Setiap muslim pasti pernah berinteraksi dengan Alquran. Interaksi tersebut dilakukan dengan beragam bentuk. Misalnya, sekadar membacanya, menghafalkannya, atau mempelajarinya sebagaimana yang dilakukan di pesantren maupun perguruan tinggi, hingga untuk keperluan praktis seperti pengobatan atau rukyah.
Ragam interaksi tersebut salah satunya dilatarbelakangi oleh perbedaan motivasi atau dorongan yang dimiliki setiap muslim dalam melakukan interaksi. Sehingga bukan hal mengherankan jika kemudian terjadi interaksi negatif yang ditimbulkan oleh dorongan yang juga negatif.
Sebagai contoh, fenomena penggunaan Alquran untuk kepentingan pribadi maupun kelompok yang kemudian menyebabkan munculnya tindakan penyalahgunaan ayat-ayat Alquran. Dalam artian, ayat-ayat Alquran dipahami secara liar sesuai kehendaknya demi mendapatkan legitimasi atas tindakan yang menguntungkannya.
Hal ini pun sudah terjadi sejak masa awal Islam dan mencapai puncaknya pada periode yang dalam istilah Abdul Mustaqim disebut dengan Era Afirmatif dengan Nalar Ideologis (Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 45-51).
Alquran dan Tasawuf
Dalam khazanah tafsir Alquran, terdapat bermacam-macam corak penafsiran, seperti fikih (tafsir fiqhi), bahasa (tafsir lughawi), filsafat (tafsir falsafi), hingga tasawuf (tafsir sufi). Masing-masing corak tersebut dapat diamati dari nuansa keilmuan dan kecenderungan sang mufasir dalam penafsiranya yang setiap corak tersebut memiliki keunikan tersendiri.
Keunikan yang begitu menonjol dapat dijumpai dalam tafsir sufi yang muncul sebagai hasil interaksi antara kaum sufi sebagai penganut ajaran tasawuf dengan Alquran. Dikatakan menonjol, lantaran tafsir sufi berusaha mengungkap makna-makna batin yang terkandung di balik zahir ayat. Makna batin tersebut diyakini merupakan makna yang dilimpahkan oleh Allah ke dalam hati yang bersih.
Dalam perkembangannya, tafsir kaum sufi menuai pro dan kontra di kalangan ulama. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pendapat terkait bagaimana relasi yang terjadi antara Alquran dengan tasawuf. Kristina Zahra Sands, seorang sarjana barat pengkaji tafsir kaum sufi mengatakan bahwa secara garis besar, relasi antara Alquran dengan tasawuf terbagi menjadi dua; eisegesis dan exegesis.
Relasi eisegesis terjadi ketika seorang sufi memiliki suatu ajaran, kemudian menggunakan ayat-ayat Alquran untuk melegitimasi ajarannya. Sedangkan relasi exegesis terjadi ketika seorang sufi mengkaji Alquran lalu menemukan konsep-konsep tertentu yang kemudian disusun menjadi suatu ajaran tasawuf (Sufi Commentaries on The Qur`an in Classical Islam, hlm. 1).
Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi
Interaksi yang Intens
Makna batin yang diungkap oleh para sufi tidak dapat diperoleh dengan mudah. Mereka perlu melakukan riyadhah (latihan) terlebih dahulu untuk menyucikan hati mereka, karena isyarat Ilahi tidak akan muncul kecuali dalam hati yang suci dan bersih. Tidak hanya itu, interaksi yang dilakukan para sufi dengan Alquran memiliki intensitas yang sangat tinggi.
Alexander D. Knysh menunjukkan beberapa contoh interaksi yang dilakukan mereka. Misalnya, Sahl al-Tustari (w. 283 H) yang telah khatam menghafal Alquran pada usia tujuh tahun; Ibn ‘Atha` al-Adami (w. 309 H) mengkhatamkan bacaan Alquran sekali dalam sehari, bahkan tiga kali sehari ketika bulan Ramadhan; dan Ibn Khafif (w. 371 H) membaca surah Annas 10.000 kali, bahkan pernah mengkhatamkan keseluruhan Alquran dalam sekali salat (Sentralitas Kalam Tuhan, hlm. 77).
Tidak hanya intensitas tinggi dalam berinteraksi, para sufi juga selalu mengamalkan ajaran-ajaran Alquran sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. dan para sahabat. Nabi sendiri pernah bersabda bahwa siapa saja yang mengamalkan ilmunya, niscaya Allah Swt. akan menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.
Menurut Abu ‘Ala al-‘Afifi (w. 1385 H), tujuan utama para sufi ketika membaca Alquran adalah menghadirkan Allah ke dalam hatinya. Mereka benar-benar memosisikan diri sebagai “lawan bicara” Allah Swt. Sehingga, bukan hal mengherankan jika mereka sering menangis ketika melantunkan ayat-ayat Alquran yang kemudian mendorong mereka untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi semua larangan yang ada di dalamnya.
Sebagaimana ungkapan al-Hasan al-Basri (w. 110 H) yang dikutip al-‘Afifi; “Demi Allah! Tidak ada seorang hamba membaca Alquran pada suatu hari dan mengimani isinya, kecuali menjadi lebih banyak bersedih dibandingkan bergembira; lebih banyak menangis dibandingkan tertawa; lebih banyak bekerja keras dan menyibukkan diri dalam beribadah dibandingkan beristirahat dan leyeh-leyeh.” (Al-Tashawwuf al-Tsaurat al-Ruhiyyah fi al-Islam, hlm. 108-109).
Demikianlah teladan yang diberikan oleh para sufi. Konsistensi mereka dalam berinteraksi dengan Alquran begitu luar biasa. Tidak ada bentuk interaksi dengan Alquran yang lebih sulit dibandingkan mengamalkan seluruh ajaran yang ada di dalamnya. Semoga Allah Swt. senantiasa menganugerahkan hidayah dan inayah-Nya, sehingga kita mampu mengamalkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Alquran. Wallahu a’lam.
Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (2): Sejarah dan Periodisasi Perkembangan Tafsir Sufistik