BerandaTafsir TematikKenali Tiga Fitrah Manusia dalam Al-Quran, Jalan Menuju Kedamaian

Kenali Tiga Fitrah Manusia dalam Al-Quran, Jalan Menuju Kedamaian

Secara khusus, tulisan yang anda baca kali ini akan memaparkan tiga konstruksi fitrah manusia dalam Al-Quran, berdasar buku Prof. Imam Taufiq yang berjudul “Al-Quran Bukan Kitab Teror. Ia merupakan guru besar tafsir sekaligus Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.

Buku Imam Taufiq tersebut menjelaskan wajah Islam yang damai merujuk pada penafsiran Al-Quran dari para mufasir klasik hingga kontemporer. Buku tersebut juga menggambarkan nilai kedamaian dalam sendi-sendi kehidupan sosok Muhammad sebagai uswah al-hasanah.

Makna Fitrah dan Damai

Fitrah, secara bahasa terambil dari faṭara-yafṭuru-faṭran yang berarti memegang dengan erat, memecah, atau membelah. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran mendefinisikan fitrah dengan suatu sistem yang Allah wujudkan untuk makhluk-Nya. Dan bagi manusia, fitrahnya berkaitan dengan jasad dan roh. 

Quraish Shihab menambahkan bahwa fitrah juga bisa diartikan penciptaan. Contohnya, fāṭir as-samāwāt wa al-arḍ (QS. asy-Syūrā[42]: 11). Artinya, (Allah) Pencipta langit dan bumi. Selain itu, fitrah memiliki kemiripan dengan kata ṭaba’a atau ṭabi’ah yang memiliki arti kecenderungan alami (bawaan) sejak dari lahir (Al-Quran Bukan Kitab Teror, 56)

Sementara damai, merupakan cerminan atas terkelolanya sebuah konflik. Damai bukan sekedar tidak adanya peperangan. Lebih dari itu, damai berjangka waktu panjang, bersifat dinamis dan partisipatif. Inilah yang kemudian disebut sebagai damai sejati atau damai positif. (Al-Quran Bukan Kitab Teror, 32)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fath Ayat 1-3: Kunci Kemenangan Ada pada Perdamaian

Tiga Konstruksi Fitrah Manusia dalam Al-Quran

Imam Taufiq dalam bukunya tersebut menerangkan tiga konstruksi (bangunan) kecenderungan atau fitrah manusia dalam Al-Quran.

Pertama, fitrah keagamaan yang menyatu dalam diri manusia, sebagaimana dalam QS. ar-Rūm[30]: 30

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ – ٣٠

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menunjukkan makna fitrah tentang keesaan Allah yang tertanam pada manusia. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa agama (Islam) adalah tuntunan bagi fitrah yang tidak bisa diganti oleh manusia. Fitrah keagamaan akan tetap melekat pada jiwa-jiwa manusia, sekalipun diabaikan atau tidak diakui. (Tafsir al-Misbah, v. 11)

Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran al-Azim memaknai fitrah dengan mengakui ke-Esaan Allah. Menurutnya, manusia sejak lahir membawa ketauhidan atau setidaknya selalu berusaha mencapai pentauhidan terhadap Tuhannya.

Imam Taufiq menjelaskan, antara fitrah agama dan fitrah jiwa saling berkaitan dan berjalan saling beriringan. Manusia terlahir dalam fitrah ketuhanan dan keimanan terhadap Allah. Maka ketika fitrah jiwa manusia terjaga dengan baik, berarti ia dalam koridor fitrah keagamaan. Agama yang mengajarkan konsep perdamaian, akan bersinergis dengan jiwa manusia, yang pada gilirannya mendorong jiwa manusia melakukan proses perdamaian.

Ibnu Mubarak, seperti yang dikutip Imam Taufiq, cenderung memaknai fitrah manusia sebagai sesuatu yang determinatif. Dalam arti, fitrah merupakan kehendak Tuhan sepenuhnya. Iman dan kafir menjadi ketetapan Allah.

Al-Qurthubi dalam al-Jāmi’ li Ahkam Al-Quran, menambahkan, ketetapan manusia bergantung pada asal kejadiannya. Ketika awal ketetapan Tuhan baik, maka akan baik pula akhirnya. Sebaliknya, ketika awal ketetapan-Nya sesat, orang tersebut akan sesat,  meskipun prosesnya berupa kebaikan.

