Kisah Nabi Ibrahim Mencari Tuhan Melalui Matahari dalam Al-Quran

Kisah Nabi Ibrahim Mencari Tuhan Melalui Matahari
Kisah Nabi Ibrahim Mencari Tuhan Melalui Matahari

Salah satu fungsi umum matahari adalah sebagai sumber energi yang paling besar di dunia. Berbicara tetang matahari, ada sebuah kisah Nabi Ibrahim a.s. tatkala mencari Tuhannya melalui pengalaman empiris, sehingga ia berhasil menemukan Tuhan yang sebenarnya, yaitu Allah swt selaku pencipta langit dan bumi (inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathara samawati wal ardh). Kisah ini begitu menarik karena ada peran Matahari dalam proses pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Kisah ini juga diabadikan dalam firman-Nya Q.S. al-An’am [6]: 78,

فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ

Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (Q.S. al-An’am [6]: 78)

Baca juga: Kajian Semantik Makna Kata Khauf dalam Al-Quran

Energi Matahari dalam Tafsir

Ayat di atas menceritakan prosesi pencarian jati diri Nabi Ibrahim dengan sangat gamblang. Sebenarnya ayat ini saling terkait dengan beberapa ayat sebelumnya, persisnya dari ayat 74-79. Namun pada kesempatan ini, penulis mengulas ayat di atas sebagai core pembahasan. Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsirkannya dengan tatkala Nabi Ibrahim melihat matahari terbit, tepatnya al-Tabari menggunakan term thali’ah (طالعة), artinya meriset, meneliti, mengkaji dan mengamati.

Jadi Nabi Ibrahim meriset betul apakah benar bahwa Tuhan itu besar? Al-Tabari mengisahkannya dengan haadza akbar min al-kawakib wal qamari (ini adalah bintang terbesar). Akan tetapi, ternyata ia berkesimpulan bagaimana mungkin ia disebut sebagai Tuhan karena ia dapat tenggelam dan terbit. Lalu, Nabi Ibrahim menyucikan pengetahuan dan pemahamannya tentang Tuhan sebagai berikut,

أي من عبادة الآلهة والأصنام ودعائه إلهاً مع الله تعالى

“(Aku berlepas diri) dari segala sesembahan berhala dan kembali kepada Allah ta’ala”.

Ayat ini juga mengkabarkan kepada kita sebagaimana perkataan al-Tabari,

وهذا خبر من الله تعالى ذكره عن خليله إبراهيم عليه السلام، أنه لما تبين له الحقّ وعرفه، شهد شهادة الحقّ، وأظهر خلاف قومه أهل الباطل وأهل الشرك بالله، ولم يأخذه في الله لومة لائم، ولم يستوحش من قيل الحقّ والثبات عليه، مع خلاف جميع قومه لقوله وإنكارهم إياه عليه

“Dan ini merupakan khabar dari Allah swt atas kisah pencarian kekasih-Nya, Nabi Ibrahim a.s. Bahwa tatkala telah tampak kebenaran baginya, dia telah menyaksikan dengan kesaksian yang haq, dan menampakkkan perselisihan, kebatilan dan kesyirikan umatnya. Dan dia tidak mempersalahkan orang yang mencela di hadapan Allah, ia tidak takut kepada celaan. Dia juga tidak merasa kesepian dari orang yang diberitahu kebenaran, ia merasa tabah atas-Nya sekalipun diterjang perbedaan dan pengingkaran dari umatnya”.

Baca juga: Surah Al-Maidah [5] Ayat 5: Hukum Hewan Sembelihan non-muslim, halalkah?

Sedangkan al-Raz dalam Mafatih al-Ghaib menafsirkan ayat di atas bahwa sebenarnya Nabi Ibrahim telah mengantongi keyakinan yang mantap akan Allah swt sebagai Tuhan. Hal ini teruntai dalam argumentasi al-Razi,

الحجة الثانية: أن إبراهيم عليه السلام كان قد عرف ربه قبل هذه الواقعة بالدليل. والدليل على صحة ما ذكرناه أنه تعالى أخبر عنه أنه قال قبل هذه الواقعة لأبيه آزر:{ أَتَتَّخِذُ أَصْنَاماً ءالِهَةً إِنّى أراك وقومك في ظلال مبين } [الأنعام: 74]

“Argumen kedua: bahwa Ibrahim as, telah mengenal Tuhannya sebelum kejadian ini dengan mengantongi bukti empirik. Adapun bukti yang sahih sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya, “Pantaskah engkau (ayah Nabi Ibrahim) menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku telah melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata (Q.S. al-An’am [6]: 74)”

Lebih jauh, al-Razi menafsirkan proses pencarian jati diri Nabi Ibrahim ini bahwa Nabi Ibrahim mencari “agama” dan kebenaran atas dirinya dan keberadaan Tuhannya (kana yathlubu ad-din wal ma’rifati li nafsihi) dan ia berhasil menemukannya sehingga semakin mantaplah keimanan dan ketakwaannya kepada Allah.

