Memiliki keluarga yang rukun, tentram, dan damai merupakan dambaan semua orang. Terlebih ketika seluruh anggota keluarga adalah orang-orang yang taat beribadah kepada Allah Swt. yang menjadikan mereka mulia di sisi-Nya. Namun hal ini bukan perkara mudah, melainkan perlu perjuangan, kesabaran, dan kegigihan dalam mendidik setiap anggota keluarga.
Dewasa ini, segelintir orang menjadikan standar kebahagiaan dalam keluarga hanya pada kesenangan duniawi dan kemegahan materi. Tujuan ukhrawi pun kadang dikesampingkan untuk mencapai kenikmatan duniawi yang diagung-agungkan.
Hal lain misalnya terkait keturunan. Ketika suatu keluarga tidak dikaruniai anak, terkadang suami dan istri saling menyalahkan, menuduh mandul, dan sebagainya, sehingga membuat keretakan dalam rumah tangga. Padahal perselisihan tersebut hanyalah wujud egoisme masing-masing pihak.
Sejatinya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat dibentuk ketika seluruh anggota keluarga memusatkan perhatiannya kepada Allah Swt. Maksudnya adalah ketika orang-orang yang ada di rumah menjadikan aspek ukhrawi sebagai standar hidup, maka segala keadaan akan diterima dengan lapang dada tanpa harus menghalalkan segala cara untuk memenuhi nafsu dunia.
Baca juga: Kisah Keluarga ‘Imran: Belajar Dari Keluarga Yang Dipilih Allah
Kisah Keluarga ‘Imran dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sesungguhnya telah menampilkan potret keluarga harmonis, yakni keluarga ‘Imran yang dinilai sebagai keluarga pilihan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 33-34 sebagai berikut.
۞إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰٓ ءَادَمَ وَنُوحٗا وَءَالَ إِبۡرَٰهِيمَ وَءَالَ عِمۡرَٰنَ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ ذُرِّيَّةَۢ بَعۡضُهَا مِنۢ بَعۡضٖۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Terjemah: “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing) (sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali-‘Imran [3]: 33-34).
Ibnu Katsir dalam Lubab al-Tafsir menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Allah Swt. telah memilih beberapa keluarga atas keluarga lainnya di belahan bumi ini. Dia memilih keluarga Adam yang telah diciptakan-Nya dan ditiupkan ruh kepadanya. Kemudian Allah memilih Nuh dan menjadikannya rasul dan menimpakan azab kepada umatnya yang tidak beriman.
Allah juga memilih keluarga Ibrahim yang di antara keluarganya adalah Rasulullah sebagai manusia paling mulia. Selanjutnya Allah juga memilih keluarga ‘Imran, yakni ayah dari Siti Maryam yang merupakan kakek dari Nabi Isa a.s. Begitu mulianya keluarga ‘Imran ini sehingga Allah sebutkan dan jadikan salah satu nama surah dalam al-Qur’an.
Dikisahkan bahwa keluarga ‘Imran pada mulanya tidak dikaruniai anak hingga mereka berusia lanjut. ‘Imran dan istrinya sangat bersedih dan memohon kepada Allah untuk diberikan keturunan. Tidak disangka-sangka, Allah pun mengabulkan permohonan mereka. Istri ‘Imran mengandung, meski usianya telah lanjut.
Istri ‘Imran kemudian bernazar kelak jika anak mereka lahir akan diabdikan untuk Allah Swt. di Baitul Maqdis atau sekarang kita kenal dengan Masjidil Aqsa. Hal ini diabadikan dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 35 sebagai berikut.
إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٰنَ رَبِّ إِنِّي نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِي بَطۡنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلۡ مِنِّيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ
Terjemah: “(Ingatlah), ketika istri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Ali ‘Imran [3]: 35).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa istri ‘Imran bernama Hannah binti Faqudz. Ia merupakan wanita yang belum pernah hamil. Suatu hari ia melihat seekor burung memberi makan anak-anaknya, maka ia pun ingin mendapatkan anak. Lalu ia berdoa kepada Allah agar memberinya seorang anak.
