bahwa Nabi Muhammad SAW didatangi oleh Malaikat Jibril lalu mengatakan “bacalah!”.

Saat itu Muhammad saw hanya menjawab “Aku tidak dapat membaca”. Keadaan ini terulang sebanyak tiga kali, hingga Nabi saw merasa kesusahan. Malaikat Jibril kemudian memerintahkan kembali yang kemudian dibacakanlah surah Al-‘Alaq: 1-5 sebagai wahyu Pertama. Turunnya wahyu ini menjadi penanda Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul.

Dalam konteks ini, Malek Bennabi menilai bahwa dialog Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad saw di atas unik, terlebih karena itu terjadi sebagai pembuka era baru –era kenabian Muhammad. Malek Bennabi mengatakan bahwa dialog tersebut merupakan dialog satu-satunya yang historis positif antara Nabi dan Malaikat. Di sini, muncul persoalan “Apakah ini kejadian berupa halusinasi dan kekacauan pikiran?”

Malek Bennabi mengatakan bahwa disebut sebagai halusinasi dan kekacauan pikiran ketika kejadian tersebut dalam awal atau akhir tidur. Kekacauan yang terjadi di awal tidur disebut sebagai Haypnogogic, yakni “keadaan antara tidur dan sadar”. Dan Kekacauan yang terjadi di akhir tidur atau tersadar dari tidur disebut Hypnopompic, yakni “keadaan antara tidur dan sadar”.

Dari sini, Malek Bennabi dengan berdasar pada ilmu psikologi medis mengatakan bahwa keadaan Haypnogogic atau Hypnopompic tidak mengenai orang-orang yang normal (fisik dan psikologinya), sebagaimana yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW di atas. Terlebih lagi kejadian Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Jibril tersebut berulang sebanyak tiga kali. Sehingga, kejadian tersebut benar-benar (secara ilmiah –psikologi) terjadi dan nyata.

Nabi Muhammad saw ketika Menyampaikan Wahyu

Sejak awal dialog dalam pewahyuan di atas memerankan Nabi Muhammad SAW sebagai orang kedua tunggal atau orang yang diajak bicara. Penempatan ini mengindikasikan bahwa Nabi saw bersifat pasif dan hanya menyampaikan wahyu dari Tuhan yang berbicara dengan menggunakan kata ganti pertama (Aku, Kami). Nabi Muhammad saw di sini disebut ummi dalam pengertian tidak dapat baca-tulis.

Malek Bennabi pertama-tama mengajukan pertanyaan bahwa apakah wahyu dari Tuhan kepada Nabi saw dapat berpadu secara psikologis dalam satu pribadi, yaitu pribadi Nabi saw? Malek Bennabi menjawabnya secara panjang yang kira-kira dapat diringkas dengan jawaban bahwa ke-ummi-an Nabi saw menjadi keadaan penting dan logis berpadunya wahyu dalam diri pribadinya.

Sehingga, ketika Tuhan berbicara dalam bentuk wahyu kepadanya, maka cara terbaik bagi Nabi Muhammad saw sebagai orang yang ummi adalah berdiam. Di sini, Malek Bennabi mengatakan bahwa berdiamnya Nabi Muhammad saw menunjukkan kesadaran definitif selama fenomena pewahyuan. Nabi saw tidak akan menjawab, mengoreksi, apalagi menolak apa yang diwahyukan kepadanya.

Baca Juga: Biografi Mahmud Syaltut: Tokoh Perintis Penerapan Tafsir Tematis

Sikap Pasif Nabi Muhammad saw ini diperkuat oleh adanya ayat Al-Qur’an yang secara sepintas lalu mengandung kesan yang aneh, yang karenanya menarik diperhatikan, yakni QS. Yusuf: 22. Malek Bennabi mengatakan bahwa ‘menyimpang’nya dari kaidah bahasa yang lazim ditemui di kalangan bangsa Arab inilah yang menjadikan wahyu (QS. Yusuf:22) tersebut benar-benar dari Allah SWT, bukan dari Nabi Muhammad saw. Sekiranya itu dari Nabi Muhammad SAW, maka ia segera memperbaikinya.

Sampai di sini, peran Nabi Muhammad SAW ketika menerima dan menyampaikan wahyu, dalam argumentasi psikologis Malek Bennabi, dapat dikatakan pasif. Wahyu yang disampaikan benar-benar diterima sepenuhnya oleh Nabi Muhammad SAW, dan disampaikannya apa adanya kepada masyarakat Arab saat itu. Sehingga, Al-Qur’an benar-benar otentik dari Allah SWT. [] Wallahu A’lam.

Muhammad Alwi HS
Muhammad Alwi HS
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Konsentrasi Studi Al-Quran dan Hadis.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU