Ali ‘Imran adalah satu-satunya surah dalam al-Quran yang diberi nama dengan tajuk keluarga. Kata Ali dalam bahasa Arab berarti keluarga. Nabi Muhammad sendiri menyebutnya demikian, seperti dalam salah satu hadis riwayat Abu Umamah, “Bacalah dua cahaya, al-Baqarah dan Ali ‘Imran.” (Shahih Muslim, no: 804). Alasan penamaan ini kemudian dijelaskan oleh Ibnu ‘Asyur sebagai berikut:
“Alasan penamaan dengan Ali Imran adalah sebab di dalamnya akan disebut keutamaan-keutamaan keluarga ‘Imran, yaitu ‘Imran bin Mātān, ayahanda Siti Maryam dan istrinya, Hannah, serta saudarinya yang merupakan istri Nabi Zakariya. Yang mana, Nabi Zakariya, pamannya inilah yang bakal menjadi kafil (penanggung jawab) Siti Maryam, sebab ayah kandungnya telah wafat ketika ia masih dalam kandungan.” (al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 2 hal 143).
Keluarga yang terpilih
Serial kisah keluarga Imran ini baru dimulai pada ayat ke-33 dari surah Ali Imran:
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ (33) ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (34)
“Sesungguhnya Allah telah memilih (ishthifa’) Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (pada masa masing-masing). Sebagai satu keturunan, sebagiannya adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Q.S. Ali ‘Imran [2]: 33-34).
Imam al-Razi memberikan penjelasan mengenai makna dari ishthifa’ ini. Yakni, bahwa Allah Swt. telah memurnikan dan menjernihkan Nabi Adam, Nabi Nuh, keluarga Ibrahim dan ‘Imran dari perilaku tercela dan menghiasi diri mereka dengan akhlak yang terpuji. (Al-Tafsir al-Kabir, juz 4 hal 21).
Seperti apa kiranya kehidupan keluarga ‘Imran pilihan Allah ini? Dan keteladan apa saja yang dapat kita jadikan ibrah?
Baca juga: Tafsir Surat Al Ahzab Ayat 21: Idola Yang Menjadi Teladan, Siapakah?
Nazar dan harapan dikaruniai anak laki-laki
Pada ayat selanjutnya, Allah Swt. memulai awal kisah keluarga ‘Imran dengan menceritakan perihal nazar yang dilakukan oleh istri ‘Imran, yakni Hannah binti Faqudza.
Ceritanya, Hannah tak kunjung dikarunia seorang anak sampai saat ia telah menopause. Suatu hari tatkala bernaung di bawah pohon, ia melihat induk burung yang memberi makan anaknya. Rasa untuk memiliki anak laki-laki kembali muncul. Lantas ia memohon pada Allah agar diijabahi keinginannya. Seketika saja Allah mengabulkannya; Hannah dapat kembali haid dan memberitakan itu pada suaminya, ‘Imran.
Selang beberapa lama, ia lalu hamil dan berkata, “Jika Allah memperlancar dan aku melahirkan, akan aku jadikan anak kandunganku ini sebagai muharrar.”
Kata muharrar merupakan bentuk derivasi dari kata kerja harrara yang bermakna memerdekakan, kemudian diubah menjadi kata benda objek (isim maf’ul) sehingga memiliki arti orang yang dimerdekakan. Jadi setiap orang yang telah mengabdikan dirinya pada rumah Allah ini, “Seakan-akan ia telah dimerdekakan oleh Allah dari belenggu dunia dan kepentingan-kepentingannya agar memiliki kebebasan sepenuhnya dalam beribadah kepada Allah.” Mudahnya ia dapat kita sebut sebagai khadam. (Al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 2 hal 232).
Kemudian ‘Imran menanggapi, “Bagaimana jika yang kau kandung ternyata perempuan?” Saat itu, hanya laki-laki yang dapat menjadi biarawan, “Apa yang akan kau lakukan?”
