Kenapa Disunnahkan Membaca Ta’awwudz?

altanwer.com

Mengucapkan ta’awwudz atau isti’adzah disunahkan sebelum membaca Alquran. Oleh karena itu, umat Islam hampir selalu mengucapkannya tiap kali akan memulai bacaan Alquran. Namun tidak banyak yang mengetahui dasar kesunahan praktik ini dan hal-hal lain yang terkait dengannya. Untuk itu, tulisan ini akan membahas hal tersebut lebih lanjut.

Dasar kesunahan ta’awuz adalah QS. An-Nahl ayat 98 yang berbunyi sebagai berikut:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Apabila kamu akan membaca Alquran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.

Ibn ‘Ashur dalam tafsirnya menyatakan bahwa meskipun kata qara’ta berwazan fiil madhi, namun di sini ia bermakna seperti fi’il mudhari’, yakni menunjukkan makna ingin melakukan sesuatu. Sehingga yang dimaksud dengan ungkapan iza qara’ta al-Qur’an… ialah, “Apabila kamu hendak membaca Alquran…”.

Peralihan makna ini menurut Ibn ‘Ashur biasa digunakan dalam Alquran. Selain pada ayat ini, dapat pula dilihat ketika Allah memerintahkan orang yang ingin mendirikan salat supaya bersuci sebelumnya, diksi yang dipakai juga berwazan fi’il madhi, yaitu iza qumtum ila al-salah faghsilu wujuhakum … (QS. Al-Maidah: 6).

Meskipun demikian, beberapa ulama seperti al-Nakh’i, Ibn Sirin, Daud az-Zahiri dan Abu Hurairah tetap mempertahankan makna lahiriah ayat. Mereka menempatkan bacaan ta’awwuz seusai membaca Alquran.

Adapun damir mukhatab (kata ganti orang kedua) pada ayat ini merujuk pada sosok Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi menurut para ulama, apa yang ditujukan kepada diri Nabi Muhammad dalam banyak kasus sesungguhnya juga dimaksudkan kepada umatnya, salah satunya perintah ta’awuz di sini di mana ia turut berlaku untuk seluruh umat Islam. Demikian sebagaimana yang dijelaskan oleh ar-Razi.

Menurut M. Ali al-Sabuni, kata ar-rajim yang berwazan fa’il bermakna isim maf’ul, yaitu al-marjum yang berarti “sesuatu yang terkutuk”. Ini sebagaimana kata kahil dalam ungkapan ‘ain kahil yang berarti “mata yang terpakaikan celak”. Setan disebut al-rajim karena ia terkutuk, terlaknat dan dijauhkan dari rahmat Allah Swt.

At-Tabari dalam kitab tafsirnya meriwayatkan kesepakatan ulama bahwa perintah ta’awwuz pada An-Nahl: 98 di atas masih sebatas anjuran (sunah), belum sampai pada tingkatan wajib.

Kesunahan ini berlaku pada setiap kali akan memulai bacaan Alquran, utamanya ketika sedang dalam salat. Hanya saja ketika dalam salat, tidak disyariatkan membaca ta’awwuz dengan lantang baik salat tersebut dilaksanakan di waktu siang maupun di malam hari.

Lafaz ta’awwuz sendiri yang populer digunakan ialah yang berbunyi seperti ayat di atas yaitu, a’uzu billah min al-shaitan al-rajim (Aku berlindung pada Allah dari setan yang terkutuk). Selain itu dikenal pula versi lain seperti a’uzu billah al-sami’ al-‘alim min al-shaitan ar-rajim (Aku berlindung pada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk).

Ada beberapa hikmah dari disyariatkannya ta’awwuz sebelum membaca Alquran. Di antaranya supaya pembaca dapat lebih siap dan konsentrasi dalam membaca Alquran. Bacaan ta’awwuz berperan sebagai pintu masuk yang memisahkan ibadah baca Alquran dengan aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan sebelumnya.

Melalui ta’awwuz, pembaca meminta bantuan pada Allah supaya menjaganya dari gangguan setan yang terkutuk, sehingga ia dapat membaca Alquran dengan benar dan khusyuk serta mampu memahami, merenungi dan menghayati pesan-pesan yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dengan baik.