BerandaKisah Al QuranKisah Utsman bin Thalhah dan Sabab Nuzul Surah Alnisa’ Ayat 58

Kisah Utsman bin Thalhah dan Sabab Nuzul Surah Alnisa’ Ayat 58

Kisah Utsman bin Thalhah al-‘Abdary, nama salah satu sahabat Rasul Saw., yang disepakati oleh para mufasir menjadi salah satu orang yang terlibat dalam sabab nuzul surah Alnisa’ [4]: 58. Utsman bin Thalhah masuk Islam pada masa Fathu Makkah, dan ia merupakan seorang yang diberi amanah sebagai juru kunci Kakbah.

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Alnisa’ [4]: 58)

Tulisan ini bermaksud untuk mengulas kisah Utsman bin Thalhah yang menjadi sabab nuzul atau sebab turunnya ayat ke-58 surah Alnisa’ tersebut, serta hikmah di balik kisahnya yang juga bisa menjadi pelajaran bagi semua manusia dalam adab mengemban amanah.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 58-61

Biografi Utsman bin Thalhah

Nama aslinya adalah Utsman bin Thalhah bin Abdullah bin Abdul Uzza bin Utsman bin Abdud Dar bin Qushayy bin Kilab al-Qurasyi al-‘Abdariy. Ayahnya bernama Thalhah bin Abi Thalhah, dan pamannya bernama Utsman bin Abi Thalhah. Ia memiliki tiga saudara; Musafi’, al-Jallas, dan al-Harits. Mereka semua mati terbunuh dalam keadaan kafir pada Perang Uhud. (Abu Umar Yusuf bin Abdullah an-Namiri al-Qurthubi,al-Isti’ab fi Ma’rifatis Shahabah, Jilid 3,1034).

Ia masuk Islam pada tahun 8 Hijriah, bersama Khalid bin Walid dan Amru bin al-‘Ash. Saat bertemu Utsman di perjalanan menuju Madinah, Khalid sempat ragu untuk mengajaknya masuk Islam, lantaran ia mengerti bahwa seluruh keluarga Utsman terbunuh oleh kaum Muslim pada Perang Uhud.

Namun ternyata, setelah Khalid menawarkannya, Utsman pun setuju untuk bergabung dengannya. Bersama Amru bin al-Ash, berangkatlah mereka bertiga ke Madinah untuk bersama berbaiat kepada Rasulullah Saw. dan masuk Islam. (Abul Fida` Isma’il bin Umar bin Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, Jilid  6, 405).

Utsman lalu tinggal di Madinah sampai Rasulullah wafat. Sepeninggal beliau, Utsman kembali ke Makkah dan tinggal sana, sampai wafatnya pada tahun 42 H. Sepeninggalnya, kunci Kakbah diserahkan kepada Syaibah, sepupunya. (Ibnu al-Atsir, Jami’ul Ushul, Jilid 12, 597).

Baca Juga: Kisah Thalhah Bin Ubaidillah di Perang Uhud

Kisah Utsman bin Thalhah dalam Surah Alnisa’ [4]: 58

Kisahnya bermula dari peristiwa Fathu Makkah. Pembersihan Kakbah dari berhala-berhala Quraisy merupakan salah satu program Fathu Makkah. Pada waktu itu, kunci Kakbah masih dipegang oleh Utsman bin Thalhah.

Ibnu Katsir menghimpun dua riwayat masyhur mengenai kisah Utsman bin Thalhah ini. Pertama, dari jalur Muhammad bin Ishaq. Rasulullah meminta kunci Kakbah dari Utsman untuk beliau masuk ke dalam Kakbah. Beliau menemukan patung burung merpati dari kayu, dan beliau pun menyingkirkannya agar tidak menjadi penghalang bagi kiblat salat.

Setelah Kakbah dibersihkan, Rasulullah Saw. berdiri di depan pintu Kakbah, sementara orang-orang berkumpul di masjid. Kemudian Rasulullah berkhutbah:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، ‌صَدَقَ ‌وَعْدَهُ، ‌وَنَصَرَ ‌عَبْدَهُ، ‌وَهَزَمَ ‌الْأَحْزَابَ ‌وَحْدَهُ، أَلَا إِنَّ كُلَّ مَأْثُرَةٍ تُعَدُّ وَتُدَّعَى، وَدَمٍ وَمَالٍ تَحْتَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ إِلَّا سِدَانَةَ الْبَيْتِ، أَوْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ…

“Tiada Tuhan selain Allah. Dia telah menepati janji-Nya, memenangkan hamba-Nya, dan menaklukkan pasukan sekutu dengan sendiri-Nya. Ketahuilah, seluruh kemuliaan yang dipersiapkan dan diklaim, darah, dan kekayaan,berada di bawah kedua kakiku ini, kecuali wewenang sidanah (perawatan Kakbah) dan siqayah (pemberi minuman kepada jamaah haji)…” (HR. Ahmad)

Setelah itu, Rasulullah duduk di dalam masjid. Datanglah Ali bin Abi Thalib ra. yang membawa kunci Kakbah di tangannya, dan berkata, “Wahai Rasulullah, serahkahlah kewenangan hijabah/sidanah dan siqayah kepada kami. Selawat Allah dilimpahkan padamu.”

