Ada satu hal yang luput dalam diri penulis ketika menulis biografi Roem Rowi, yaitu tidak menyebutkan judul disertasinya ketika menempuh jenjang doktoral di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Setelah menelusuri dari beberapa sumber, diketahui bahwa Roem Rowi menulis disertasi dengan judul Hamka wa Juhūduhū fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm bi Indunisiyya fi Kitābihi al-Azhar (1989).
Tentu sudah banyak peneliti—baik luar maupun dalam negeri—yang telah mengkaji Tafsir Al-Azhar. Beberapa nama seperti Karel Steenbink, Howard Federspiel, Yunan Yusuf, dan Wan Sabri Wan Yusof termasuk para peneliti awal yang mengkaji pemikiran Hamka dan tafsirnya. Wan Sabri termasuk pengkaji Hamka tulen karena dia menulis disertasinya di Temple University dengan judul “Hamka’s Tafsir Al-Azhar: Qur’anic Exegesis as A Mirror of Social Change” (1997).
Melalui disertasi tersebut, Wan Sabri berkesimpulan bahwa Tafsir al-Azhar adalah cermin perubahan sosial: pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan Indonesia. Semua persoalan tersebut digunakan untuk mengontekstualisasikan makna ayat-ayat Alquran agar lebih dipahami dan dikait-kaitkan dengan masyarakat Melayu-Indonesia yang kurang menguasai bahasa Arab. Dengan kata lain, Hamka mampu membumikan (mempribumikan) makna Alquran agar sesuai dengan pengalaman bangsa Indonesia.”
Jika dikomparasikan dengan karya Wan Sabri, disertasi Roem Rowi berusia lebih tua dan bisa jadi termasuk karya paling awal yang mengkaji Tafsir Al-Azhar secara serius melalui jalur dunia akademik. Nah, menarik kiranya untuk mengulas tentang bagaimana kesimpulan Roem Rowi terhadap Tafsir Al-Azhar karya Hamka? Apakah sama dengan kesimpulan Wan Sabri atau justru berbeda?
Dalam proses penulisan artikel ini, penulis tidak memiliki akses terhadap file atau naskah utuh disertasi Roem Rowi. Namun, setidaknya terdapat ringkasan dari disertasi tersebut yang telah diterbitkan oleh Journal of Indonesian Islam Vol. 3 No. 2 tahun 2009 dengan judul yang sama yaitu, “Hamka wa Juhūduhū fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm bi Indunisiyya fi Kitābihi al-Azhar”. Artikel jurnal inilah yang penulis jadikan sebagai sumber primer dalam mengulas pandangan Roem Rowi terhadap Tafsir Al-Azhar karya Hamka.
Baca Juga: Signifikansi “Asbab an-Nuzul” Menurut Roem Rowi
Mengapa Hamka Menulis Tafsir Al-Azhar?
Embrio kemunculan Tafsir Al-Azhar berangkat dari kajian rutinan tafsir setelah subuh yang diasuh oleh Hamka di Masjid Agung Kebayoran, Jakarta. Pada tahun 1960-an, Rektor Universitas Al-Azhar, yaitu Mahmud Syaltut berkunjung ke Indonesia dan menyampaikan ceramah di masjid tersebut. Merasa takjub dengan kemegahan arsitektur masjid, Mahmud Syaltut kemudian mengusulkan nama “Al-Azhar” sebagai ganti nama Masjid Agung Kebayoran. Usulan tersebut disetujui dan akhirnya berganti nama menjadi Masjid Al-Azhar.
Proses peralihan nama masjid tempat Hamka mendaras tafsir Alquran inilah yang kemudian dijadikan inspirasi untuk menamai karya tafsirnya dengan judul “Tafsir al-Azhar.” Selain itu, penamaan Tafsir al-Azhar juga sebagai wujud terima kasih Hamka terhadap Universitas Al-Azhar yang telah memberinya gelar kehormatan Doktor Honoris Causa pada tahun 1958.
Menurut keyakinan Roem Rowi, sebetulnya Hamka tidak berniat untuk kajian rutin tafsir Alquran secara lengkap 30 juz. Keyakinan ini dilandaskan berdasarkan dua alasan, yaitu: pertama, Hamka memulai kajian tafsirnya tidak dari juz 1, tetapi mulai dari juz 18 dan 19—dalam sumber lain dimulai dari Q.S. al-Kahfi juz 15—sebagaimana dipublikasikan dalam Majalah Gema Islam (1962-1964); kedua, jika diukur dari kesibukan Hamka yang luar biasa padat, seharusnya dia tidak mempunyai kesempatan waktu longgar untuk menyelesaikan karya tafsir Alquran lengkap 30 juz walaupun sampai durasi waktu 20 tahun atau bahkan hingga dia wafat.
