Nabi Ibrahim kita ketahui memiliki kisah pencarian tentang ketuhanan yang epik. Pasalnya, Beliau secara otodidak, dengan akal dan hatinya, dapat merumuskan sendiri kesimpulannya akan keimanan kepada Allah swt. Pernah mendengar kisahnya kan? Beliau merenungi fenomena-fenomena alam di sekitarnya. Bintang, bulan, dan matahari ternyata tidak memenuhi kriteria menjadi tuhannya yang seharusnya. (Kisah Nabi Ibrahim dalam QS. al-An’am [6]: 76-79). Dia berkeyakinan bahwa Tuhan itu harus selalu ada, tidak tiba-tiba gaib dan menghilang entah ke mana, tuhan tidak nge-ghosting.
Perjalanan teologisnya ini pun kemudian menjadikan Nabi Ibrahim mencapai suatu kesimpulan bahwa semua yang ia lihat di alam ini tidak pantas menjadi Tuhannya. Tuhan harus lebih besar dan lebih dari itu lagi.
Kira-kira begitu sikap Nabi Ibrahim. Dari perenungan panjang tersebut, tidak heran jika di kemudian hari ia mendapat pangkat kenabian. Pada titik ini, nabi yang bergelar khalilullah ini masih berada pada tingkat keimanan yang berdasarkan argumentasi logis (burhaniy).
Keimanan burhaniy mudahnya sama seperti pengetahuan kita akan keberadaan orang di dalam rumah dengan melihat tanda-tanda (dalil): Apakah ada sandal di teras? Terkunci atau tidakkah pintunya? Hidupkah lampu rumah tersebut? Jika kita menjumpai ketiga hal ini, muncullah pengetahuan bahwa ada orang di dalam rumah.
Namun ada yang lebih tinggi lagi dari tingkatan ini. Sebab sandal, pintu, dan lampu sebagai dalil tidak selalu dapat memastikan keberadaan orang di dalam rumah. Signifikansinya masih memiliki cela. Dalam bahasan Mantiq, petanda ini termasuk macam dalalah ghoiru lafdziyah.
Kalau yang dipikirkan (mathlub) adalah eksistensi Tuhan, akal akan selalu khawatir dengan hasil rumusannya sendiri perihal keimanan. Selain karena akal menyadari bahwa petanda tak dapat memastikan adanya yang ditandai, ia hanya dapat efektif dalam kapasitasnya yang masih berbatas, sedangkan Tuhan adalah Dzat Yang Tak Terbatas.
Begitulah yang terjadi dengan Nabi Ibrahim pada saat itu. Ada kegelisahan tersendiri dengan keimaman yang diperolehnya lewat cara argumentatif. Sehingga, untuk menghilangkan keresahan ini, agar akal dapat menerima secara sempurna, Nabi Ibrahim ingin mencarikan bukti pasti akan keberadaan dan kekuasaan Allah swt. Apa yang dilakukan oleh Beliau as.?
Baca Juga: Kisah Nabi Ibrahim Mencari Tuhan Melalui Matahari dalam Al-Quran
Nabi Ibrahim, ‘bukan tidak percaya, tapi agar hatiku tenang’
Sebagai manusia terdekat Allah swt., Nabi Ibrahim dengan rendah hati memohon langsung kepada Allah untuk menyempurnakan akalnya; bahwa Allah memanglah Dzat Yang Maha Kuasa. Kisah Nabi Ibrahim episode yang ini diabadikan dalam ayat berikut,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (lebih mantap dan yakin).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 260)
Mengenai ayat ini, Ibnu ‘Asyur (w. 1973) menuliskan dalam kitab tafsirnya, al-Tahrir wa al-Tanwir berikut,
وَقَوْلُهُ: لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي مَعْنَاهُ لِيَنْبُتَ وَيَتَحَقَّقَ عِلْمِي وَيَنْتَقِلَ مِنْ مُعَالَجَةِ الْفِكْرِ وَالنَّظَرِ إِلَى بَسَاطَةِ الضَّرُورَةِ بِيَقِينِ الْمُشَاهَدَةِ وَانْكِشَافِ الْمَعْلُومِ انْكِشَافًا لَا يَحْتَاجُ إِلَى مُعَاوَدَةِ الِاسْتِدْلَالِ وَدَفْعِ الشُّبَهِ عَنِ الْعَقْلِ
“Perkataan Nabi Ibrahim, “tetapi agar hatiku tenang (lebih mantap dan yakin),” maknanya adalah bahwa agar tumbuh dan tertanam keyakinan kuat akan pengetahuanku (Nabi Ibrahim) atas kuasa Allah. Dan supaya keimananku ini tidak lagi berada pada taraf keyakinan argumentative yang disandarkan pada pemikiran dan perenungan, hingga menjadi keimanan yang aksiomatis (dloruriy), dengan pengalaman nyata (musyahadah) dan supaya juga tersingkap tabir-tabir pengetahuan yang tidak lagi membutuhkan alasan-alasan rasional dan demi menghilangkan keraguan dari akal pikiran.” (Al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 3 hal 39)
Baca Juga: Tafsir Surat Al-An’am Ayat 76-79 : Mengulik Nalar Tauhid Nabi Ibrahim
Dengan pengalaman menyaksikan langsung kuasa Tuhan ini, Nabi Ibrahim menjadi yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah memang Maha Kuasa. Konklusi ini tidak lagi ia peroleh dari beberapa premis argumentatif, tapi secara aksiomatis (dloruriy) Nabi Ibrahim mengetahui hal itu. Sama seperti pengetahuan kita akan adanya tuan rumah ketika beliau keluar langsung menyambut kita. Tak ada keraguan, yang ada hanya kebahagiaan dan ketentraman hati.
Mempertanyakan semuanya, termasuk salah satu hal baik yang dapat kita teladani dari kisah Nabi Ibrahim, karena cakupannya semua hal, memikirkan perihal ketuhanan juga termasuk di dalamnya. Apa, siapa, dan bagaimana juga kita telisik. Namun karena permasalahan seputar ketuhanan ini dalam akidah cukup riskan, yang jika salah paham akan berakibat buruk, maka kegiatan mempertanyakan seputar ketuhanan ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki akar pikir dan nalar sehat. Berakhlak dalam menalar juga tidak boleh dilupakan, seperti yang dicontohkan dalam kisah Nabi Ibrahim as.
Wa Allahu a’lam