Namun, Rasulullah Saw. malah bertanya, “Di mana Utsman bin Thalhah?”.

Dipanggillah Utsman bin Thalhah, kemudian Rasulullah memberikan kunci Kakbah itu sambil berkata, “Inilah kuncimu (kunci Kakbah) wahai Utsman, hari ini adalah hari kebaikan dan penepatan janji,” sembari membacakan ayat ke-58 dari surat Alnisa’ tersebut.

Kedua, yaitu riwayat dari Ibnu Mardawaih dari jalur al-Kalbiy, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas. Saat peristiwa Fathu Makkah, Rasulullah Saw. memanggil Utsman bin Thalhah dan berkata kepadanya, “Berikan aku kunci Kakbah.” Utsman pun menemui Rasulullah dengan membawa kunci tersebut.

Namun begitu, Utsman menyodorkan kunci itu, Abbas bin Abdul Muthalib berdiri menghampiri Rasulullah Saw., dan berkata, “Wahai Rasulullah, demi ayahku dan ibuku, berikanlah kunci itu dan wewenang memberi minum orang haji kepadaku.” Utsman pun menarik tangannya kembali.

Rasulullah Saw. kembali berkata, “Berikan kepadaku kuncinya, wahai Utsman.” Utsman kembali menyodorkan kuncinya, tetapi Abbas mengatakan permintaannya lagi, dan Utsman pun menarik tangannya lagi.

Rasulullah Saw. kemudian bersabda, “Wahai Utsman, jika kau beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir, berikanlah aku kuncinya.” Setelah itu, Utsman pun akhirnya bisa benar-benar memberikannya seraya berkata, “Inilah kuncinya, dengan amanah Allah Swt.”

Rasulullah Saw. menemukan patung Ibrahim as. di dalamnya, dengan obor api yang biasa disembah oleh kaum Quraisy. Singkat cerita, Rasulullah pun menyingkirkannya. Setelah itu, Rasulullah keluar dari Kakbah dan tawaf sekali atau dua kali putaran.

Saat itulah Jibril as. turun dan menyampaikan ayat ke-58 surat Alnisa’, agar kunci Kakbah dikembalikan kepada Utsman. Rasulullah Saw. pun melakukannya, mengembalikan kunci tersebut kepada Utsman sambil menyampaikan ayat tersebut.

Sepeninggalnya, Utsman bin Thalhah menyerahkan kunci Kakbah kepada sepupunya, Syaibah. (Abul Fida` Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, 299-300)

Baca Juga: Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran dan Pahala Memandangnya

Hikmah dari Kisah Utsman bin Thalhah dalam Surah Alnisa’ [4]: 58

Secara historis, ayat tersebut mungkin berkaitan dengan Utsman bin Thalhah. Namun secara umum, ayat tersebut berlaku sebagai pengingat untuk semua manusia, bahwa amanah sebaiknya diserahkan kepada yang ahli dalam melakukannya. Boleh jadi, menjadi juru kunci Kakbah bukanlah tugas yang mudah, serta membutuhkan teknik khusus untuk melakukannya.

Sejak Qushay bin Kilab menyerahkan wewenang penjagaan Kakbah kepada Abdud Dar, putra Qushay dan nenek moyang Utsman, sejak itu pula keturunan Abdud Dar mewarisi teknik penjagaan Kakbah tersebut. Dimulai dari beliaulah penjagaan kunci Kakbah turun temurun sampai ke tangan Utsman. (http://articles.islamweb.net/Media/index.php?page=article&lang=A&id=185872/)

Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keutuhan kunci Kakbah dari tangan pertamanya. Sebagaimana resep masakan terkenal suatu daerah perlu diserahkan turun temurun dalam garis keluarga yang menciptakannya, untuk menjaga keutuhan cita rasa masakan tersebut. Barangkali inilah hikmah di balik penyerahan kunci Kakbah tetap kepada Utsman bin Thalhah.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Menjaga Amanah

Boleh jadi juga, Utsman bin Thalhah diberi amanah ini karena sikap tawadhu’ yang selalu ia terapkan. Terlepas dari statusnya yang merupakan keturunan langsung dari juru kunci Kakbah, ia tidak pernah sedikitpun meminta kepada Rasulullah Saw. untuk menetapkan kewenangan itu padanya. Ia hanya memberikan kunci itu jika diperintah oleh Rasulullah Saw., sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah Swt. dan rasul-Nya.

Wallahu a’lam.

Ainusshoffa Rahmatiah
Ainusshoffa Rahmatiah
Editor Buku di CV. Ziyad Visi Media Surakarta. Berminat pada kajian Living Qur’an, Sirah Nabawiyah, dan Asbabun Nuzul.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

0
Tema tentang Isrāīliyyāt ini sangat penting untuk dibahas, karena banyaknya riwayat-riwayat Isrāīliyyāt dalam beberapa kitab tafsir. Hal ini perlu dikaji secara kritis karena riwayat ...