BerandaKisah Al QuranKisah Khaulah binti Tsa’labah, Istri yang Berani Menggugat dalam Al-Quran

Kisah Khaulah binti Tsa’labah, Istri yang Berani Menggugat dalam Al-Quran

Salah satu problem relasi laki-laki dan perempuan yang belum terselesaiakan saat ini ialah kasus KDRT (kekerasan dalam Rumah tangga). Selain karena sikap suami yang keterlaluan, masih banyak yang mengira bahwa perempuan hanya dipandang sebagai objek dan tidak leluasa ruang geraknya. Padalah Al-Quran telah mengabadikan kisah seorang istri yang berani menggugat. Ini membuktikan bahwa Al-Quran memperhatikan semua manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Berikut ini kisah Khaulah binti Tsa’labah dalam tafsir Surat Al-Mujadalah ayat 1-2. 

Baca juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

Surat Al-Mujadalah [58]:1-2

Kisah seorang perempuan yang menggugat ini menjadi sebab turunnya awal surah Al-Mujadalah. Adapun ayatnya berbunyi:

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

 “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”

Kemudian ayat ke dua memperjelas kondisi yang dialami oleh perempuan tersebut sehingga berani menggugat, ayat tersebut yakni:

الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ

“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran 31: Cara Mempererat Hubungan Suami-Istri

Pendapat Para Mufassir

Ayat pertama dari surah Al-Mujadalah ini turun berkenaan dengan masalah yang dihadapi Khaulah binti Tsa’labah yang ditinggal suaminya, Aus ibn Samit. Adapun sebab ‘Aus meninggalkan Khaulah adalah karena pernyataan zihar yang dilontarkan ‘Aus. Zihar adalah bentuk pernyataan dengan mengatakan “Kamu bagaikan tulang punggung ibuku” yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri.(Hasbi as-Shiddiqie, Tafsir al-Quran al-Majid, 4:283)

Ayat tersebut dibuka dengan lafad قَدْ سَمِعَ اللَّهُ yang menurut Wahbah Zuhaili merubakan bentuk majaz (perumpamaan) atas diterima dan dikabulkannya doa dari Khaulah. Selanjutnya Wahbah zuhaili juga menjelaskan bahwa Dzihar dalam tradisi arab memiliki makna talaq hingga memiliki konsekuensi keharaman untuk menggauli istrinya. Dzihar merupakan cara melakukan talak tanpa mengucapkan kata tersebut (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, 28:9)

Kisah Khaulah binti Tsa’labah

ia merupakan seorang istri dari ‘Aus bin Shamit dan memiliki julukan al-Mujadilah (sang penggugat). Gelar ini disematkan atas keberaniannya untuk meminta keadilan kepada rasullah SAW.

Kisah tersebut bermula dari pertengkaran antara mereka yang saling mengaku paling benar atas pendapatnya masing-masing hingga tidak ada yang mengalah. Saat emosi ‘Aus memuncak, terucaplah kata tang tidak mengenakan, Aus mengatakan “wahai Khaulah, engkau bagiku seperti punggung ibuku”. Khaulah yang mendengar ucapan itu tidak menyangka dan bagaikan petir yang menyambar. Ucapan itu berakibat pada hubungan keduanya, hingga tidak terikat lagi dalam pernikahan yang utuh.

Selang beberapa waktu, ‘Aus menyadari perkataannya dan meminta maaf pada istrinya dan menyadari kesalahannya. Tapi, dengan mata berkaca-kaca, Khaulah berkata “Jangan ‘Aus, Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, jangan lakukan itu kepadaku, karena ucapanmu itu, sekarang aku jadi haram bagimu”.

Lantas Khaulah meminta suaminya mengahadap Rasulullah SAW untuk menjelaskan perkara ini, namun ‘Aus menolak dengan alasan malu. Hingga pada akhirnya Khaulah sendiri yang menemui Rasulullah SAW.

Setelah menjelaskan duduk perkara yang ia alami kepada Rasulullah, Rasul memberikan jawaban; “Khaulah, menurutku engkau diharamkan atasnya”. Jawaban tersebut membuat tangis Khaulah menjadi-jadi, namun rasul meyakinkannya dengan perintah untuk menjauhi suaminya. Setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya Rasul meninggalkan Khaulah.

Mendengar jawaban Rasul, Khaulah dirundung kekalutan hingga ia berdoa; “Ya Allah, aku menangadu kepada-Mu tentang kesulitan dan penderitaanku jika aku bercarai dengannya. Ya Allah, turunkanlah melalui Nabi-Mu, suatu jalan keluar bagi kami”

Tidak lama kemudian, Rasul memanggil Khaulah dan menyampaikan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu perihal masalahnya dengan suaminya. Doa Khaulah benar-benar didengar oleh Allah dengan turunnya surat al-Mujadalah ayat 1-6. Turunnya ayat tersebut menjadikan rumah tangga Khaulah dan ‘Aus utuh kembali, meskipun Aus wajib membayar kafarat atas konsekuensi atas ucapan dziharnya.

Baca juga: Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah

Perempuan dalam Pandangan Al Quran

Menurut Quraish Shihab, pengaduan Khaulah kepada Nabi tidak lantas mendapat jawaban dari Nabi. Dalam sebuah riwayat, Nabi tidak langsung memutuskan hukum atas pengaduan tersebut. Nabi pun diminta oleh Khaulah untuk memohonkan penyelesaian masalah tersebut kepada Allah. Sehingga turunlah ayat di atas. Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa perempuan mendapatkan kedudukan mulia dihadapan Allah. Doa yang ia mohonkan seketika terkabul dengan turunnya ayat tersebut.( M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah. 14: 61)

Baca juga: Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya

Melalui kisah tersebut, kita bisa melihat bahwa perempuan bukanlah makhluk yang harus diam, pasrah dan diperlakukan sebagai objek. Sebaliknya, mereka juga punya hak yang setara terhadap lelaki. Bukti bahwa “suara perempuan bukanlah aurat” bisa dilihat dari diskusi langsung antara Khaulah dan rasulullah SAW. Khaulah mencontohkan bahwa meskipun belum menemukan solusi, putus asa bukanlah jalan terakhir. Ia justru meminta kepada Allah SWT sebagai bentuk usaha maksimal. Wallahu a’lam[]

 

Muhammad Anas Fakhruddin
Muhammad Anas Fakhruddin
Sarjana Ilmu Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...