Konflik Bacaan Al-Quran, Preferensi Bacaan atas Surah Al-Isra Ayat 106

preferensi bacaan terhadap teks Al-Quran
preferensi bacaan terhadap teks Al-Quran

Apakah makna dalam wahyu Al-Quran bersumber dari Tuhan? Tidak! Saya mengajukan tesis utamabahwa makna atas suatu teks Al-Quran bukanlah “makna yang diwahyukan secara ilahi” (a divinely revealed meaning), tetapi “makna yang dikonstruksikan [oleh penafsir] secara manusiawi” (a humanly constructed meaning).

Tafsīr yaitu produk pemikiran penafsir wahyu yang berusaha untuk memberikan konstruksi makna atas teks-teks wahyu Al-Quran melalui dua mekanisme utama, yakni pembacaan dan penafsiran. Dalam proses konstruksi makna inilah, para penafsir sering berbeda bukan hanya dalam preferensi bacaan terhadap teks Al-Quran sehingga tercipta konflik bacaan atas teks yang sama, tetapi juga dalam penafsiran yang subjektif sehingga terkonstruksi makna yang beragam dan bahkan kontradiktif.

Baca Juga: Lokus Makna Al-Quran: Otoritas Teks atau Otoritas Penafsir?

Preferensi bacaan atas surah Al-Isra ayat 106

Konflik atas preferensi bacaan terhadap teks Al-Quran yang berbeda dan konstruksi makna yang kontradiktif menjadi karakteristik utama tradisi penafsiran Al-Quran pada masa formatif dan abad pertengahan Islam. Satu aspek yang sering terlupakan dalam mengkaji tugas utama seorang mufassir adalah fungsinya sebagai reader, pembaca teks Al-Quran. Ia bukan sekedar mahir dalam membaca teks Al-Quran, tetapi juga kompeten dalam memproduksi makna di balik pilihan bacaannya. Karena itulah, preferensi bacaan terhadap teks Al-Quran sejatinya berpengaruh secara langsung terhadap konstruksi makna yang dikehendaki oleh pembaca.

Inilah yang terjadi ketika mufassir menunjukkan preferensi bacaan dan sekaligus makna atas Al-Quran, surah Al-Isra [17]:106. Jika hanya berpedoman pada slogan pembaruan Islam yang sudah kadaluwarsa itu, “kembali ke Al-Quran,” lalu memahami pesan itu hanya dengan membaca Al-Quran/17:106 secara literal, maka Al-Quran berubah menjadi Kitab Suci yang kehilangan konteks variasi bacaan dan kehilangan maknanya yang beragam. Oleh sebab itu, mufassir periode awal dan pertengahan Islam menunjukkan suatu tradisi pembacaan Al-Quran, surah Al-Isra [17]:106 secara berbeda dan dengan implikasi makna yang berbeda pula.

Dalam tradisi tafsīr yang multivokal, Al-Quran, surah Al-Isra [17]:106 dibaca dengan dua kemungkinan bacaan yang berbeda: qur’ānan faraqnāhu (“Qur’ān yang Kami buat jelas, detail, dan pasti”) dan qur’ānan farraqnāhu (“Qur’ān yang Kami telah turunkan secara gradual, sedikit demi sedikit). Makna kata kerja f-r-q tidaklah inheren dan melekat pada pewahyuan Al-Quran, surah Al-Isra [17]:106, dan, karena itu, saya berargumen bahwa tidak ada makna dalam teks wahyu Al-Quran. Makna hanya muncul ketika teks Al-Quran itu berinteraksi dengan pembaca, melalui proses pembacaan dan penafsiran oleh al-mufassirūn.

Baca Juga: Tafsir Al-Qur’an Bersifat Multivokal, Ini Tiga Alasannya

Ath-Thabari dan strategi ‘pemaknaan Al-Quran yang benar’

Abū Ja‘far b. Jarīr Ath-Thabari (w.310/923) adalah penafsir agung awal abad pertengahan Islam yang untuk pertama kalinya merekam perbedaan dua bacaan yang terjadi di kalangan pembaca Al-Quran (qurra’; reciters of the Qur’ān). Dalam karya tafsirnya yang monumental, Jāmi‘ al-bayān ‘an ta’wīl āy Al-Quran, 30 vol. (Cairo: Mustafa Al-Bābi al-Halabi, 1986), Ath-Thabari mengklasifikasikan dua kategori perbedaan bacaan di kalangan pembaca Al-Quran, yakni mayoritas dan minoritas.

Menurutnya, mayoritas adalah pembaca Al-Quran yang berasal dari pusat-pusat studi Islam di kota-kota besar (qurra’ al-amsār), yang memilih untuk membaca kata f-r-q dalam Al-Quran, surah Al-Isra [17]:106 sebagai faraqnāhu, yakni bentuk pertama dari kata kerja fa‘ala. Mereka memilih bacaan pertama ini untuk menafsirkan ayat ke 106 surah Al-Isra dengan makna: “Dan Qur’ān yang Kami buat pasti (ahkamnāhu), detail (fasalnāhu), dan jelas (bayyanāhu) (Ath-Thabarī, 1986, vol. 15, h. 178). Karena itu, konstruksi makna Qur’ān ini merupakan produk langsung yang berasal bukan dari Tuhan, tetapi dari preferensi model bacaan pertama yang dilakukan, disetujui, dan bahkan dikanonisasikan oleh mayoritas pembaca Al-Quran.