Pertanyaan itu membuat Hannah bersedih hati dan bernazar ketika itu:
إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”” (Q.S. Ali ‘Imran [2]: 35).
Nazar ini tak lain mengandung bentuk harapan dan doa agar sang anak nanti laki-laki, sebab hanya laki-laki yang menjadi khadam kala itu. (Ruh al-Ma’aniy, juz 2 hal 128).
Baca juga: Membincang Nazar dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 270
Kelahiran Maryam yang tidak diharapkan
Hanya saja, Allah berkehendak lain. Hannah melahirkan seorang anak perempuan. Karenanya, terdapat rasa kegelisahan di dalam diri Hannah. Pasalnya, ia telah menazarkan bahwa anak yang dikandungnya kelak akan dijadikan khadam di Bait al-Muqaddas.
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Maka ketika melahirkannya, dia berkata, “Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Padahal Allah lebih tahu apa yang dia (Hannah) lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan perempuan. ”Aku memberinya nama Maryam, dan aku mohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari (gangguan) setan yang terkutuk.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 36).
Mengenai hal ini Imam al-Razi menjelaskan seperti berikut,
“Kemudian Allah berfirman, “Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Ketahuilah bahwa tujuan penyebutan perkataan Hannah ini adalah sebagaimana telah diketahui bahwa ia menazarkan anak kandungnya untuk mengabdi pada masjid Allah, karena persangkaannya, anak yang ia kandung adalah laki-laki, dan ia tidak menyebutkan ketentuan itu pada nazarnya. Sementara adat yang berlaku adalah seorang khadam adalah laki-laki, bukan perempuan, maka berkatalah Hannah demikian. Karena ia khawatir jika nazarnya tidak bakal bisa terpenuhi dan merasa bersalah karena telah memutlakkan nazarnya yang telah lalu.” (Al-Tafsir al-Kabir, juz 4 hal 24).
Tentu saja Hannah menghadapi dilema dan kekalutan ini. Selain karena telah kecewa sebab ia tidak melahirkan seorang putra yang diharap-harapkan, ia juga telah menazarkan anaknya kelak, secara mutlak, baik laki-laki ataukah perempuan, sebagai khadam, sedangkan belum pernah ada seorang khadam yang perempuan. Akan muncul omongan miring dari banyak orang terkait hal tabu ini, karena perempuan hanya akan mengotori masjid tatkala ia datang bulan jika dijadikan sebagai khadam.
Allah menerima khadam perempuan Bait al-Muqaddas itu
Ndilalah Allah berkehendak lain. Ia ternyata menerima kehadiran putri yang dilahirkan Hannah, yaitu Maryam, sebagai khadam di Masjid Bait al-Muqaddas. Penerimaan ini Allah firmankan pada ayat selanjutnya,
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا
“Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria…” (Q.S. Ali Imran [3]: 37).
Sedikit catatan, memang ada sedikit rasa tidak suka pada diri Hannah karena mendapat tidak mendapatkan seorang putra. Namun, seperti kebanyakan sosok kekasih Allah lainnya, ia kemudian membuang jauh-jauh rasa itu. Karena inilah ia berdoa, “…Sesungguhya aku memohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari (gangguan) setan yang terkutuk.” Ibnu ‘Asyur menyebut penekanan ini sebagai bentuk penegasan bahwa Hannah telah ridha dan mencintai apa yang telah dikaruniakan padanya.
Ini yang patut diteladani oleh para orang tua. Pasalnya, tak jarang mereka menghiraukan anaknya karena lahir dan tumbuh tidak sesuai dengan apa yang mereka kehendaki sebelumnya. Lebih-lebih jika kasusnya soal kecacatan fisik ataupun mental si anak. Bagaimanapun halnya, Allah pasti telah memutuskan dengan cara terbaik dan menyisipkan banyak hikmah di balik itu semua. (Al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 2 hal 234). Wa Allahu a’lam.
Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 42: Meneladani Kebersihan dan Kesucian Diri Siti Maryam