Sedikit berbeda, al-Qurtubi, misalnya ia lebih menafsiri ayat di atas dengan corak kebahasaan. Redaksi al-syamsa bazighatan oleh al-Qurtubi ditafsiri dengan ru’yatul ‘ain (penglihatan dengan indera mata). Jadi Nabi Ibrahim saat itu mengamati proses terbit tenggelamnya matahari menggunakan indera mata (hissi). Kemudian redaksi haadza rabbi (ini Tuhanku) bermakna ini adalah Tuhanku yang tinggi (haadza thali’u rabbi) sebagaimana diwartakan al-Kisa’i dan al-Akhfash. Dalam pendapat yang lain dikatakan, ini adalah cahaya (haadza dhau’).

Penafsiran dengan nuansa sufistik juga disampaikan al-Qusyairi. Dalam Lathaif al-Isyarat-nya, al-Qusyairi menuturkan,

ويقال قوله – عند شهود الكواكب والشمس والقمر – { هَـٰذَا رَبِّي } إنه كان يلاحظ الآثار والأغيار بالله، ثم كان يرى الأشياء لله ومن الله، ثم طالع الأغيار محواً في الله. أفردتُ قصدي لله، وطهَّرت عقدي عن غير الله، وحفظت عهدي في الله لله، وخلصت وجدي بالله، فإني لله وبالله، بل محو في الله والله الله

“Dijelaskan bahwa tatkala Nabi Ibrahim menyaksikan bintang-bintang, matahari dan bulan lalu mengatakan (ini Tuhanku), maka sesungguhnya ia telah melihat bekas (atsar) dan segala sesuatu yang lain mellaui Allah. Ia melihat sesuatu karena Allah, dari Allah. Kemudian Nabi Ibrahim memurnikan niat dan menghadapkan wajahnya, seraya berkata, “Aku berniat dan bermaksud untuk Allah, aku sucikan akidahku dari sesuatu selain Allah, aku jaga keyakinanku dan komitmenku hanya untuk Allah, dan aku ikhlas karena Allah, maka ketika itu keyakinan dan keimanan Nabi Ibrahim telah dipenuhi Allah Allah dan Allah”.

Baca juga: Kedudukan Nabi saw dan Wahyu Al-Quran Menurut Malek Bennabi

Keberadaan Matahari Sebagai Proses Pencarian Tuhan

Secara eksplisit, ayat di atas menunjukkan betapa sentralnya matahari sehingga Allah swt menjadikannya sebagai “pelajaran” bagi Nabi Ibrahim a.s atas prosesi pencarian kediriannya. Matahari ternyata tidak hanya mengilhami ilmu sains, namun juga ilmu agama. Posisi matahari telah menegaskan peran akal untuk mencerna dan mengolah informasi sedemikian rupa guna kepentingan ilmu pengetahuan di satu sisi dan keimanan (teologi) pada sisi yang lain.

Al-Ghazali menjelaskan hadirnya matahari telah mengilhami akal sehingga sumber cahaya, katanya adalah akal. Baginya, matahari hanya sebagai pemantik. Justru karena akal lah manusia dapat memproses energi yang ditimbulkan bulatan panas dan menghasilkan satu kemanfaatan bagi kehidupannya sehari-hari.

Muhammad Mahdi al-Asafi dalam kitabnya, al-Hawa fi Hadits ahl al-Bait, menandaskan bahwa akal mempunyai tiga peran dalam kehidupan manusia – belajar dari kisah Nabi Ibrahim di atas – yaitu (1) mengenal Allah adalah pangkal dan entry point tugas akal, (2) ketaatan mutal kepada segala perintah Allah sehinga ia kenal dengan rububiyah Allah dan menghasilkan satu ketaatan, dan (3) taqwa kepada Allah. Ketiga fungsi ini dijalankan dengan baik oleh Nabi Ibrahim sehingga ending-nya ia bertakwa kepada Allah dan semakin mantap kokoh keimanannya.

Dengan demikian, ayat di atas menjadi ibrah (hikmah) bagi kita semua ternyata semua ciptaan Allah tak terkecuali matahari dalam pembahasan ini mampu menjadi sumber ilmu agama yang mampu menguatkan dan memperkokoh keimanan kita kepada Allah. Semoga kita mampu memetik hikmah dari segala ciptaan-Nya. Wallahu A’lam.