BerandaKisah Al QuranKonsekuensi Logis dalam Kisah Nabi Zakariya Menurut Sayyid Muhammad Thanthawi

Konsekuensi Logis dalam Kisah Nabi Zakariya Menurut Sayyid Muhammad Thanthawi

Konsekuensi logis merupakan metode berfikir yang melahirkan suatu hal, baik itu ucapan atau perbuatan memengaruhi kepada hasil akhir. Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil tersebut adalah dampak dari perbuatan atau perkataan manusia itu sendiri. Metode tersebut sebagaimana yang digunakan oleh tokoh tafsir Mesir, Sayyid Muhammad Thanthawi ketika menganalisa perbuatan Nabi Zakariya.

Ketika menggunakan jalan berfikir konsekuensi logis, Sayyid Thanthawi telah membangun sebuah pondasi pemahaman terkait dengan hakikat sebuah keterhubungan antara satu kalimat atau ayat dengan ayat lainnya. Dengan demikian, kesinambungan antara ayat satu dengan yang lainnya tidak bisa dinafikan untuk melahirkan tafsir yang dapat difahami secara mendetail.

Contoh yang paling konkret ialah mengenai kesuksesan Nabi Zakariya –alaihi salam– mempunyai keturunan di usia yang bisa dibilang tidak muda lagi. Atas usaha dan do’a yang sungguh-sungguh Nabi Zakariya mendapatkan apa yang ia inginkan. Pertanyaannya kenapa do’a dan keinginan Nabi Zakariya dipenuhi oleh Allah?

Bukan hanya karena Nabi Zakariya berstatus Nabi yang mempunyai keistimewaan, namun perbuatan dan perkataan beliau lah yang memberikan peran secara signifikan hingga cita-cita dan keinginannya terealisasi.

Baca juga: Mengenal Empat Tipologi Anak dalam Al-Quran

Sebelumnya, diketahui bahwa usia Nabi Zakariya saat itu menginjak akhir usia, yakni 120 tahun dan istrinya memasuki usia 98 tahun (Tafsīr al-Jalālain 1,71). Sebagaimana yang terdapat dalam Q.S Āli Imrān ayat 40.

قَالَ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَٰمٞ وَقَدۡ بَلَغَنِيَ ٱلۡكِبَرُ وَٱمۡرَأَتِي عَاقِرٞۖ قَالَ كَذَٰلِكَ ٱللَّهُ يَفۡعَلُ مَا يَشَآءُ  ٤٠

Kata Zakariya, “Wahai Tuhanku! Betapa aku akan mendapatkan anak sedangkan aku sangat tua dan istriku seorang yang mandul. Firman Allah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.

Namun, keadaan tersebut tidak mengakibatkan Nabi Zakariya putus asa dan tidak berhenti berharap kepada Allah, walaupun ditinjau dari adat (kebiasaan) tidak memungkinkan untuk mempunyai keturunan.

Dalam hal ini, Nabi Zakariya terus memberikan pengabdian dengan semaksimal mungkin dan terus berdoa kepada Allah; firman Allah Q.S Al-Anbiya ayat 89-90

وَزَكَرِيَّآ إِذۡ نَادَىٰ رَبَّهُۥ رَبِّ لَا تَذَرۡنِي فَرۡدٗا وَأَنتَ خَيۡرُ ٱلۡوَٰرِثِينَ  ٨٩ فَٱسۡتَجَبۡنَا لَهُۥ وَوَهَبۡنَا لَهُۥ يَحۡيَىٰ وَأَصۡلَحۡنَا لَهُۥ زَوۡجَهُۥٓۚ إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ  ٩٠

Dan Zakariya, tatkala ia menyeru Rabbnya, “Ya Rabbku! Janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri, dan Engkaulah Waris yang paling baik. Maka Kami memperkenankan doanya dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya mengandung, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera di dalam kebaikan-kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harapan dan takut, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.

