BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir IndonesiaKiai Ihsan Jampes dan Tafsirnya

Kiai Ihsan Jampes dan Tafsirnya

Popularitas Kiai Ihsan Jampes sebagai mufasir tampaknya tidak setara dengan kemasyhurannya sebagai seorang sufi. Bahkan, kebanyakan orang nyaris tidak mengetahui jika Kiai Ihsan sangat berkompeten dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran hingga memiliki karya tafsir tersendiri. Mereka pada umumnya mengenali Kiai Ihsan sebagai figur ahli tasawuf melalui masterpiece karyanya yang berjudul Sirāj al-Ṭālibīn.

Kapasitas Kiai Ihsan sebagai seorang mufasir semakin menyemarakkan nama-nama kiai pesantren dari Jawa Timur yang turut berkontribusi di ranah penafsiran Alquran. Karya tafsirnya juga menambah daftar katalog sekaligus memperkaya khazanah tafsir Alquran di Indonesia. Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān adalah nama kitab tafsir karya Kiai Ihsan yang ditulis secara taḥlīlī dengan menggunakan redaksi Bahasa Arab yang fasih.

Tulisan ini mengulas reputasi Kiai Ihsan sebagai mufasir dan gambaran awal tentang naskah tafsir Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān yang tidak banyak diketahui oleh orang.

Mengenal Figur Kiai Ihsan

Kiai Ihsan adalah sosok ulama pengasuh pesantren Jampes—sekarang bernama pondok pesantren Al-Ihsan—yang dikenal alim dan tawaduk. Ia lahir di Jampes, Kediri, pada tahun 1901 M. dari pasangan K.H. Muhammad Dahlan dan Nyai Artimah. Saat masih bayi, Kiai Ihsan diberi nama Bakri. Namun, nama Bakri ini diganti menjadi Ihsan setelah ia menyempurnakan ibadah haji.

Kiai Ihsan Jampes konon masih mempunyai hubungan nasab dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati) dan Kiai Hasan Besari. Kemuliaan garis keturunan ini sedikit banyak berpontensi mengawal proses pembentukan karakter dan intelektual Kiai Ihsan menuju kehidupan yang arif dan bermartabat.

Baca juga: Tafsir Nusantara: Mengenal Tafsir Fatihah Karya Raden Haji Hadjid

Sejak kecil, Kiai Ihsan dididik langsung oleh ayahandanya. Namun, tempaan yang cukup intens diambil alih oleh neneknya, Nyai Isti’anah. Sebab, ibundanya, Nyai Artimah, telah berpisah ranjang dengan ayahnya saat Kiai Ihsan masih dalam fase usia kanak-kanak.

Kiai Ihsan, sebagaimana disebutkan di awal, merupakan figur yang tawaduk. Rekam jejak pendidikannya membuktikan bahwa sepanjang pengembaraannya terhadap ilmu-ilmu agama di beberapa pesantren di Indonesia, ia tidak pernah menampakkan identitasnya sebagai putra kiai ternama. Ini dilakukan, agar ia diperlakukan sebagaimana santri pada umumnya. Ia tidak ingin disanjung-sanjung, apalagi dikultuskan secara berlebihan.

Sikap low profile yang ada pada diri Kiai Ihsan memberikan efek yang cukup serius dari aspek masa studinya. Di mana, saat santri atau kiai mengetahui riwayat nenek moyangnya, maka Kiai Ihsan bergegas sowan menghadap kiainya untuk boyong. Inilah yang menjadi penyebab utama mengapa Kiai Ihsan tidak pernah lama dalam menimba ilmu di pesantren. Paling lama hanya empat bulan. Meski waktu yang ditempuh hanya sebentar, namun Kiai Ihsan mampu memanfaatkannya dengan sebaik mungkin, sehingga penguasannya terhadap ilmu-ilmu keislaman—termasuk ilmu tafsir—sangatlah matang dan bersanad.

Baca juga: Belajar dari Mbah Fadhal al-Senory, Guru Besar Ulama Nusantara dan Tafsir Fikihnya

Selain dikenal alim dan tawaduk, Kiai Ihsan juga merupakan figur kiai pesantren yang produktif menulis. Di tengah kesibukannya mengajar santri dan dakwah kepada masyarakat, ia menyisihkan waktunya untuk menulis kitab. Di antara karya-karya kitabnya adalah Taṣrīḥ al-‘Ibārāt (astronomi), Sirāj al-Ṭālibīn Syarh Minhāj al-‘Ābidīn (tasawuf), Manāhīj al-Imdād (akhlak), Irsyād al-Ikhwān fī Bayān Syurb al-Qahwah wa al-Dukhān (fikih), dan Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān (tafsir).

