Manusia sebagai makhluk sosial memiliki berbagai macam hasrat dan keinginan dalam hidupnya. Hasrat dan keinginan ini bila tidak dipandu dengan akal yang jernih dan ajaran agama yang luhur dapat menimbulkan keserakahan, kerakusan, ketidakpuasan berlebihan dan hal-hal lain yang dapat merusak bahkan melenyapkan eksistensi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, manusia harus menyadari pentingnya keseimbangan hidup, baik dalam mewujudkan hasrat maupun melenyapkannya.
Islam sebagai agama yang komprehensif turut mengatur tentang keseimbangan hidup. Ada banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang mengajarkan pentingnya keseimbangan hidup di Dunia. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “bukanlah orang yang paling baik diantara-kamu orang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar dunia-hingga ia dapat memadukan keduanya (dunia dan akhirat). Janganlah kamu menjadi beban orang lain.” (Hadis riwayat Ibnu Asakir dari Anas bin Malik)
Hadis di atas mengajarkan bahwa seseorang harus memiliki keseimbangan hidup, baik persoalan duniawi maupun persoalan ukhrawi. Dalam ajaran Islam, dunia bukan hanya sebagai tempat sandiwara, tetapi juga sarana dan perantara untuk kehidupan akhirat yang abadi selama-lamanya. Tanpa kehidupan dunia yang baik (aman, tentram dan memungkinkan untuk beribadah), hampir mustahil bagi manusia untuk menggapai kesuksesan akhirat kecuali bagi orang-orang tertentu.
Baca Juga: Paham Antroposentrisme Agama (Sakhr) dan Upaya Merekonstruksinya
“Seseorang harus menghadapi dunia dan segala keniscayaannya dengan tujuan kemuliaan di akhirat.” Mungkin inilah ungkapan yang paling cocok untuk menggambarkan bagaimana seharusnya seorang muslim menjalani kehidupan dunia yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan akhirat. Syekh Muzaffer, seorang tokoh sufi asal Istanbul berkata, “sibukkan tanganmu dengan melakukan pekerjaan duniawi, dan sibukkan hatimu dengan Allah.” (Psikologi Sufi: 47).
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam juga beberapa kali menyinggung keseimbangan hidup. Salah satu ayat tersebut adalah QS. Al-Qasas [28]: 77 yang berbunyi:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ٧٧
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.
Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan nasihat yang diberikan oleh beberapa pemuka kaum nabi Musa as kepada Qarun, bahwa ia boleh berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk meraih kesuksesan dunia dengan cara yang dibenarkan Allah Swt. Namun, hal tersebut jangan sampai membuat dirinya melupakan tujuan manusia sesungguhnya di dunia, yakni beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, segala hal yang didapatkan di dunia seyogyanya diorientasikan untuk kepentingan akhirat.
Kata fima dipahami oleh Ibn ‘Asyur mengandung makna terbanyak atau pada umumnya, sekaligus melukiskan tertancapnya ke dalam lubuk hati upaya mencari kebahagiaan ukhrawi melalui apa yang dianugerahkan Allah dalam kehidupan dunia ini. Dalam konteks Qarun adalah gudang-gudang tumpukan harta benda yang dimilikinya itu (Tafsir Al-Misbah [10]: 405).
Firman Allah, wa la tansa nashibaka min ad-dunya merupakan larangan melupakan atau mengabaikan bagian seseorang dari kenikmatan duniawi. Larangan itu dipahami oleh sebagian ulama bukan dalam arti haram mengabaikannya, tetapi dalam arti mubah (boleh untuk mengambilnya). Dengan demikian, ayat ini merupakan salah satu contoh penggunaan redaksi larangan untuk makna mubah atau boleh.
Ibn ‘Asyur memahami kalimat di atas dalam arti “Allah tidak mengecammu jika engkau mengambil bagianmu dari kenikmatan duniawi selama bagian itu tidak atas resiko kehilangan bagian kenikmatan ukhrawi. Menurutnya, ini merupakan nasihat yang perlu dikemukakan agar orang yang dinasihati tidak menghindar dari tuntunan itu. Tanpa kalimat semacam ini, boleh jadi orang yang dinasihati memahami bahwa ia dilarang menggunakan hartanya kecuali untuk pendekatan diri kepada Allah dalam bentuk ibadah murni semata-mata.
Berdasarkan penjelasan Ibn ‘Asyur di atas, dapat dipahami bahwa seseorang boleh menggunakan hartanya untuk tujuan kenikmatan duniawi selama hak Allah menyangkut harta telah dipenuhinya dan selama penggunaannya tidak melanggar ketentuan Allah swt. Dalam konteks Qarun, tidak mengapa seandainya ia mau menikmati kehidupan dunia dengan harta berlimpah, akan tetapi ia terlebih dahulu harus menunaikan kewajibannya seperti zakat dan tidak menggunakan kenikmatan tersebut untuk melakukan maksiat.
Baca Juga: Mengurusi Harta Anak Yatim, Perhatikan Pesan Surat An-Nisa Ayat 6
Sedangkan Thabathaba’i memahami penggalan ayat ini dalam arti: Jangan engkau mengabaikan apa yang dibagi dan dianugerahkan Allah kepadamu dari kenikmatan duniawi (mengabaikannya bagaikan orang yang melupakan sesuatu) dan gunakanlah hal itu untuk kepentingan akhiratmu, karena hakikat nasib dan perolehan seseorang dari kehidupan dunia ini adalah apa yang dia lakukan untuk akhiratnya karena itulah yang kekal untuknya (Tafsir Al-Misbah [10]: 406).
Dari beberapa penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa seseorang harus bersikap secara proporsional dalam persoalan dunia dan akhirat (keseimbangan hidup), dalam artian menyinergikan keduanya dan tidak meninggalkan secara mutlak salah satunya. Dunia sebagai wadah manusia untuk mengenal Allah dan berbuat kebaikan, tentu tidak bisa diabaikan dan ditinggalkan. Namun jangan tenggelam dalam glamor kehidupan dunia hingga melupakan tujuan akhir manusia, yakni kehidupan akhirat yang kekal abadi. Wallahu a’lam.