Allah pun mengabulkan doanya. Setelah benar-benar hamil ia bernadzar kepada Allah agar anaknya kelak menjadi anak yang ikhlas dalam beribadah. Ia kemudian berjanji untuk mengabdikan anaknya kepada Allah dengan terus berkhidmat kepada-Nya di Baitul Maqdis.
Imam al-Qurthubi juga menjelaskan bahwa Allah memilih keluarga ‘Imran ketika istrinya berkata tentang nadzarnya kepada Allah untuk mengabdikan anaknya kelak di Baitul Maqdis. Nadzar dimaknai sebagai suatu kewajiban atas seorang hamba yang diwajibkan oleh dirinya sendiri untuk dilakukan. Maka ketika anak ‘Imran lahir, yaitu Siti Maryam, nadzar itu kemudian ditunaikan.
Wahbah Al-Zuhaili menambahkan, tatkala bayi yang dilahirkan adalah perempuan, istri ‘lmran merasa bersedih dan berkata, “Sesungguhnya saya melahirkan anak perempuan.” Kesedihan ini dikarenakan anak yang dinadzarkan untuk berkhidmah di Baitul Maqdis seharusnya adalah anak laki-laki, karena anak perempuan mengalami datang bulan dan melahirkan. Oleh karena itu, tidak cocok untuk melakukan tugas tersebut.
Namun, Allah Swt. Maha Tahu apa yang ia berikan kepada keluarga ‘Imran. Hal ini mengandung sebuah bentuk pengagungan dan penghormatan terhadap kedudukan dan peran wanita. Anak laki-laki yang mereka harapkan tidak sama dengan anak perempuan dalam hal durasi dan kesempatan beribadah dan berkhidmah di Masjid al-Aqsha. Akan tetapi, anak perempuan yang istri ‘Imran lahirkan ternyata lebih baik dari pada anak laki-laki yang sebelumnya ia harapkan.
Baca juga: Kisah Keluarga ‘Imran (Bag. 2): Nabi Zakariya dan Pengasuhan atas Maryam
Ibrah Ayat
Melalui ayat di atas, terdapat beberapa pelajaran yang dapat diambil, yaitu:
Pertama, keluarga ‘Imran sebagai potret keluarga harmonis ditunjukkan oleh Allah melalui ketaatan keduanya kepada-Nya. Artinya, ‘Imran dan istrinya memiliki visi yang sama. Hal ini terbukti ketika mereka tidak dikarunia ketururunan oleh Allah, mereka selalu memohon dan tidak pernah letih untuk bermunajat kepada Allah Swt. Gambaran dalam keluarga ideal yang tidak saling menyalahkan satu sama lain perihal terhambatnya keturunan tetapi senantiasanya menyerahkannya kepada Allah.
Kedua, istri ‘Imran yang telah mengandung selalu mengharapkan kebaikan untuk anaknya dan bahkan bernadzar kepada Allah untuk menjadikan anaknya kelak sebagai abdillah yang sangat taat. Hal ini memberi pelajaran bahwa ketika sedang hamil, seorang ibu semestinya lebih dekat dengan pencipta-Nya dan mengharapkan anaknya kelak untuk menjadi anak yang berada pada jalan Allah.
Ketiga, ketika suami dan istri senantiasa sabar dalam menghadapi kemelut ujian kehidupan, maka akan dihadiahkan sesuatu yang besar oleh Allah Swt. Buktinya, ‘Imran dan istrinya dianugerahi Allah Siti Maryam dan seorang cucu Nabi Isa a.s. hingga menjadikan keluarganya sebagai keluarga spesial dalam al-Qur’an.
Simpulan
Potret keluarga yang didambakan adalah keluarga yang bisa saling memahami kekurangan dan mengorientasikan hidupnya kepada Allah Swt. Begitu pula dalam mencita-citakan anak yang semestinya bukan untuk tujuan duniawi belaka melainkan juga untuk tujuan ukhrawi. Semua itu dapat tercapai ketika masing-masing dapat bersabar dan tidak saling menuntut. Pada akhirnya, suami dan istri semestinya dapat bersinergi untuk membangun keluarga ideal yang meghadirkan sakidah, mawaddah, warahmah. Wallahu a’lam.
Baca juga: Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Ar-Rum Ayat 21