Kiai Ihsan wafat pada Senin siang, 25 Dzulhijjah 1371 H, bertepatan pada 16 September 1952 M. Jenazahnya dimakamkan sore hari di pemakaman khusus belakang musala al-Syarif di desa Putih yang jaraknya kurang lebih 1 KM dari Pondok Pesantren Jampes. Kiai Ihsan meninggal dunia di usianya yang ke-51 tahun dengan mencatatkan kontribusi yang cukup besar bagi Islam di Nusantara.

Naskah Tafsir Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān

Syekh Yasin bin Isa al-Fadani dalam kitabnya, al-‘Iqd al-Farīd min Jawāhir al-Asānid, menerangkan bahwa Kiai Ihsan mempunyai karya tafsir yang berjudul Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān. Temuan ini disampaikan Syekh Yasin tatkala ia memaparkan mata rantai sanad kitab Sirāj al-Ṭālibīn yang ditulis oleh Kiai Ihsan (al-‘Iqd al-Farīd, 137).

Sebagaimana diketahui dan disepakati bersama bahwa di kancah dunia Islam, kredibilitas Syekh Yasin tak ada lagi yang meragukan. Kepakarannya di bidang periwayatan mengantarkan dirinya dijuluki sebagai Musnid al-Dunyā (pakar sanad sedunia). Dengan demikian, informasi ini cukup valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya, informasi datang dari M. Ishom El-Saha dalam artikelnya yang berjudul “Mengatasi Kelangkaan Tafsir Ahkam di Tengah Komunitas Pegiat Fikih Nusantara”. Ishom mengemukakan bahwa di antara tafsir yang lahir di abad ke-19 adalah tafsir Alquran—Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān—  karya Kiai Ihsan Jampes (Mengatasi Kelangkaan Tafsir Ahkam, Ṣuḥuf, Vol. 3, No. 2, 2010, 228). Data yang disampaikan Ishom ini sama sekali tidak merujuk dari keterangan Syekh Yasin. Ia menyampaikan berdasarkan fakta dari kitab tafsir Kiai Ihsan yang pernah ia lihat.

Baca juga: Menembangkan Al Quran: Manuskrip Macapat Tafsir Surah Al Fatihah dalam Aksara Jawa

Lebih lanjut, Ishom memberikan gambaran awal bahwa Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān sampai sekarang masih dalam bentuk manuskrip dengan ketebalan 1325 halaman. Penulisan kitab ini belum sepenuhnya selesai. Kiai Ihsan baru menafsirkan 1-3 juz Alquran. Kitab ini ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab fasih, dengan sistematika penulisan taḥlīlī yang didasarkan pada urutan surah di dalam mushaf Alquran (Mengatasi Kelangkaan Tafsir Ahkam, Ṣuḥuf, Vol. 3, No. 2, 2010, 228).

Informasi yang disampaikan Syekh Yasin dan Ishom di atas menggugah hati saya untuk melacak keberadaan tafsir Kiai Ihsan dan mengkajinya secara akademik. Pada tahun 2015, saya sowan ke Kiai Busrol Karim, cucu sekaligus pengasuh pondok pesantren Al-Ihsan, Jampes, Kediri. Saya bertanya tentang keberadaan tafsir karya Kiai Ihsan. Namun, Kiai Busro tidak mengetahui jika kakeknya, Kiai Ihsan, mempunyai karya tafsir Alquran.

Selanjutnya, saya mencoba menghubungi Ishom dan dia membeberkan bahwa naskah tafsir Nūr al-Iḥsān fī Tafsīr al-Qur’ān dibawa oleh Kiai Harir, cucu Syekh Mahfudz al-Termasi. Saya kemudian sowan ke PP. Bustanu Usyusyaqil Qur’an, Betengan, Demak, untuk mengklarifikasi ke ahli warisnya. Namun, lagi-lagi keluarga Kiai Harir tidak pernah mengerti naskah tafsir tersebut. Akhirnya, saya menangguhkan pencarian naskah tafsir Kiai Ihsan hingga sekarang karena faktor finansial.

Setelah pencarian di lapangan tidak mendapatkan hasil, saya kemudian mencoba untuk melakukan studi pustaka di dalam kitab Sirāj al-Ṭālibīn dengan konsentrasi penafsiran Alquran Kiai Ihsan. Walhasil, di dalam kitab ini ditemukan adanya penafsiran Alquran Kiai Ihsan dari ayat Alquran yang disebutkan al-Ghazali dalam Minhāj al-‘Ābidīn. Lalu, ayat tersebut ditafsirkan Kiai Ihsan secara proporsional. Ini membuktikan bahwa reputasi Kiai Ihsan di bidang tafsir Alquran bukan sekedar ilusi, melainkan keniscayaan yang layak diapresiasi. Wallahu a’lam[]

Moch Arifin
Moch Arifin
Alumni Pascasarjana UIN Walisongo Semarang dan PP. Nurul Anwar Sarang; penulis buku 10 Tema Fenomenal dalam Ilmu Alquran. Minat kajian pada literatur tafsir Alquran di Nusantara.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU