Abu Bakar As-Shiddiq adalah salah satu sahabat karib nabi Muhammad saw sejak di Mekah. Ia lahir di Mekkah 2 tahun 6 bulan setelah tahun Gajah. Ayahnya bernama Utsman bin Abu Quhafah dan ibunya Salamah, yang bergelar Ummul Khair. Abu Bakar memiliki nama asli Abdul Ka’bah, namun setelah memeluk Islam, namanya berganti menjadi Abdullah.
Nama Abu Bakar merupakan hadiah diberikan langsung oleh Rasulullah saw yang artinya “Bapak anak unta muda”. Nabi saw memberikan julukan tersebut karena kesetiaan Abu Bakar as-Shiddiq sebagai sahabat yang bersegera memeluk agama Islam setelah sampai kepadanya risalah dakwah. Abu Bakar termasuk di antara orang-orang yang paling awal memeluk agama Islam atau yang dikenal dengan sebutan as-sabiqun al-awwalun.
Sedangkan gelar as-Shiddiq diberikan nabi Muhammad saw karena kesetiaan Abu Bakar kepada beliau setelah ia membenarkan dengan adanya peristiwa isra mi’raj Rasulullah saw tanpa keraguan sedikitpun meskipun peristiwa tersebut melampaui batas rasionalitas. Ini adalah salah satu bukti keutamaan dan kelebihan Abu Bakar as-Shiddiq dibanding sahabat-sahabat lainnya.
Totalitas dan kesetiaan Abu Bakar as-Shiddiq dalam memperjuangkan dan menegakkan agama Allah bersama Rasul sejak awal era keislaman tak perlu diragukan lagi. Ketegaran dan semangat jihad Abu Bakar yang menjadikannya tidak ragu untuk menghunuskan pedang melawan Abdullah, putranya sendiri yang berperang dalam barisan kafir Quraisy pada perang Badar.
Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 22 dan Kisah Kekecewaan Abu Bakar As-Siddiq
Dalam sebuah riwayat bahkan dikisahkan bahwa Abu Bakar as-Shiddiq menyumbangkan seluruh hartanya untuk menyokong dakwah Islam di Jazirah Arab. Melihat hal tersebut, Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.”
Bisa dikatakan bahwa Abu Bakar as-Shiddiq adalah salah satu pilar penyokong penyebaran Islam. Nama Abu Bakar juga tercatat sebagai sahabat yang berjasa besar melindungi nabi saw pada saat terjadi serangan bertubi-tubi dalam perang Uhud. Keistimewaan lain dari Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang dipercayai Rasul untuk menggantikan mengimami salat pada saat beliau sakit.
Kisah Kesetiaan Abu Bakar as-Shiddiq Menemani Nabi Muhammad saw Dibalik Surah At-Taubah Ayat 40
Ketika penentangan terhadap ajaran Islam di Mekah semakin memuncak, Allah swt memerintahkan Nabi hijrah, para sahabat pun bersegera berangkat. Baik laki-laki atau perempuan, tua dan muda, dewasa maupun anak-anak, bertolak dari Mekkah menuju Madinah. Mereka menempuh perjalanan 460 Km melintasi gurun yang panas dan gersang.
Ibnu Hisyam dalam kitab Sirah Nabawiyah-nya mencatat, Abu Bakar adalah salah seorang sahabat yang bersegera memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah. Ia meminta izin kepada Rasulullah untuk berhijrah. Namun beliau saw bersabda, “Jangan terburu-buru. Semoga Allah menjadikan untukmu teman (hijrah)”. Maksudnya, Rasulullah berharap agar Abu Bakar menjadi temannya saat berhijrah menuju Madinah.
Dalam musyawarah yang panjang dan alot di Darun Nadwah, para pemuka Quraisy akhirnya memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad saw. Algojo dipilih dari para pemuda perkasa yang berasal dari tiap-tiap kabilah Quraisy dilengkapi dengan pedang tajam. Hal ini bertujuan agar Bani Hasyim dan Bani Muthallib (kabilah asal nabi Muhammad saw) tidak berani untuk menuntut balas, sebab semua kabilah Quraisy terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Alkisah, rencana para pemuka Quraisy gagal dan nabi Muhammad berhasil pergi dari Mekah dengan selamat. Namun untuk mengecoh pengejarnya, nabi mengambil jalan memutar. Beliau bersama Abu Bakar as-Shiddiq kemudian menuju gua Tsur untuk bersembunyi, sedangkan para pemuda Quraisy mencoba mengikuti jejak-jejak langkah kaki keduanya. Mereka ingin segera menemukan nabi Muhammad dan membunuhnya.
Nabi dan Abu Bakar kemudian berlalu dan memanjat bukit Tsur untuk masuk ke dalam gua kecil. Sebelum masuk ke gua, Rasul melihat kota Mekah dari kejauhan. Pancaran lampu-lampu kota itu terlihat indah, beliau serasa tak rela meninggalkan tanah kelahirannya. Rasul berkata dalam hatinya, “Alangkah indahnya kau negeriku, kau lah tumpuan cintaku, kalau aku tak usir oleh kaumku, aku tak akan rela meninggalkanmu, Mekah.”
Nabi dan Abu Bakar pun masuk ke dalam gua. Mulut gua itu sangat sempit, hanya bisa dilewati oleh satu orang. Sebelum Rasul masuk, Abu Bakar terlebih dahulu memastikan keamanan gua. Ia tidak ingin Rasul disakiti hewan-hewan berbisa di dalam gua. Setelah aman, Abu Bakar mempersilahkan Rasul masuk ke dalam gua. Ini adalah sedikit gambaran kesetiaan Abu bakar kepada Nabi saw.
Ketika berada di dalam gua, Abu Bakar melihat beberapa lobang di sana. Sebagai orang gurun ia memahami betul bahwa pastilah ada makhluk yang menghuni lobang tersebut, terutama ular berbisa. Abu Bakar lalu membuka sandalnya, ditaruhnya kaki kanannya di mulut lubang itu agar Rasulullah terhindari dari serangan ular yang mungkin akan keluar.
Firasat Abu Bakar terbukti, tak lama setelah ia menutupi lobang dengan kakinya, ia dipatuk oleh ular berbisa. Abu Bakar berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakitnya agar tidak bersuara, sebab pada waktu itu nabi saw sedang beristirahat di pangkuannya. Karena rasa sakit yang luar biasa, Abu bakar sampai meneteskan keringat dingin.
Baca Juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi
Di tengah tidurnya, nabi Muhammad saw merasakan tetesan keringat. Beliau berkata, “Wahai sahabatku, apakah engkau menangis? Abu Bakar menjawab, “Tidak rasul, kakiku digigit ular.” Lalu ditariknya kaki Abu Bakar dari lubang itu, maka kemudian Rasulullah berkata pada ular, “Hai, tahukah kamu? Jangankan daging atau kulit Abu Bakar, rambut Abu Bakar pun haram kau makan.” Dikisahkan bahwa kaki Abu Bakar diobati dengan air liur nabi saw dan keduanya kemudian sampai ke Madinah dengan selamat.
Kisah kesetiaan Abu Bakar as-Shiddiq dalam menemani nabi di atas Allah swt abadikan dalam surah at-Taubah ayat 40 yang bermakna:
إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana” (QS. at-Taubah ayat 40). Wallahu a’lam.