Namun pada akhirnya, Hamka berhasil juga menyelesaikan karya tafsir Alquran secara lengkap 30 juz. Beberapa faktor penyemangat Hamka untuk menyelesaikan karya tafsirnya antara lain (1) dia merasa berutang budi kepada orang-orang yang telah berjasa besar terhadap dirinya, seperti Abdul Karim Amrullah (ayah), Siti Safiyah (ibu), A. R. Sutan Mansur (kakak ipar), dan Siti Raham (istri); (2) antusiasme kelompok pemuda Indonesia dan wilayah Melayu yang ingin memahami Alquran namun minim kemampuan bahasa Arab; (3) sebagai media dakwah Alquran; dan (4) sebagai balas budi atas penghargaan yang telah diberikan oleh Universitas Al-Azhar. Berdiamnya Hamka di penjara selama 2 tahunan akibat rezim orde lama, mungkin juga bisa menjadi faktor lain ia bisa fokus menyelesaikan tafsirnya.
Baca Juga: Tafsir al-Azhar dan Kategorisasi Tafsir Modern
Keistimewaan Tafsir Al-Azhar
Menurut Roem Rowi, salah satu keistimewaan Tafsir Al-Azhar adalah karena Hamka menggabungkan nalar bayani (naql) dan nalar burhani (‘aql) dalam proses penafsiran ayat-ayat Alquran. Ketika bersentuhan dengan ayat-ayat ahkam, dia tidak fanatik terhadap suatu mazhab fikih tertentu. Hamka juga meminimalisir penggunaan israiliyyat dalam menjelaskan ayat-ayat qasas.
Terkait sumber tafsir, Hamka banyak mengutip kitab-kitab tafsir, akan tetapi dia lebih banyak dipengaruhi oleh Tafsir al-Manar dan pemikiran-pemikiran Abduh. Hal ini sangatlah beralasan, karena ayahnya (Abdul Karim Amrullah) sendiri merupakan seorang ulama reformis yang mendirikan Majalah Al-Munir, mirip dengan Majalah Al-Manar milik Rasyid Ridha.
Kemudian, dari segi muatan isi tafsirnya, gaya bahasa penafsiran yang digunakan oleh Hamka mudah dipahami oleh kalangan awam sekalipun. Hamka juga seringkali mengkontekstualisasikan ayat Alquran sesuai dengan problematika sosial masyarakat yang sedang terjadi.
Misalnya, ketika menjelaskan Q.S. al-Baqarah [2]: 62, Hamka menekankan arti pentingnya hidup toleran, saling bertenggang rasa, dan damai antar umat beragama, yang pada saat bersamaan dia mengkritik keras sikap fanatisme beragama. Hal ini menjadikan Alquran benar-benar hadir sebagai solusi atas permasalahaan umat melalui Tafsir Al-Azhar.
Terakhir, keistimewaan lain yang menjadi daya tarik Tafsir Al-Azhar adalah keluasan sumber rujukan tafsir. Hamka tidak hanya mengutip kitab-kitab tafsir karangan ulama Timur Tengah, akan tetapi ia juga banyak merujuk pada pendapat-pendapat para mufasir lokal Indonesia, seperti Zainuddin Hamidy, A. R. Fachruddin, dan A. Hassan.
Hamka juga banyak mengutip pandangan atau teori dari para ilmuwan Barat secara apresiatif-kritis. Di satu sisi dia mengkritik pemikiran orientalis yang menyudutkan Alquran dan Islam. Namun, di sisi lain, dia juga mengadopsi sains modern dalam menjelaskan ayat-ayat kauniyah.
Misalnya ketika menafsirkan Q.S. Yasin [36]: 37-40, Hamka menjabarkan proses pergantian siang dan malam sebagai bukti bahwa Bumi itu bulat dan mengorbit mengitari Matahari, sebagaimana dalam teori heliosentris.
Berdasarkan berbagai kelebihan dan keistimewaan tersebut, maka Roem Rowi mengakhiri tulisannya dengan memandang Tafsir Al-Azhar sebagai sebuah kitab tafsir yang menempati posisi istimewa di antara karya para mufasir Indonesia yang lain. Tafsir Al-Azhar juga dianggap Roem Rowi sebagai kitab tafsir komprehensif terbaik yang pernah ada di Indonesia, yang kehadirannya berperan besar dalam membumikan Alquran bagi masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, pandangan Roem Rowi terhadap Tafsir Al-Azhar kurang lebih hampir sama dengan kesimpulan Wan Sabri Wan Yusof. Tentu tulisan ini sama sekali belum mewakili keseluruhan isi disertasi Roem Rowi, akibat keterbatasan akses terhadap sumber primer. Namun setidaknya artikel pendek ini dapat memberi sedikit gambaran mengenai topik disertasi yang ditulis oleh Roem Rowi. Wallah A’lam