Bukan rahasia umum bahwa memiliki seorang keturunan atau anak yang alim merupakan dambaan bagi semua orang apalagi orang tua. Mengapa? Karena orang yang memiliki ilmu (alim) mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah SWT., selain memiliki derajat atau kedudukan tinggi dan dimuliakan setiap orang.
Tentang kedudukan orang alim ini, dalam salah satu ayat Al-Quran Allah menyatakan, bahwa persaksiannya orang berilmu (alim) disamakan atau disejajarkan dengan persaksiannya para malaikat. Ayat yang dimaksud adalah:
شَهٍدَ اللهُ أَنَّهُ لا إله إلا الله هو والملائكة وأولو العلم قائما با لقسط لا اله الا هو العزيز احكيم
Artinya: “Allah Menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 14)
Dari saking tingginya kedudukan orang alim, Rasulullah bersabda “Tidurnya orang alim itu lebih utama daripada ibadahnya orang bodoh. Maksudnya adalah orang alim yang tidur dalam keadaan memelihara adab al-ibadah (adab-adab ibadah) itu lebih afdal daripada orang bodoh yang beribadah tetapi tidak memperhatikan adab al-ibadah ibadah.” (Imam Nawawi, Tanqih al-Qaul al-Hatsits bi Syarh Lubab al-Hadits, hlm. 8)
Baca Juga: Bebas Bukan Berarti Tanpa Etika, Berikut Etika Jurnalistik dalam Al-Quran
Lantas bagaimanakah agar supaya memiliki anak atau keturunan yang alim (menjadi ulama) tersebut? Syekh Az-Zarnuji dalam kitabnya, Ta’lim Muta’allim memberi kiat pada kita ihwal supaya memiliki anak yang alim. Beliau menyatakan
من اراد ان يكون ابنه عالما فينبغى ان يراعى الغرباء من الفقهاء ويكرمهم ويعظِّمهم ويعطيهم شيئا فان لم يكن ابنه عالما يكون حافده عالما.
“Barang siapa yang ingin anaknya menjadi orang alim, maka dia harus menghormati para ahli fikih (ahli ilmu). Dan memberikan sedekah pada mereka (meskipun sedikit). Jika ternyata anaknya tidak menjadi orang alim, maka cucunya yang akan menjadi orang alim.”
Di lingkungan pesantren, kiat yang ditawarkan Syekh Az-Zarnuji ini tampaknya sudah menjadi semacam kaidah (pakem) yang harus diamalkan seorang santri, meskipun akhir-akhir ini sudah mulai dilupakan oleh kebanyakan orang. Hal ini dikarenakan begitu instannya (mudah) menuntut ilmu di era modern seperti sekarang. Untuk belajar agama, seseorang tinggal memainkan satu jarinya (tanpa harus berguru) sudah bisa belajar. Tinggal pencet Handphone, segala sesuatu yang kita inginkan semuanya muncul.
Walau begitu, resep ini sudah banyak dibuktikan oleh para orang tua. Tak terhitung jumlahnya yang membuktikan keampuhan ‘jurus’ satu ini sejak berabad-abad lamanya hingga sekarang.
Di antara contohnya adalah seorang petani yang sederhana dan hidupnya pas-pasan. Berkat ke-tawaduk-an dan senang berkhidmah serta memberi (meskipun ala kadar semampunya) kepada orang-orang alim dengan harapan agar anaknya kelak juga menjadi orang alim. Oleh Allah, akhirnya ia dianugerahi putra luar biasa yang menjadi ulama besar dan rujukan banyak orang khususnya di Pulau Kangean Sumenep, yaitu KH Ghazali Ahmadi.
Sementara itu, Kiai Ghazali juga gemar berkhidmah kepada orang-orang alim. Alhasil beliau dianugerahi putra-putri luar biasa. Di antaranya, KH Dr. Abdul Moqsith Ghazali, Nyai Mu’tiyah, Kiai Abdul Muiz Ghazali, Nyai Istianah, dan Kiai Hatim Ghazali.
Begitu juga dengan KH Muchtar Thabrani, putra dari seorang petani. Walau begitu, beliau adalah seorang ulama besar di Bekasi yang namanya sudah masyhur di kalangan masyarakat. Beliau juga termasuk ulama produktif dalam menghasilkan karya. Di antaranya Targhiib al-Ikhwan fii Fadhiilah ‘Ibaadaat Rajab wa Sya’ban wa Ramadhaan dan Tanbiih Al-Ghaafil fii at-Taththawu’aat wa al-“ibaadaat wa an-Nawaafil.
Baca Juga: Tafsir Surah An-nur Ayat 3: Hukum Menikah dalam Keadaan Hamil di Luar Nikah
Itu semua berkat orang tua beliau, Thabrani, yang saleh, gemar berkhidmah kepada orang-orang alim, dan senang memberi sesuatu pada orang alim ala kadar kemampuannya sembari minta didoakan agar anaknya, Muchtar, juga menjadi orang yang alim, kelak.
Tidak mengherankan jika orang-orang terdahulu gemar mengajak anak-anaknya untuk sowan/ziarah kepada para ulama, baik yang masih hidup atau sudah wafat. Hal ini berbeda dengan kebanyakan orang sekarang, yang suka mengajak anaknya liburan ke tempat-tempat wisata (tidak bermanfaat) apalagi ke mall-mall guna berbelanja.
Karena itu, jika kita ingin memiliki seorang anak yang alim, hendaklah memperbaiki pola-pikir dan tujuan. Dari tempat wisata ke dalem kiai, guru, ustaz, dan lain-lain. Dengan harapan agar muncul generasi-generasi baru alim, kelak. Sebagaimana yang dinantikan oleh Nabi Muhammad saw. Wallahu A’lam