Tafsir Surat An-Nahl Ayat 97: Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Beribadah

kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam beribadah
kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam beribadah

Salah satu tema sentral sekaligus prinsip pokok ajaran Islam adalah prinsip egalitarian, yakni persamaan antar manusia, baik laki-laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, etnis, ras dan keturunan.  Dalam konteks relasi antara jenis manusia, prinsip egalitarian sering dikaitkan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan (kesetaraan gender).

Prinsip egalitarian ini diisyaratkan dalam QS. Al-Hujarat [49] ayat 13 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”

Ayat di atas secara normatif merupakan ajaran Islam tentang bagaimana seharusnya seorang muslim memaknai dan meresepsi perbedaan jenis kelamin, bangsa, suku, etnis, ras dan keturunan. Ayat ini juga mempertegas misi pokok Al-Quran adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis dan ikatan-ikatan primordial lainnya.

Meskipun demikian, secara faktual dalam konteks Islam historis–yakni sejarah pelaksanaan ajaran Islam oleh pemeluknya–terjadi banyak ketimpangan dan ketidakadilan gender. Akibat perilaku tersebut, sebagian orang–khususnya pemeluk agama lain–beranggapan bahwa kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Islam sama sekali tidak ada. Hal ini kemudian secara tidak langsung menimbulkan ketidaksukaan dalam diri mereka terhadap ajaran Islam.

Padahal Al-Quran secara tegas menyatakan adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Misalnya, QS. An-Nahl [16] Ayat 97 yang berbicara mengenai kesetaraan gender dalam hal beribadah. Firman Allah Swt:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ٩٧

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan salah satu ayat yang menekankan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam beribadah dan perbuatan baik. Sebenarnya kata man/siapa yang terdapat pada awal ayat ini sudah dapat menunjuk kedua jenis kelamin–lelaki dan perempuan–tetapi guna penekanan yang dimaksud, ayat ini kemudian menyebut secara tegas kalimat laki-laki dan perempuan (Tafsir Al-Misbah [7]: 344).

Ayat ini juga secara tidak langsung menunjukkan betapa kaum perempuan pun dituntut agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri dan keluarganya, maupun untuk masyarakat dan bangsanya, bahkan kemanusiaan seluruhnya. Singkatnya, frasa ayat ini menyuruh semua golongan untuk berkontribusi sebanyak mungkin secara proporsional, tidak hanya bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan.

Pada ayat QS. An-Nahl [16] Ayat 97, Allah seakan-akan berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin–yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih–maka sesungguhnya pasti akan Kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka semua di dunia dan di akhirat dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Kata shalih/saleh dapat dipahami dalam arti baik, serasi atau bermanfaat dan tidak rusak. Seseorang dinilai beramal saleh, apabila ia dapat memelihara nilai-nilai sesuatu sehingga kondisinya tetap tidak berubah sebagaimana adanya, dan dengan demikian sesuatu itu tetap berfungsi dengan baik dan bermanfaat (Tafsir Al-Misbah [7]: 342).

Menurut Az-Zamakhsyari, seorang ahli tafsir yang beraliran rasional sebelum Muhammad Abduh, amal saleh dapat dimaknai sebagai “Segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, Al-Quran dan atau sunah Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, segala perbuatan yang tidak sesuai dengan ketiga dalil tersebut tidak bisa dikatakan sebagai amal saleh.

Di sisi lain, meskipun Al-Quran tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan amal saleh, tetapi apabila ditelusuri contoh-contoh yang dikemukakan Al-Quran tentang al-fasad (kerusakan) yang merupakan antonim dari kesalehan, maka paling tidak kita dapat menemukan contoh-contoh amal saleh, yakni lawan dari tindakan al-fasad tersebut.

Pada QS. An-Nahl [16] Ayat 97 juga ditekankan pentingnya keimanan bagi manusia. Karena Setiap amal yang tidak dibarengi dengan iman, maka dampaknya hanya sementara, yakni di dunia saja dan tidak kekal abadi. Sedangkan perbuatan baik yang berlandaskan keimanan, itu akan abadi sepanjang masa, tiada ada akhirnya.

Kekufuran/ketiadaan iman yang bersemai di hati orang-orang kafir, bahkan yang mengaku muslim sekalipun, merupakan nilai yang merusak susu sebelanga (perbuatan baiknya), atau racun yang mematikan. Karena itulah Al-Quran berkali-kali memperingatkan pentingnya iman menyertai amal, karena tanpa iman kepada Allah Swt, amal-amal ini akan menjadi sia-sia belaka. Wallahu A’lam.