Dalam ayat tersebut terdapat tiga pokok pembahasan; pertama, berdo’anya Nabi Zakariya kepada Allah; kedua, do’anya dikabulkan; ketiga, konsekuensi logis terkabulnya do’a Nabi Zakariya.

Kendati demikian, untuk poin pertama dan kedua tidak akan terlalu dideskripsi secara komprehensif terkait dengan interpretasi dan maknanya. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa yang dimaksud فَرۡدٗا dalam ayat tersebut bukan secara hakiki, melainkan menyendiri dengan tidak mempunyai keturunan.

Baca juga: Benarkah Malaikat Sujud Kepada Nabi Adam? Begini Pendapat Mufassir

Muhammad Sayyid Thanthawi di dalam tafsirnya (al-Tafsīr al-Wasīṭ 9,246) menjelaskan secara implisit ada dua perbuatan Nabi Zakariya yang sekaligus menjadi konsekuensi logis terkabulnya do’a (hasil) Nabi Zakariya. Pertama, bergegas dalam melakukan kebaikan; kedua, berharap dan takut kepada Allah, terlebih ketika berdo’a.

Begegas dalam Kebaikan

Poin pertama ini, mungkin sederhana dan tidak sukar difahami karena dalam realita sosial hubungan seperti ini sering terjadi. Tatkala seseorang membutuhkan bantuan dari orang lain, orang tersebut dalam normanya harus bergegas ketika diperintahkan oleh orang lain. Hubungannya, susah menjalankan perintah maka akan sulit juga ia mendapatkan apa yang ia inginkan.

Sama halnya ketika seorang hamba menginginkan prioritas dari Tuhannya, maka apa yang diperintahkan oleh Tuhannya haruslah disegerakan. Dan inilah yang dimaksud dengan bergegas dalam kebaikan. Sayyid Thanthawi sangat tegas menyebutkan bahwa Allah memberikan kepada mereka (termasuk Nabi Zakariya) berbagai nikmat karena mereka merespon perintah-Nya dengan cepat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankannya, baik dengan ucapan atau perbuatan.

Baca juga: Surah Al-Hajj [22] Ayat 36-37: Dua Tujuan Ibadah Kurban

Oleh karena itu, sebelum kita meminta apa yang diinginkan terlebih dahulu memperbaiki hubungan kita dengan Allah, karena konsekuensi logis mengatakan demikian. Artinya, ketika frekuensi kebaikan seseorang tinggi maka pintu prioritas utama dari Allah terbuka lebar.

Berharap dan Takut Ketika Berdo’a

Keberhasilan Nabi Zakariya dalam komunikasi dengan Allah ialah menyertakan rasa takut dan harapan ketika komunikasi berlangsung. Rasa takut tersebut bisa diekspresikan dengan cara memfokuskan pada redaksi do’a, melembutkan suara, dan tunduk serta pasrah. Sehingga itu semua adalah repsentasi dari ketakutan terhadap kebesaran, siksa, dan ancaman Allah. Maka dari itu, memposisikan sebagai hamba yang sempurna marupakan keniscayaan.

Selain mempunyai rasa takut, manusia harus mempunyai harapan yang tinggi kepada-Nya, dalam waktu yang sama ketergantungan terhadap sesama akan terminimalkan. Kedua sifat tersebut akan melahirkan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhannya, sekaligus dibarengi dengan rendah hati, yang menafikan sifat kesombongan dan keangkuhan.

Bahkan Sayyid Thanthawi melegitimasi bahwa sifat yang terkandung dalam surat tersebut akan menghasilkan kebaikan, pemberian, dan ridha dari Allah; sehingga manusia tersebut termasuk dalam kategori makhluk-makhluk terpilih.

Wallahu A’lam

Sihabussalam
Sihabussalam
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

QS. Al-Isra’ (17) Ayat 36: Taklid yang Diharamkan!

0
Taklid dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku seseorang yang mengikuti suatu perintah atau menerima pendapat dari orang lain tanpa memiliki pemahaman yang didasari dengan...