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 30: Agama Sebagai Fitrah Manusia

Fitrah manusia dalam Al-Quran yang kedua, terjadi ketika manusia dalam masa konsepsi yaitu sebelum ia dilahirkan. Ketika masa ini, ada ikatan perjanjian sekaligus persaksian antara Tuhan dan manusia. Dialog di antara keduanya terekam dalam QS. al-A’raf [7]: 172 dengan terjemahan seperti berikut

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi….” (QS. al-A’raf[7]: 172)

Hamka menafsirkan ayat ini bahwa pengakuan atas Maha Pencipta, Allah swt. adalah fitri (bawaan) manusia. Fitrah tersebut tumbuh bersamaan dengan akal, bahkan dikatakan tumbuh-kembangnya akal juga dipengaruhi fitrah manusia tersebut.

Adapun karakter manusia terkait persakisannya, Imam Taufiq menjabarkan  menjadi dua kategori. Pertama, manusia yang sempat lupa dengan persaksian yang diikrarkan, kemudian mengingatnya (sadar) dan kembali ke jalan fitrah. Kedua, manusia yang tidak menghiraukan persaksiannya, sekalipun telah diberikan peringatan berkali-kali. Seperti dalam firman Allah, “Dan apabila mereka diperingatkan, mereka tidak mengingatnya.(QS. aṣ-Ṣāffāt[37]: 13).

Nabi Muhammad, sebagai utusan Allah juga memiliki tugas untuk memberi peringatan. Hal ini termaktub dalam QS. al-Ghāsyiyah [88]: 21.

“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan”

Baca Juga: Surat Ar-Rum [30] Ayat 30: Mengesakan Allah SWT adalah Fitrah Manusia

Fitrah manusia dalam Al-Quran yang ketiga adalah melihat entitas jasmani manusia sebagai ciptaan Allah yang tersusun dari saripati tanah dan spiritnya berupa roh yang merupakan manifestasi dari Allah. Dua unsur yang membentuk manusia bisa kita cermati dalam QS. al-Hijr [15]:28-29 berikut:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ ٢٨ فَاِذَا سَوَّيْتُه وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهُ سٰجِدِيْنَ – ٢٩

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.(28)Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”(29)

Mengutip dari Ali Syariati dalam On the Sociology of Islam, Imam Taufiq menerangkan bahwa tubuh manusia diciptakan dari tanah yang merupakan simbol kerendahan. Sehingga, tanah memiliki sifat yang materialis dan fana (tak abadi). Sedangkan roh adalah sesuatu yang suci yang bersifat imateril, kejiwaan, dan spiritual dan kekal. Dengan demikian, manusia merupakan makhluk ganda yang terdiri dari tanah dan roh.

Sayyid Qutb melalui Tafsir fi Zilal Al-Quran mengatakan, manusia tercipta dari sulalah (tanah liat kering) dan roh. Keberadaan roh dalam diri manusia tersebut yang memberikan keistimewaan tersendiri bagi manusia daripada makhluk lain. Dengan roh pula manusia mampu berkomunikasi dengan Tuhannya, mampu melampaui batas materi yang dicapai oleh panca indera sebagai sifat dari jasmani.

Sayyid Qutb menambahkan, kedua unsur tersebut tidak bisa dipisahkan. Kesempurnaan manusia akan terbentuk ketika keduanya berjalan seimbang (tawazun). Tidak menegasikan salah satu di antara keduanya.

Fitrah penciptaan manusia tersebut kemudian mampu membawa pada aktivitas yang dilakukan dengan pertimbangan akal dan dan tuntutan wahyu yang dinalar melalui akal dan diterima secara baik oleh roh yang bersifat spiritual.

Baca Juga: Surat Al-Araf Ayat 172: Perjanjian Manusia dengan Tuhan

Dari Fitrah Menuju Damai

Manusia yang telah memiliki kesadaran pengetahuan tentang keesaan dan keagamaan, termasuk dalam persaksiannya di masa konsepsi serta atas dasar penciptaan yang sama, mampu berjalan dalam koridor syariat yang menjunjung nilai-nilai perdamaian.

Adapun perbedaan suku, ras, budaya,  adat istiadat, hingga karakter seperti dalam QS. al-Ḥujurāt [49]: 13, dalam pandangan Imam Taufiq, bukanlah sebuah alasan untuk dijadikan konflik dan perpecahan. Karena semua perbedaan tersebut, berasal dari asal yang satu (QS. an-Nisa’ [4]: 10).

Sementara barometer kualitas manusia ada pada kadar ketakwaannya. Sebaliknya, perbedaan tersebut dapat menjadi jalinan kebermanfaatan dan menciptakan kedamaian dalam kehidupan. Wallahu A’lam

M. Badruz Zaman
M. Badruz Zaman
Mahasantri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo, Semarang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

0
Tema tentang Isrāīliyyāt ini sangat penting untuk dibahas, karena banyaknya riwayat-riwayat Isrāīliyyāt dalam beberapa kitab tafsir. Hal ini perlu dikaji secara kritis karena riwayat ...