Konstruksi makna dari model pembacaan pertama ini berbeda dengan makna dari hasil preferensi bacaan yang berbeda, yakni model pembacaan kedua. Menurut Ath-Thabarī, pembacaan kedua ini hanya dilakukan oleh sekelompok minoritas pembaca Al-Quran, yang memilih untuk membaca kata kerja f-r-q dalam surah Al-Isra [17]:106 sebagai farraqnāhu, bentuk kedua dari kata kerja fa‘ala, yang menghasilkan makna: “Dan Qur’ān yang Kami telah turunkan secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit.”

Dengan pembacaan kedua ini, konstruksi makna Al-Quran, surah Al-Isra [17]:106 berubah secara total dari makna Qur’ān yang jelas, detail dan pasti, ke arah makna Qur’ān yang berkarakter gradual, yang proses pewahyuannya berlangsung secara berangsur-angsur, setahap demi setahap, selama periode mulai dari delapan belas, dua puluh, dua puluh dua, sampai bahkan dua puluh tiga tahun. Makna ini menekankan karakter dari wahyu yang masih aktif, sedang berlangsung, dan terbuka untuk dihapus dan bahkan direvisi dengan pewahyuan yang lebih baik dari yang sudah diberikan kepada Muḥammad selama dalam kurun kenabian.

Dengan demikian, konstruksi makna surah Al-Isra [17]:106 yang terkait dengan aspek gradualisme pewahyuan merupakan produk yang berasal, sekali lagi, bukan dari Tuhan secara langsung, tetapi justru dari preferensi bacaan terhadap teks Al-Quran dari sekelompok minoritas pembaca Al-Quran. Mereka inilah yang memegang otoritas dalam tradisi Islam bukan sekadar untuk menentukan preferensi bacaan terhadap suatu teks Al-Quran, tetapi juga sekaligus untuk menentukan makna yang dikehendakinya dari teks wahyu itu sendiri.

“Makna yang dikehendakinya” (an intended meaning) adalah konsekuensi langsung dari preferensi bacaan yang dipilihnya. Di tengah konflik dua bacaan yang berbeda dan dengan konstruksi makna yang berbeda pula, Ath-Ṭabarī menunjukkan posisi intelektualnya secara cukup jelas: “Dalam pendapat kami, bacaan yang benar di antara dua bacaan itu adalah bacaan pertama” (awla bi-al-qira’taini bial-sawāb ‘indana al-qira’at al-ūla) (Ath-Thabarī, 1986, vol. 15, h. 178/9).

Baca Juga: Tafsir, Kerja Penafsiran dan Dua Kerja Utama Seorang Penafsir

Ekspresi atas klaim pada kebenaran ini (awla bi-al-sawāb) menunjukkan posisi intelektual Ath-Thabari bahwa dia sendiri lebih memilih pada bacaan pertama, faraqnāhu, sebagai “bacaan yang benar.” Konsekuensinya, dia menegaskan preferensi bacaan faraqnāhu untuk memutuskan dan sekaligus mengontrol pesan Qur’ān 17:106 dengan makna yang dikehendakinya, yakni Tuhan menjadikan Qur’ān sebagai Kitab Suci yang jelas, detail, dan pasti, sehingga Muhammad dapat membacakan wahyu yang diterimanya itu kepada umatnya secara perlahan-lahan. Spirit utama pewahyuan Al-Quran, surah Al-Isra [17]:106 ini, dalam logika Ath-Thabarī, tidak terkait sama sekali dengan proses pewahyuan secara gradual.

Lebih dari sekadar preferensi bacaan terhadap teks Al-Quran, al-Ṭabarī juga melakukan proses stabilisasi dan kontrol atas makna ayat 106 surah Al-Isra melalui mekanisme konsensus. Dalam khazanah tradisi Islam, konsensus yang biasa dipakai dalam studi fikih, ternyata juga telah dipakai oleh al-Ṭabarī dalam kajian tafsīr, sebagai mekanisme kesepakatan di kalangan pembaca dan penafsir Al-Quran sekaligus.

Dengan memakai mekanisme konsensus ini, maka bacaan yang disahkan dan dikanonisasikan dalam tradisi Islam adalah bacaan pertama, faraqnāhu, sebagai “bacaan yang benar”. Akibatnya, ketika konsensus atas bacaan pertama telah disepakati oleh mayoritas pembaca/penafsir Al-Quran, maka kebenaran bacaan pertama menjadi otoritatif secara epistemologis dan, menurut Ath-Thabarī, tidak lagi diperkenankan terjadinya “perbedaan bacaan” (khilāf al-qira’a), terutama terkait dengan masalah-masalah fundamental dalam bidang agama dan Al-Quran (min amr al-dīn wa al-Qur’ān).

Dalam konteks inilah, Ath-Thabarī berperan sangat besar dalam proses pembakuan bacaan, stabilisasi dan kontrol atas makna Al-Quran yang dikanonsasikan melalui mekanisme konsensus dalam tradisi tafsīr. Awalnya, dia memang membuka diri terhadap keragaman bacaan dan penafsiran Al-Quran, tetapi hal itu hanya dipakai sebagai strategi untuk menentukan “makna Al-Quran yang benar,” sesuai pikirannya sendiri.