BerandaKisah Al QuranKisah Inspiratif Perempuan yang Berbahasa Alquran

Kisah Inspiratif Perempuan yang Berbahasa Alquran

Orang-orang meresepsi Alquran dengan caranya masing-masing. Beberapa resepsi Alquran menarik diketahui karena unik dan jarang ditemukan. Salah satunya kisah seorang perempuan Arab yang menggunakan ayat-ayat Alquran untuk berkomunikasi dalam kesehariannya. Dia tidak berbicara kecuali dengan bahasa Alquran.

Kisah ini tertuang dalam kitab Hilyah al-Auliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’ (10/182) karya Abu Nu’am dan dapat ditemukan pula dalam kitab Syarah ‘Uqud al-Lujain (hal. 23). Kisah ini bersumber dari riwayat Abdullah bin Daud al-Wasiti. Pendapat lain mengatakan sumbernya adalah pengalaman pribadi Abdullah bin al-Mubarak.

Diceritakan suatu ketika Abdullah bin Daud al-Wasiti sedang wukuf di Arafah yang merupakan bagian dari manasik haji. Di sana dia bertemu dengan seorang perempuan yang tiba-tiba membaca Q.S. Ala’raf: 186 di hadapannya:

“Siapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk.”

Al-Wasiti menyadari perempuan itu sedang memberi petunjuk kalau dia sedang tersesat. Dia lantas bertanya, “Wahai perempuan, kamu dari mana?”

Si perempuan menjawab, “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa” (Q.S. Alisra: 1).

Mendengarnya, al-Wasiti tahu bahwa perempuan itu berasal dari Baitul Maqdis. Dia lalu menanyai maksud perjalanannya, “Lantas apa yang membuatmu melakukan perjalanan ini?”

“Kewajiban manusia terhadap Allah, berhaji (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (Q.S. Ali Imran: 97), jawab si perempuan yang mengisyaratkan dia sedang melaksanakan ibadah haji.

“Apakah kamu punya suami?” telisik al-Wasiti.

“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (Q.S. Alisra: 36), tegas si perempuan.

Al-Wasiti lalu menawarkan si perempuan tunggangan, “Maukah kamu menaiki untaku?”

“Apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya” (Q.S. Albaqarah: 197), kata si perempuan mengindikasikan kalau dia menerima niat baik al-Wasiti.

Tatkala hendak akan menaiki unta, perempuan itu membaca ayat Alquran lainnya, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya” (Q.S. Annur: 30).

Mendengar ayat tersebut, al-Wasiti seketika memalingkan pandangannya seraya menanyakan nama si perempuan, “Siapakah namamu?”

Perempuan itu menjawab, “Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran” (Q.S. Maryam: 16).

“Apakah kamu punya anak?” lanjut al-Wasiti.

“Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub” (Q.S. Albaqarah: 132), jawabnya. “Berarti dia punya beberapa anak,” batin al-Wasiti. “Lantas siapa nama mereka?” telisik lagi al-Wasiti.

Perempuan itu menjawab, “Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung; Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya; Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi” (Q.S. Annisa: 164, Annisa: 125, dan Sad: 26). Itu berarti ibu ini memiliki tiga orang anak. Masing-masing dia namai Musa, Ibrahim, dan Daud.

Al-Wasiti kemudian berniat mempertemukan sang ibu dengan anaknya dengan bertanya, “Kalau begitu di manakah aku bisa mendapati mereka berada?”

“(Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk” (Q.S. Annahl: 17), jawabnya. Al-Wasiti menyimpulkan mereka adalah rombongan pengendara unta.

Al-Wasiti lanjut bertanya, “Wahai Maryam, apakah kamu tidak makan sesuatu?” Dijawab oleh Maryam, “Sesungguhnya aku telah nazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah” (Q.S. Maryam: 26).

Baca juga: Mengenal Terma-Terma Perempuan dalam Al-Quran

Al-Wasiti dan Maryam melanjutkan perjalanan sampai kemudian bertemu dengan rombongan anak-anak Maryam itu. Mereka pun menangis terharu sesaat setelah melihat ibunya kembali. Maryam berkata kepada mereka, “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota” (Q.S. Alkahf: 19).

Al-Wasiti menanyakan mereka perihal sang ibu. Mereka menerangkan, “Ibu kami telah tersesat sejak tiga hari lalu. Beliau sendiri telah bernazar untuk tidak berbicara kecuali dengan Alquran karena khawatir lisannya akan tergelincir.”

Selang beberapa waktu al-Wasiti melihat anak-anak Maryam itu kembali menangis. Setelah diselidiki, rupanya perempuan itu sedang mengalami sakratulmaut. Al-Wasiti lalu buru-buru masuk menjumpainya dan menanyakan keadaannya. Dia menjawab, “Dan datanglah sakaratulmaut dengan sebenar-benarnya” (Q.S. Qaf: 19). Maryam pun kemudian menemui ajalnya.

Pada malam harinya al-Wasiti bermimpi melihat Maryam. “Di manakah kamu berada sekarang?” tanya al-Wasiti. Dijawab oleh Maryam, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa” (Q.S. Alqamar: 54-55).

Baca juga: Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain

Demikianlah kisah Maryam, seorang perempuan yang tidak pernah berbicara-menurut suatu riwayat selama 40 tahun terakhir dari masa haidupnya-kecuali menggunakan ayat-ayat Alquran. Dia menempatkan Alquran sebagai “bahasa” Tuhan yang kedudukannya di atas bahasa manusia sehingga dia merasa lebih aman dan maslahat baginya untuk hanya berkomunikasi dengan Alquran.

Dari kisah Maryam dapat diambil pelajaran tentang pentingnya memperhatikan setiap ucapan yang keluar dari lisan. Sebab, lisan sangat mudah tergelincir yang akhirnya menjadi penyebab seseorang binasa. Kisah Maryam juga mengajarkan akan perlunya untuk selalu berusaha dekat dengan Alquran dalam keseharian. Tidak harus seperti Maryam, tetapi bisa dengan cara membiasakan diri mengaji, memahami, dan mengamalkan Alquran sesuai kadar kemampuan masing-masing. Semoga kita bisa meneladaninya.

Baca juga: Al-Mar’ah fil Islam: Antologi Kesetaraan Perempuan dalam Al-Quran, Hadis, dan Sejarah Nabi

Lukman Hakim
Lukman Hakim
Pegiat literasi di CRIS Foundation; mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...