BerandaTafsir TematikTafsir AhkamKesunahan Membawa Oleh-oleh Haji

Kesunahan Membawa Oleh-oleh Haji

Setelah sekitar sebulan para jemaah haji melaksanakan proses ibadah haji di tanah suci Mekah, kini tibalah hari-hari kepulangan mereka ke tanah air. Saat pulang dari berhaji, ada beberapa hal yang biasa dilakukan para jemaah haji saat hendak kembali ke rumah. Diantaranya ialah membawa oleh-oleh haji dan memberi kabar kepulangan. Meski keduanya adalah hal yang lumrah dilakukan oleh orang yang pulang dari berhaji, tapi penting untuk diketahui bahwa keduanya merupakan sunah Nabi.

Baca juga: Alasan Jamaah Haji Singgah di Masjid Sebelum Pulang ke Rumah

Membawa hadiah atau oleh-oleh saat pulang dari bepergian termasuk dari berhaji, juga memberi kabar waktu kepulangan mereka, bukanlah tradisi yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam. Dua hal itu bahkan sesuatu yang dianjurkan Nabi Muhammad dengan tujuan semakin mempererat tali kasih sayang terutama dengan keluarga yang ditinggalkan. Berikut keterangan lengkapnya:

Membawa oleh-oleh haji untuk keluarga

Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menerangkan, salah satu kesunahan yang dapat dilakukan oleh orang yang pulang dari bepergian jauh, adalah membawa oleh-oleh. Istri Nabi, Aisyah meriwayatkan suatu hadis terkait hal ini (al-Majmu’/4/398):

إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ مِنْ سَفَرِهِ فَلْيُهْدِ إِلَى أَهْلِهِ وَلْيُطْرِفْهُمْ وَلَوْ كَانَتْ حِجَارَةً

“Ketika salah seorang kalian kembali dari bepergian, maka hendaknya dia memberikan hadiah pada keluarganya. Hendaknya dia memberikan sesuatu pada mereka meski berupa batu.” (HR. al-Baihaqi)

Imam al-Munawi menyatakan, hadis ini menunjukkan bahwa bagi orang yang pulang dari bepergian, entah itu jauh maupun dekat, disunahkan membawa oleh-oleh untuk keluarga. Keluarga bisa berarti orang yang wajib dia nafkahi atau sahabat karib. Tujuan membawa oleh-oleh haji adalah membuat senang hati mereka. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan membawa oleh-oleh meski hanya berbentuk batu. Artinya, batu yang unik atau menarik, yang meski mungkin tidak bernilai secara ekonomi, tapi membuat orang lain merasa takjub atau senang. (Faid al-Qadir/2/129)

Memberi tahu apabila akan pulang

Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa salah satu kesunahan pada saat pulang dari bepergian seperti dari berhaji adalah memberi tahu keluarga bahwa dirinya hendak kembali pulang. Selain itu, juga dianjurkan memilih waktu kepulangan selain malam hari, kecuali bila berada di dalam rombongan besar yang sudah biasa datang pada malam hari atau keluarga sudah tahu apabila dia akan datang malam hari (al-Majmu’/4/399).

Ketentuan itu bertujuan agar membuat keluarga yang ada di rumah dapat mempersiapkan diri mereka untuk menyambut kedatangan jemaah haji. Selain itu, agar mereka juga dapat menghindarkan Jemaah haji dari hal-hal yang dapat membuat hati mereka tidak nyaman saat mereka kembali ke rumah.

Sahabat Jabir ibn Abdullah meriwayatkan:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ

“Rasulullah -salallahualaihi wasallam- melarang seseorang pulang dari bepergian dan kembali ke rumah di malam hari. Tujuannya agar hal itu tidak membuat mereka memiliki prasangka buruk atau mencari-cari kesalahan keluarga mereka.” (HR. Imam Muslim)

Imam al-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan, hadis ini menunjukkan makruhnya pulang dari bepergian dan kembali ke rumah saat malam hari serta tanpa memberi tahu keluarga terlebih dahulu. Maksud dari memiliki prasangka buruk adalah muncul anggapan bahwa keluarga mereka sedang melakukan hal buruk yang dapat dia ketahui saat itu juga. Padahal, bisa saja keluarganya dalam keadaan yang membuat orang lain salah faham dengan keadaan mereka. (Syarah Shahih Muslim/6/406).

Baca juga: Revolusi Ibadah Haji: Dari Paganis Menuju Islamis

Imam al-Shan’ani menjelaskan, dalam riwayat lain disebutkan bahwa sahabat Abdullah ibn Abi Rawahah pulang ke rumah pada malam hari. Saat itu, di rumahnya sang istri sedang bersama perempuan yang menyisir rambutnya. Sahabat Abdullah menyangka perempuan itu adalah lelaki dan sempat mengacungkan pedang pada perempuan tersebut. Oleh karena itu, Nabi melarang pulang dari bepergian dan kembali ke rumah saat malam hari (Subul al-Salam/5/33). Wallahu a’lam[]

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...